Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17 - Mumpung LDR
"Mas kenapa? Pusing?"
Faaz menggeleng, sekalipun memang pusing, tapi pria itu memilih untuk tidak berkata jujur lantaran khawatir jadi petaka.
Akan tetapi, dia masih ingin memastikan sesuatu yang tadi sempat mengejutkannya. "Jadi ... enam bulan kamu mengaji cuma lihat dari teras masjidnya?"
Tak menjawab dengan lisan, Ganeeta hanya mengangguk pelan sebelum kemudian memperlihatkan gigi rapihnya.
"Kok gitu? Kan mubazir waktunya."
"Pak ustadz-nya galak, tiap ngajar bawa tongkat aku, 'kan jadi takut dipukul, Mas," cerocosnya mengada-ada, padahal alasan guru ngajinya menggunakan tongkat karena sudah tua, bukan untuk memukul para muridnya.
"Ah begitu," ucap Faaz mencoba memaklumi alasan super klise yang kerap digunakan anak kecil dari masa ke masa sedari dahulu, takut.
"He'em, anak Pak Bondan pernah dipukul loh, Mas."
"Sama ustadz-nya?"
"Bukan, sama bapaknya sendiri karena nyolong tongkat guru ngaji itu," ungkap Ganeeta yang membuat Faaz semakin yakin untuk mengakhiri kegiatan ini.
Hari pertama mengaji, Faaz sebagai guru menyerah dan mengakhirinya lebih cepat dibanding jadwal yang sudah disepakati. Mendapati suaminya menyerah, Ganeeta berseru yes dalam hati karena memang ini yang dia inginkan.
Tak hanya itu, pasca Faaz mengizinkannya untuk melepas mukena, Ganeeta bahagia luar biasa dan kembali naik ke atas tempat tidur demi melanjutkan game-nya.
Beberapa saat Faaz pandangi, hingga dering ponselnya terpaksa membuat perhatian Faaz teralihkan.
"Hallo, assalamualaikum, Umi ...." Sapa Faaz dan berhasil meraih atensi Ganeeta yang baru saja hendak memulai keseruannya.
Hal itu terjadi karena Faaz duduk di tepian tempat tidur, sementara Ganeeta berada tak jauh darinya.
"Kapan, Umi?"
"Aku bisa-bisa saja sih ... berapa hari, Umi?" tanya Faaz sembari berbaring hingga dia bisa menangkap Ganeeta yang super kepo dan berusaha mencuri dengar pembicaraannya.
Sadar akan hal itu, Faaz berlagak tidak peduli demi membuat Ganeeta semakin penasaran lagi.
"Aku izin papi dulu kalau begitu, dua hari, 'kan ya?"
"Aroma-aromanya mau pulang kampung nih," gumam Ganeeta menerka-nerka inti dari pembicaraan Faaz bersama Umi Fatimah, mertuanya.
Andai memang benar, maka ini adalah angin segar bagi Ganeeta karena jujur saja, satu minggu bersama Faaz membuat Ganeeta merasa tak ubahnya seperti penghuni lapas.
Beberapa saat Faaz menghabiskan waktu untuk berbincang bersama uminya. Hingga, setelah tuntas baru dia mengakhiri panggilan dan Ganeeta berlagak tidak penasaran dan kembali fokus dengan game favoritnya itu.
"Mas harus ke Yogya," ucap Faaz memulai pembicaraan.
"Oh iya? Mau ngapain?" tanya Ganeeta berlagak penasaran, padahal sebenarnya tidak begitu peduli juga Faaz mau apa di sana.
"Salah-satu pembina asrama santri menikah lusa, jadi Mas diharapkan bisa datang."
"Hem, datang saja ... masih lusa, besok berangkat, 'kan bisa," ucap Ganeeta sama sekali tidak terlihat keberatan tatkala harus Faaz tinggal, aura ingin ikut juga tidak ada sama sekali di wajahnya.
Faaz berusaha memahami, memang Ganeeta sedang sibuk-sibuknya, tapi reaksinya terlalu biasa saja hingga membuat Faaz agak curiga.
"Kamu tidak mau ikut?"
"Pengen sih, tapi aku kuliah ... lain kali saja ya," ucapnya dengan sedikit harapan bahwa Faaz akan mengerti keadaannya.
Jujur saja, untuk ikut Faaz ke Yogyakarta memang belum ada keinginan sedikit saja di benak Ganeeta.
Sama seperti alasannya enggan menggunakan hijab, Ganeeta trauma dengan lingkungan pesantren ataupun semacamnya, itu saja.
Walau dia tahu tidak bisa memukul rata semua orang, tapi pengalaman yang dia dapat adalah guru terbaik dan Ganeeta belum siap untuk terluka lagi dengan lidah tanpa tulang para manusia yang merasa paling benar hingga tak segan menilai buruk manusia lainnya.
"Bukannya besok tanggal merah?"
"Iya sih, tapi lusa 'kan tidak."
"Lusa makin merah, minggu soalnya," ucap Faaz seketika membuat Ganeeta mengatupkan bibir.
Dia kembali berpikir keras untuk mencari alasan, beruntung saja otaknya yang super lemot itu bisa diajak kerja sama.
"Aku ada tugas kelompok, besok mulai dan kemungkinan lusa kelar ngerjainnya."
"Tugas?"
"Iya, tanya sama Aruni kalau tidak percaya," ucapnya dengan jurus yang biasa digunakan oleh para pembohong dalam melakukan aksinya.
Sengaja berucap demikian, karena Ganeeta berpikir bahwa Faaz akan percaya dan tidak mungkin juga sampai benar-benar dipastikan kepada Aruni.
"Ya sudah kalau begitu, Mas tinggal sendiri tidak apa-apa berarti?"
Ganeeta mengangguk, memang ini yang dia inginkan sejak tadi.
"Benar tidak apa?"
"Iya, tenang saja."
"Siapa tahu, kamu bilangnya sama Papi atau Mami tidak diajak, kan jadi petaka nanti."
Mendengar hal itu, sontak Ganeeta berdecak sebal. "Aku tidak sedramatis itu ya, Mas," ucapnya hingga membuat Faaz tergelak padahal akhirnya.
.
.
Keesokan hari, Ganeeta tak sabar menanti matahari terbenam. Sesekali dia terus melirik ke arah jam digital di atas nakas.
"Lama banget sih, lagian kenapa berangkatnya nanti malam ... tadi pagi, 'kan bisa," gerutu Ganeeta masih terus meratapi keputusan Faaz yang memilih berangkat di malam hari hingga membuat rencana untuk menemui Zion diam-diam terpaksa diundur.
Lebih menyebalkan lagi, sampai detik ini Faaz belum berkemas sebagaimana orang-orang yang hendak pergi keluar kota.
"Ehem!!"
Ganeeta mendongak, perhatiannya seketika tergantikan manakala Faaz masuk.
"Kamu sedang apa?"
"Tidak, duduk-duduk saja."
"Tumben tidak di balkon, kenapa?" tanya Faaz kini duduk di sisinya.
"Dingin," jawabnya asal ceplos dan berakhir dalam dekapan Faaz akibat tanpa dia kehendaki.
"Kalau dingin kenapa bajunya begini?"
"Banyak tanya, kayak wartawan," celetuknya lagi dan lagi membuat Faaz terkekeh pelan.
"Ada-ada saja, pertanyaan Mas bikin risih ya?"
"Bukan begitu," ucapnya kembali seperti bunga layu di musim kemarau. "Mas kapan perginya?" tanya Ganeeta sembari menatap wajah tampan Faaz.
"Selepas Isya," jawab Faaz yang kemudian menciptakan senyum tipis di wajah Ganeeta.
Setelah seharian lelah menunggu kepastian, Faaz akhirnya melontarkan kata-kata yang sedari tadi dia harapkan.
Seketika itu, Ganeeta dengan segala tipu muslihatnya menenggelamkan wajah ke dada bidang Faaz seolah sedih ditinggalkan.
Tak lupa, dia bahkan membalas pelukan Faaz seerat mungkin demi membuat pria itu benar-benar yakin.
"Kenapa? Tiba-tiba banget begini?"
"Lusa selesai acara, Mas langsung pulang, 'kan?" tanya Ganeeta kembali mendongak dan menatap Faaz dengan wajah sedihnya.
"Tentu saja, tujuan ke sana cuma itu, tidak ada yang lain," ucapnya tak lupa memberikan usapan di puncak kepala Ganeeta penuh perasaan.
Berbeda dengan Ganeeta yang tengah bersandiwara seakan telah menerima, Faaz justru sebaliknya. Sedari awal, dia memang sudah sayang, semua yang dia lakukan murni dari hati dan tidak dibuat-buat demi melindungi pondok pesantren Darul Hikmah dari kemarahan Papi Cakra.
.
.
Tepat pukul delapan malam, dimana Faaz sudah siap untuk pergi Ganeeta masih mempertahankan sandiwara seakan tidak ikhlas Faaz pergi meninggalkannya.
"Mas pergi, jangan telat makan ya," ucap Faaz tak lupa mengecup kedua pipinya.
"Shalatnya terutama, jangan diulur-ulur."
"Iya ...."
"Jangan begadang, kalau capek langsung tidur."
"Iya, Mas."
Semua pesan yang Faaz ucapkan sebelum pergi Ganeeta iyakan, demi mempersingkat waktu tentu saja.
Hingga, beberapa saat setelah mobil yang dikendarai Faaz berlalu, Ganeeta juga bersiap untuk memanfaatkan kesempatan emas.
Kebetulan, Papi dan Maminya sedang makan malam, sementara Khalif juga belum pulang. Bergegas Ganeeta menuju garasi dan bersiap meninggalkan rumah mewah itu dengan motor sport yang sudah dua minggu ini tak pernah dia duduki.
Beralasan ada barang Faaz yang ketinggalan, Ganeeta mampu lolos dari security di pos penjagaan. Tak ayal, Ganeeta kian mempercepat laju kendaraannya hingga kini sudah melintas di jalan raya.
"Mumpung lagi LDR sama Mas suami, waktunya nyamperin pacar semata wayangku itu," ucapnya sembari menikmati hembusan angin yang seakan menyambut kebebasannya.
Tak sedikit pun Ganeeta ketahui, bahwa dari kejauhan, ucapannya justru ditertawakan oleh pemilik wajah teduh yang sengaja menepi demi memantau pergerakannya di layar ponsel.
"Kelakuan, dia pikir aku sebodoh itu?"
.
.
- To Be Continued -
Papa Evan : Jumi... kurang romantis apa hahhh Aku selama ini... Aku penggal kepala Pass klo km macam² ma Pass
Password : Uncle.,, Aku lo gak ngapa²in ma Onty Jum...
Kornet : Onty sadar diri lh udah tua jg pun...
Otor : sokoriiinnnn
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
punya istri dianggurin aja....😁😁🤭