Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penghuni Lorong Gelap.
Di sebuah kota yang mulai menggeliat menjelang senja, tersembunyi sebuah lorong yang tak pernah dijamah cahaya matahari. Lorong sempit itu seakan dilupakan oleh dunia, letaknya di antara dua bangunan tua yang semakin ringkih diterpa usia. Orang-orang menyebutnya “Lorong Gelap.” Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya menghuni lorong itu, kecuali bisikan-bisikan misteri yang kerap terdengar di kalangan penduduk sekitar.
Satu hal yang pasti, tak seorang pun berani melintasi lorong itu setelah matahari terbenam.
Haris, seorang pria muda yang bekerja sebagai jurnalis investigasi, telah lama mendengar desas-desus tentang Lorong Gelap. Ia terkenal karena keberaniannya menyelidiki cerita-cerita urban yang sering kali dihindari oleh jurnalis lain. Rasa ingin tahunya yang besar membuatnya bertekad untuk menyingkap misteri lorong itu. Ia tidak percaya pada hantu atau mitos, baginya, setiap fenomena harus punya penjelasan logis.
Sore itu, Haris berdiri di mulut Lorong Gelap. Udara di sekitarnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menghimpit dada. Dia menatap lorong yang panjang dan seolah tak berujung itu, seolah-olah kegelapan yang mengisinya adalah makhluk hidup yang sedang mengintainya.
"Ini hanya lorong biasa," gumamnya, mencoba meyakinkan diri. Dia memasukkan tangan ke saku jaket, memastikan senter dan perekam suaranya siap. Langkahnya maju, perlahan memasuki lorong.
Semakin dalam ia melangkah, semakin sunyi keadaan di sekelilingnya. Suara kehidupan dari luar lorong perlahan lenyap, seakan ia telah memasuki dimensi lain. Bau lembab bercampur dengan aroma besi berkarat memenuhi udara. Tembok lorong yang kusam, penuh dengan coretan-coretan tak terbaca, seolah menatapnya dengan tajam.
Di tengah perjalanan, langkah Haris terhenti. Di ujung cahaya senternya, samar-samar ia melihat sosok. Seseorang berdiri di sana, membelakanginya, mengenakan pakaian lusuh dan berwarna gelap.
"Hei!" seru Haris. Sosok itu tidak bergerak.
Haris mendekat, menyorotkan senter ke arah sosok tersebut. Wajah orang itu tampak pucat, matanya kosong, namun masih hidup—atau setidaknya, tampak hidup. Haris mundur setapak. "Kau siapa?" tanyanya, suaranya bergetar tipis.
"Aku... penghuni di sini," jawab orang itu dengan suara serak. "Tak seharusnya kau berada di sini."
Degup jantung Haris meningkat. "Kenapa tidak? Ini hanya lorong biasa, bukan?"
Orang itu tersenyum miring, menyeringai lebih tepatnya. "Bagi yang tidak tahu, ini memang hanya lorong. Tapi bagi mereka yang tahu... tempat ini adalah batas antara dunia yang terlihat dan yang tak terlihat."
"Omong kosong," sahut Haris, mencoba terdengar tegas. "Aku jurnalis. Aku ingin tahu kebenarannya."
Orang itu tertawa kecil, sebuah tawa yang terdengar seperti desahan kematian. "Kebenaran? Tak ada kebenaran di sini, hanya bayangan. Dan kau... sudah terlalu jauh masuk. Mereka sudah mencium bau darahmu."
Haris membelalakkan mata. "Mereka? Siapa mereka?"
Tiba-tiba terdengar suara langkah, banyak. Dari balik tembok-tembok lorong, bayangan-bayangan mulai bermunculan. Mereka bergerak dalam diam, hanya menatap Haris dengan mata kosong, seperti orang-orang yang kehilangan jiwa.
Haris mundur dengan gemetar. "Apa... siapa mereka?"
Orang yang pertama ia temui mendekatkan wajahnya ke Haris. "Mereka adalah yang tersisa dari mereka yang pernah mencoba melarikan diri dari lorong ini. Mereka gagal... dan kini mereka bagian dari kegelapan."
Haris menelan ludah. "Aku bisa keluar dari sini. Aku belum terlambat."
Orang itu menggeleng perlahan. "Tak ada yang bisa keluar setelah masuk terlalu dalam. Kegelapan di sini bukan hanya kegelapan, tapi jiwa yang terkutuk. Dan kau sudah terikat."
Panik mulai menyerang Haris. Dia mengeluarkan ponselnya, menyalakan senter tambahan, dan mulai mundur dengan cepat. Bayangan-bayangan itu semakin mendekat, dan di antara langkahnya yang kacau, ia bisa mendengar bisikan-bisikan yang entah datang dari mana. Kata-kata asing, suara-suara halus yang menusuk telinga.
"Sialan!" Haris berseru, mencoba lari. Namun, lorong itu seakan terus memanjang, tidak ada ujungnya. Setiap kali ia merasa sudah dekat dengan pintu keluar, ia kembali mendapati dirinya di tempat yang sama—tengah-tengah kegelapan yang semakin pekat.
Di sekelilingnya, suara tawa mulai terdengar, semakin lama semakin keras. Sosok-sosok itu mengepungnya, mata mereka berkilat dalam kegelapan. Haris tersandung, jatuh ke tanah yang dingin dan basah.
Di depan matanya, muncul sosok yang lebih besar dari yang lainnya. Wajahnya tertutup kain hitam, tubuhnya kurus kering dengan jari-jari yang panjang dan tulang-belulang mencuat di sana-sini.
"Kau tidak akan keluar hidup-hidup, manusia," suara sosok besar itu bergetar, penuh kebencian. "Kau sudah terlalu dekat dengan rahasia kami."
"Rahasia? Apa rahasia itu?!" Haris menjerit, mencoba bangkit meski lututnya bergetar.
Sosok itu mendekat, merendahkan diri hingga wajahnya sejajar dengan Haris. Mata merah menyala muncul dari balik kain hitam itu. "Rahasia kegelapan. Kami adalah yang terbuang dari dunia ini. Kami yang dilupakan, yang mati tanpa nama, yang tak pernah dikenang. Kami mengisi kegelapan di antara cahaya, menunggu, dan kau... adalah mangsa berikutnya."
Haris merasa tubuhnya kaku, seolah seluruh energinya disedot oleh lorong itu. Suara tawa dan bisikan semakin keras, bergema di dalam kepalanya. Kegelapan itu menelannya perlahan, dan ia merasa kesadarannya mulai memudar.
Namun, di tengah kepanikan itu, ada satu suara yang berbeda. Suara perempuan. "Haris! Dengarkan aku!" seru suara itu.
Haris menoleh, mencari sumber suara. Dari balik kegelapan, muncul seorang wanita muda, dengan wajah bersinar lembut dalam cahaya samar. Dia tampak akrab, seolah Haris pernah bertemu dengannya, tapi tidak bisa mengingat kapan dan di mana.
"Kau harus bangkit!" seru wanita itu. "Mereka hanya bisa memenjarakanmu jika kau menyerah. Lawan mereka!"
"A-aku tak bisa," jawab Haris lemah. "Lorong ini... terlalu kuat."
Wanita itu mengulurkan tangan. "Aku di sini untuk membantumu. Percayalah, ini belum berakhir. Kau masih bisa keluar!"
Dengan sisa tenaganya, Haris meraih tangan wanita itu. Sentuhan itu hangat, bertolak belakang dengan dinginnya lorong. Perlahan, dia merasakan kekuatan kembali ke tubuhnya. Bayangan-bayangan di sekitarnya mulai mundur, meronta dalam diam.
Wanita itu menariknya berdiri, dan lorong yang tadinya seolah tiada ujung, perlahan menampakkan pintu keluar di kejauhan. Cahaya dari luar kembali terlihat.
"Kau harus pergi sekarang!" teriak wanita itu. "Jangan menoleh ke belakang, apapun yang terjadi!"
Haris berlari dengan segala tenaga yang tersisa. Bayangan-bayangan di sekelilingnya melolong, mencoba meraihnya, tapi wanita itu terus melindunginya, menghadang setiap makhluk yang mencoba mendekat.
Ketika Haris akhirnya mencapai mulut lorong, dia terengah-engah, dadanya sesak, tapi dia tahu, dia berhasil keluar. Cahaya matahari yang tersisa di langit senja menyambutnya dengan kehangatan yang menenangkan.
Dia berbalik, tapi wanita itu sudah menghilang. Lorong di belakangnya kembali sunyi dan gelap, seperti sebelumnya.
Malam itu, Haris duduk di ruang kerjanya, menatap hasil rekaman dan catatan-catatan yang ia buat tentang Lorong Gelap. Misteri itu masih belum sepenuhnya terpecahkan, tapi satu hal yang pasti—lorong itu bukan tempat biasa. Ia menghela napas, menyadari bahwa beberapa rahasia memang seharusnya tetap tersembunyi.
Tapi di sudut pikirannya, bayangan wanita itu terus terngiang. Siapa dia? Mengapa dia menolong Haris?
Jawabannya masih terkubur di dalam kegelapan lorong, menunggu mereka yang cukup berani untuk mengungkapnya.