Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia di Apartemennya
Obrolan yang kayak begini tampaknya bikin Joshi kelihatan sombong. “Gue kerja di maskapai yang sama sama Amio.”
Dia terus-terusan memperhatikan gue, menunggu gue untuk terkesan karena dia pilot. Sayangnya dia enggak tahu kalau semua pria dalam hidup gue adalah pilot.
Kakek gue pilot.
Bokap gue pilot sampai dia pensiun beberapa bulan lalu.
Abang gue pilot juga.
“Joshi, kalau lo mau bikin gue terkesan, lo salah caranya. Gue lebih suka cowok yang sedikit lebih rendah hati dan jauh dari status ‘sudah menikah.’” Gue fokus ke cincin kawin yang melingkar di jari manis tangan kirinya.
“MU vs Barca baru dimulai. Joshi, Barca lo, giliran lo main!” kata Tama sambil masuk ke dapur, teriak ke Joshi. Meskipun kata-katanya terdengar biasa saja, tapi tatapan matanya jelas kasih tahu Joshi kalau dia harus balik ke ruang tamu.
Joshi mengeluh seolah-olah Tama baru saja mengambil semua kesenangannya. “Oh, iya... gue senang ketemu lo lagi, Tia,” ucap Joshi.
“Lo, ngapain? Lo harus ikut main di ruang tamu.” Matanya melirik ke arah Tama, meskipun dia ngomong ke gue. “Ternyata, gamenya baru aja dimulai.” Joshi berdiri tegak dan menyenggol Tama saat balik ke ruang tamu.
Tama mengabaikan sikap kesal Joshi dan menyelipkan tangan ke saku belakang, kemudian mengeluarkan kunci.
Dia kasih ke gue kunci itu. “Pergi belajar di tempat gue.”
Ini bukan permintaan.
Apakah Ini perintah?
“Gue baik-baik aja, kok, belajar di sini.” Gue taruh kunci di meja dan memasukkan mi dan beberapa camilan ke dalam totebag. Menolak untuk keluar dari apartemen abang gue sendiri karena tiga cowok. “TV-nya juga enggak terlalu keras.”
Dia melangkah maju sampai cukup dekat buat berbisik. “Gue enggak suka lo belajar di sini. Sampai semua orang pergi. Pergi dan bawa semua makanan lo.”
Gue lihat totebag gue. Bingung kenapa gue merasa kalau baru saja menghina mereka. “Enggak semuanya buat gue,” jawab gue. “Gue bikin satu buat Kapten.”
Gue lihat dia lagi, dan dia lagi-lagi memperhatikan gue dengan tatapan yang sulit dipahami. Dengan mata seperti itu. Gue pun angkat alis. Dia menatap gue dengan penuh harapan, bikin gue merasa canggung.
Gue bukan oleh-oleh dari Krisna, tapi caranya memperhatikan itu bikin gue merinding, kayak gue itu cendera mata yang terpajang di kaca display.
“Lo bikinin mi buat Kapten?”
Gue mengangguk. “Dia suka kalau dikasih makanan,” jawab gue sambil mengelus bahu.
Dia terus memperhatikan gue sedikit lebih lama sebelum menyender ke arah gue lagi. Dia ambil kunci dari meja belakang gue dan memasukkannya ke dalam saku depan gue.
Gue enggak yakin jari-jarinya menyentuh jeans gue, tapi gue tarik napas dalam-dalam dan lihat ke saku saat tangannya menjauh.
Wow.
Gue enggak menyangka bakal seperti itu.
Gue membeku sementara dia kembali dengan santai ke ruang tamu, seolah-olah enggak pernah terjadi apa-apa.
Rasanya seperti saku gue terbakar.
Gue paksa kaki untuk bergerak.
Setelah mengantarkan makanan Kapten, gue nurut sama apa yang Tama bilang buat pergi ke apartemennya.
Gue pergi atas kemauan sendiri, bukan karena dia mau gue ke sana atau karena gue benar-benar banyak tugas, tapi karena, menurut gue kalau berada di apartemennya tanpa adanya dia di sana setidaknya bikin gue aman.
Gue merasa seperti dapat tiket gratis buat mengulik semua rahasia di kehidupannya.
...***...
Gue salah.
Apartemennya enggak kasih gue gambaran tentang siapa dia.
Memang, suasana di sini jauh lebih tenang, dan iya, gue selesai mengerjakan tugas hanya dalam waktu dua jam saja, karena memang enggak ada yang ganggu gue sama sekali.
Enggak ada lukisan di dinding.
Enggak ada dekorasi.
Enggak ada warna sama sekali.
Bahkan meja panjang yang membagi dapur dari ruang tamunya juga enggak ada taplaknya.
Ini jauh berbeda dari rumah gue waktu kecil, di mana meja dapur adalah pusat perhatian untuk keluarga gue, lengkap sama taplak meja, lampu gantung di atasnya, dan piring-piring yang sesuai dengan suasana hati pada saat itu.
Tama bahkan enggak punya mangkok.
Satu-satunya hal yang menarik dari apartemen ini adalah rak buku di ruang tamu. Rak itu dipenuhi puluhan buku, yang lebih bikin gue terpesona dibandingkan dengan hal lainnya yang sama sekali, kosong.
Gue mendekati rak buku untuk memeriksa pilihan bukunya, berharap bisa mendapatkan sedikit gambaran tentangnya berdasarkan apa yang dia baca. Baris demi baris buku bertema Aeronautika yang gue temukan.
Gue sedikit kecewa karena setelah mengecek apartemennya, jadi kesimpulan yang bisa gue ambil adalah dia mungkin seorang workaholic yang enggak punya selera estetika.
Gue menyerah pada ruang tamu dan coba masuk ke dapur. Gue buka kulkas, tapi hampir enggak ada isinya.
Ada beberapa sisa makanan takeaway. Bumbu-bumbu. Jus jeruk. Kulkas ini mirip banget sama kulkas Amio, kosong, sedih, dan sangat memprihatinkan.
Gue buka lemari, ambil cangkir, terus tuang jus buat gue. Gue minum dan bilas cangkirnya di wastafel. Ada beberapa piring lain menumpuk di sisi kiri wastafel, jadi gue mulai cuci itu juga.
Bahkan piring dan cangkirnya tampak enggak punya kepribadian, putih polos dan menyedihkan.
Tiba-tiba rasanya gue ingin ambil kartu kredit di dalam dompet buat beli tirai, satu set piring yang ada motif Pororo atau Doraemon, beberapa lukisan, dan mungkin bunga satu atau dua. Karena tempat ini butuh sedikit kehidupan.
Gue penasaran tentang ceritanya. Gue rasa dia enggak punya pacar. Karena gue belum pernah lihat dia bareng cewek sampai sekarang, dan apartemennya seperti kurang terjamah oleh sentuhan wanita, jelas bikin gue berasumsi dia belum pernah punya pacar.
Gue rasa enggak ada cewek yang bisa masuk ke apartemen ini tanpa minimal mendekorasinya sedikit sebelum pergi, jadi fiks, gue berasumsi kalau species cewek enggak pernah masuk ke apartemen ini.
Gue juga penasaran tentang Amio. Selama bertahun-tahun kita tumbuh bersama, dia enggak pernah terbuka tentang hubungan-hubungannya, tapi gue yakin itu karena dia belum pernah punya hubungan serius. Setiap kali gue dikenalin sama cewek yang pernah dia pacari, mereka enggak pernah bertahan lebih dari seminggu.
Gue enggak tahu apakah itu karena dia enggak suka mempertahankan seseorang atau karena dia terlalu sulit untuk dipertahankan.
Gue yakin itu yang pertama, karena terbukti dari banyaknya telepon yang dia terima dari cewek. Kayaknya dia juga banyak melakukan one-night stands sama cewek-cewek itu dan dia benar-benar enggak punya komitmen, tapi gue bingung kenapa dia begitu protektif terhadap gue waktu kita kecil.
Gue rasa dia cuma mau yang terbaik buat gue dan enggak mau gue pacaran sama cowok kayak dia. Gue penasaran apakah Tama cowok seperti Amio.
“Lo lagi cuci piring gue?”
Sumpah, suara dia bikin gue kaget total, hampir bikin gue ke cemplung ke wastafel.
Gue berbalik dan lihat Tama yang menjulang, hampir bikin gue menjatuhkan gelas yang gue pegang. Gelasnya hampir terjun ke lantai, tapi gue berhasil menangkapnya kembali.
hingga menciptakan kedamaiannya kembali...
meski rasa takut itu masih terasa