Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tinggal seatap
Malam telah larut, dan pesta pernikahan yang mewah itu mulai sepi. Para tamu perlahan-lahan meninggalkan ballroom, membawa serta pujian dan doa untuk pasangan baru. Di sudut ruangan, Veltika berdiri dengan mata yang lelah, menatap jalan masuk tempat mobil-mobil tamu berjajar menunggu. Ia hanya ingin segera pulang dan mengistirahatkan pikirannya yang sudah penuh dengan berbagai emosi.
"Vel, pulang sama Denis, ya. Dia kan belum tahu arah rumah kita," ujar ayahnya dengan nada tegas namun tetap lembut.
Veltika terdiam sejenak, matanya melirik ke arah Denis yang berdiri tidak jauh darinya. Pria itu tampak santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana, sesekali berbicara dengan supir yang akan mengantar mereka.
"Baik, Ayah," jawab Veltika akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Di dalam mobil, Veltika duduk di kursi belakang, tepat di samping Denis. Sang supir di depan sibuk memastikan semua siap sebelum perjalanan dimulai. Suasana di dalam mobil terasa berat, tidak ada percakapan di antara mereka. Hanya suara mesin mobil dan deru AC yang mengisi keheningan.
Veltika mencoba mengalihkan perhatiannya ke luar jendela, memandangi lampu jalan yang berkelap-kelip, namun ketegangan itu tidak bisa ia abaikan. Ia tahu Denis ada di sampingnya, dan meskipun pria itu tidak mengatakan apa pun, keberadaannya cukup untuk membuat Veltika merasa gelisah.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, Denis mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Veltika yang berada di pangkuannya. Genggaman itu hangat dan kuat, memancarkan keberanian yang tidak diharapkan Veltika.
"Kamu masih sama seperti yang dulu," bisik Denis pelan, nyaris tidak terdengar di tengah dengung mobil.
Veltika menoleh, kaget dengan tindakannya. Matanya bertemu dengan tatapan Denis, tatapan yang penuh dengan kenangan lama. Ia ingin menarik tangannya, ingin melepaskan diri dari momen yang semakin menjerat perasaannya, tapi tubuhnya seakan membeku.
"Berhenti, Denis," ujar Veltika akhirnya, suaranya sedikit bergetar. Namun, Denis hanya tersenyum kecil, seolah tidak peduli dengan peringatan itu.
"Aku tidak bisa berhenti, Kak Vel. Kamu tahu itu," jawabnya, masih dengan nada rendah, namun ada keteguhan di balik kata-katanya.
Veltika menggigit bibir, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Tangannya tetap dalam genggaman Denis, meskipun pikirannya berteriak untuk melepaskannya. Malam itu, perjalanan pulang terasa seperti perjalanan menuju masa lalu yang penuh dengan perasaan yang tidak pernah tuntas.
***
Sesampainya di rumah, Veltika tidak ingin berlama-lama berada di dekat Denis. Begitu mobil berhenti di depan pintu utama, ia segera turun tanpa menunggu apa pun. Ayahnya dan Caroline sudah masuk lebih dulu, dan suasana rumah terasa senyap, hanya terdengar langkah kaki mereka yang melewati lantai marmer.
Denis berjalan perlahan di belakangnya, seperti sedang menikmati pemandangan rumah baru yang kini menjadi tempat tinggalnya. Namun, Veltika tidak memberinya waktu untuk berbicara atau bahkan bertanya. Ia langsung bergegas menuju tangga, melewati ruang tamu tanpa menoleh.
"Kak Vel, tunggu sebentar," panggil Denis.
Veltika mengabaikannya, langkahnya semakin cepat. Ia tidak peduli bagaimana Denis akan menemukan kamarnya sendiri, atau apakah pria itu akan tersesat di rumah yang besar ini. Pikirannya hanya dipenuhi oleh satu hal: menjauh darinya secepat mungkin.
Begitu sampai di depan pintu kamarnya, ia segera masuk dan menutup pintu dengan keras, menguncinya tanpa ragu. Napasnya memburu, dan ia menyandarkan punggungnya ke pintu kayu yang dingin.
"Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku?" gumamnya, setengah berbisik.
Ia mencoba menenangkan diri, namun bayangan Denis yang menggenggam tangannya di mobil terus menghantui pikirannya. Tatapan pria itu, cara bicaranya, semuanya membawa Veltika kembali pada malam yang ingin ia lupakan.
Di luar kamar, Denis berdiri di tengah lorong, menatap pintu yang baru saja tertutup. Ia tersenyum kecil, menaruh tasnya di lantai, dan bergumam pelan, "Kamu mungkin bisa lari sekarang, Kak Vel, tapi tidak untuk selamanya."
Ia melangkah perlahan, mencari tahu sendiri di mana kamarnya. Mungkin tidak ada yang memberitahunya, tapi ia tahu, malam ini hanyalah awal dari pertemuan yang lebih panjang.
"Tuan Denis," suara lembut namun tegas milik seorang wanita paruh baya memecah keheningan lorong. Wanita itu mengenakan seragam rapi, membawa secangkir teh di nampan, dan berjalan mendekat dengan langkah anggun. "Saya pembantu di rumah ini, nama saya Bu Sri. Kalau butuh sesuatu, tolong beri tahu saya," ucapnya dengan sopan.
Denis menoleh, menganggukkan kepala sambil melemparkan senyum ramah. "Terima kasih, Bu Sri. Tapi sepertinya saya sedikit tersesat. Bisa bantu tunjukkan di mana kamar saya?"
Bu Sri tersenyum kecil, seolah sudah memahami situasinya. "Ah, maaf, Tuan Denis. Sepertinya Nona Veltika lupa memberitahu di mana kamarnya. Mari, saya antar ke kamar yang sudah disiapkan untuk Tuan," katanya sambil mempersilakan Denis mengikuti langkahnya.
Denis membawa tasnya dan berjalan di belakang Bu Sri, matanya sesekali menyapu sekeliling lorong yang dipenuhi dekorasi modern namun tetap terasa hangat. "Rumah ini besar sekali," komentarnya ringan.
"Benar, rumah ini memang luas, Tuan," jawab Bu Sri tanpa menoleh. "Tapi jangan khawatir, lama-lama Tuan akan terbiasa."
Mereka sampai di depan sebuah pintu kayu dengan ukiran sederhana. Bu Sri membuka pintu itu dengan lembut dan menyalakan lampu kamar. Di dalam, terlihat ruangan yang nyaman dengan tempat tidur besar, meja kerja, dan jendela besar yang menghadap taman belakang.
"Ini kamar Tuan. Jika ada yang kurang, silakan beri tahu saya," kata Bu Sri sebelum meletakkan teh di meja kecil di samping tempat tidur.
Denis melirik kamar itu, kemudian tersenyum pada Bu Sri. "Terima kasih, Bu Sri. Saya rasa ini sudah lebih dari cukup."
"Baik, kalau begitu saya permisi," Bu Sri sedikit membungkuk sebelum meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan pelan.
Denis menaruh tasnya di sudut kamar, duduk di tepi tempat tidur, dan menghela napas. Namun, senyum tipis kembali muncul di wajahnya. Pikirannya masih tertuju pada Veltika, pada cara wanita itu menghindarinya sepanjang malam ini.
"Kak Vel..." Denis bergumam, memandang ke arah jendela. "Sepertinya aku harus berusaha lebih keras untuk membuatmu berhenti lari dariku."
***
Veltika membolak-balikkan tubuhnya di atas ranjang, mencoba mencari posisi tidur yang nyaman, namun matanya tetap terbuka. Pikiran-pikirannya berputar, membawa dirinya kembali ke masa dua tahun yang lalu—momen pertama kali dia bertemu Denis.
#Dua Tahun Lalu#
Udara malam di sebuah lounge hotel mewah dipenuhi dengan aroma parfum mahal dan suara denting gelas yang beradu. Veltika duduk sendirian di sudut ruangan, mengenakan gaun hitam elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Dia baru saja selesai menghadiri sebuah acara kerja dan memutuskan untuk bersantai sejenak, mengusir lelah dengan segelas martini di tangan.
Saat itu, dia tidak mengira bahwa pandangan matanya akan bertemu dengan sepasang mata cokelat yang begitu tajam namun penuh pesona. Denis, yang saat itu tampak seperti pria muda penuh percaya diri, berjalan mendekat dengan senyum tipis yang memancarkan keberanian.
"Sendirian di tempat seperti ini? Bukankah itu terlalu berisiko untuk wanita cantik seperti Anda?" katanya dengan nada rendah, hampir seperti berbisik.
Veltika, yang biasanya tak tertarik pada pria muda, mendapati dirinya tertarik pada aura misterius Denis. "Risiko adalah bagian dari hidup," jawabnya ringan, mencoba mengalihkan perhatian, namun tidak bisa menghindari tatapan Denis yang memaku dirinya.
Percakapan mereka mengalir begitu saja malam itu. Denis dengan cerdas dan humoris, sementara Veltika merasa seakan dia bisa melupakan segala beban hidupnya untuk sesaat. Sampai akhirnya, obrolan ringan berubah menjadi tatapan yang lebih dalam, tawa kecil berganti dengan keheningan yang sarat makna.
Tatapan mata Denis terus tertuju pada bibir merah muda milik Veltika, Denis menyukai cara Veltika menceritakan semua ke gundahan di hatinya. sampai Denis mendaratkan kecupan pada bibir Veltika. Ini pertama kalinya dalam hidup Veltika, sesuatu yang membuat jantungnya berdebar kencang. keduanya saling berpandangan, terbawa hawa nafsu yang menelisik masuk kesanubari. keduanya bergelut dalam ciuman yang hangat.
Malam itu, Veltika melakukan hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Mereka meninggalkan lounge bersama, melangkah ke kamar hotel yang menjadi saksi bisu dari malam penuh hasrat. Denis yang saat itu tampak seperti pria asing yang mempesona, mengisi malam Veltika dengan sentuhan lembut namun penuh gairah.
Namun, keesokan paginya, semua berubah menjadi kebingungan. Veltika bangun dan menyadari betapa gegabah keputusannya malam itu. Ia meninggalkan Denis tanpa sepatah kata, merasa bahwa itu hanyalah kesalahan yang tak boleh terulang.
#Kembali ke Masa Kini#
Di atas ranjangnya, Veltika menggigit bibirnya, mengingat setiap detail pertemuan mereka. Kini, pria yang pernah ia tinggalkan tanpa pamit itu ada di rumahnya—sebagai adik tirinya.
“Denis…” gumamnya pelan, merasa dadanya sesak. Pikirannya bercampur antara rasa bersalah, penyesalan, dan kebingungan yang tak kunjung hilang.
Veltika menghela napas panjang, menutup matanya dengan paksa, berharap bisa mengusir bayangan itu. Namun, rasa canggung dan rahasia yang mereka simpan bersama terus menghantui pikirannya. Malam terasa semakin panjang, dan tidur tetap tak kunjung datang.