Di tengah dunia magis Forgotten Realm, seorang pemuda bernama Arlen Whiteclaw menemukan takdir yang tersembunyi dalam dirinya. Ia adalah Pemegang Cahaya, pewaris kekuatan kuno yang mampu melawan kegelapan. Bersama sahabatnya, Eira dan Thorne, Arlen harus menghadapi Lord Malakar, penyihir hitam yang ingin menaklukkan dunia dengan kekuatan kegelapan. Dalam perjalanan yang penuh dengan pertempuran, pengkhianatan, dan pengorbanan, Arlen harus memutuskan apakah ia siap untuk mengorbankan segalanya demi kedamaian atau tenggelam dalam kegelapan yang mengancam seluruh Forgotten Realm.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Labirin Keputusan
Erland meremas tongkatnya dengan kuat, tubuhnya gemetar menghadapi sosok bayangan yang berdiri di hadapannya. Suara cemoohan terus menggema di pikirannya, menciptakan keraguan yang meracuni semangatnya.
“Kau tidak berguna,” ulang suara itu, menggema seperti pukulan palu di kepala. “Mereka semua lebih baik tanpamu.”
Erland menggelengkan kepala keras-keras. “Tidak. Aku sudah datang sejauh ini. Aku tidak akan menyerah.”
Bayangan itu bergerak mendekat, kini menyerupai dirinya. Mata sosok itu penuh kebencian. “Lalu buktikan. Jika kau benar-benar tidak takut, kalahkan aku.”
Erland mengangkat tongkatnya, tetapi sebelum dia bisa mengucapkan mantra, bayangan itu sudah melesat dengan kecepatan tak terduga. Serangan itu menghantam dadanya, membuatnya terhuyung mundur.
Di tempat lain, Finn masih berusaha menghindari sosok yang menyerupai ibunya. Suara-suara dari bayangan itu semakin lirih, tetapi semakin menusuk hati. Setiap kalimatnya membuat Finn merasa kecil dan tak berarti.
“Kau bisa menyelamatkan kami, tetapi kau memilih lari,” ujar sosok itu, suaranya penuh kepedihan. “Lihat apa yang terjadi pada desa kita.”
Finn menutup telinganya dengan kedua tangan. “Aku tidak akan mendengarkanmu lagi. Kau bukan ibuku. Kau hanyalah ilusi.”
Namun, ketika dia membuka mata, sosok itu kini berubah menjadi wajah yang lain. Kali ini, itu adalah Arlen, dengan luka besar di dadanya. “Kenapa kau meninggalkan kami, Finn? Kau seharusnya menjadi pemimpin.”
Finn melangkah mundur, matanya penuh kebingungan. “Tidak, ini tidak benar. Aku tidak meninggalkan siapa pun.”
Arlen palsu itu tertawa kecil. “Itulah yang ingin kau percayai. Tapi kebenaran adalah... kau lemah.”
Finn mengepalkan tinjunya. Dia tahu ini adalah permainan bayangan, tetapi rasa bersalah di dalam dirinya sulit diabaikan.
Di ruang cermin, Arlen menatap bayangan dirinya yang terlihat menyeramkan. Salah satu bayangan berbicara lagi, suaranya berat dan dingin.
“Lihat sekelilingmu. Apa yang telah kau capai? Kau melawan musuh, tetapi apa bedanya kau dengan mereka?”
Arlen membalas dengan tenang. “Aku tahu bedanya. Aku bertarung untuk menyelamatkan, bukan untuk menghancurkan.”
Bayangan itu tersenyum tipis. “Benarkah? Apakah kau benar-benar percaya pada dirimu sendiri? Ingat semua nyawa yang hilang di tanganmu.”
Cermin di sekelilingnya mulai bergetar, memantulkan bayangan dari semua momen terburuk dalam hidupnya. Wajah-wajah yang ia kenal muncul, penuh kekecewaan dan kemarahan.
“Tidak!” Arlen menutup matanya, tetapi suara bayangan itu terus terdengar. “Kau tidak bisa lari dari dirimu sendiri, Arlen.”
Sementara itu, Sang Bijak berdiri dengan tenang di tengah kegelapan. Dia menyadari bahwa ujian ini dirancang untuk menggoyahkan tekad mereka. Sebagai orang yang paling berpengalaman, dia tahu bahwa dia harus menemukan kelemahan dari labirin ini.
“Cukup,” katanya tegas. Suaranya menggema di seluruh ruangan. “Aku tahu apa yang kalian coba lakukan.”
Dari bayang-bayang, suara misterius tertawa kecil. “Oh, Bijak. Kau pikir dirimu kebal dari keraguan? Setiap orang memiliki kelemahan.”
Sosok bayangan besar muncul di depannya, lebih tinggi dari pohon ek. Wajahnya tidak berbentuk, hanya kumpulan asap hitam yang terus bergerak. “Buktikan bahwa kau benar-benar sekuat itu.”
Sang Bijak mengangguk pelan. “Kalau ini ujian, aku akan menghadapinya.”
Bayangan itu melemparkan sesuatu ke tanah di depannya. Itu adalah kenangan lama, momen ketika Sang Bijak gagal menyelamatkan seseorang yang penting dalam hidupnya. Rasa bersalah itu menghantamnya seperti gelombang besar.
Namun, Sang Bijak tetap berdiri teguh. “Aku tahu kesalahanku. Tapi aku tidak akan membiarkan masa lalu menghancurkan masa depanku.”
Erland, Finn, dan Arlen juga perlahan mulai menyadari bahwa ini semua adalah permainan pikiran. Meski berat, mereka mencoba melawan ketakutan mereka masing-masing.
Erland mulai mengingat semua pelajaran dari Sang Bijak. “Kunci dari kekuatan adalah percaya pada diri sendiri,” gumamnya. Dengan keberanian yang baru ditemukan, dia mengarahkan tongkatnya ke bayangan di depannya. “Kau tidak punya kuasa atas diriku.”
Finn, dengan hati yang masih penuh rasa bersalah, menatap sosok Arlen palsu itu. “Aku mungkin telah membuat kesalahan, tetapi itu tidak berarti aku gagal.” Dia melangkah maju, menghadapi bayangan itu dengan keyakinan.
Di ruang cermin, Arlen mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Dia menatap bayangan dirinya dengan tekad. “Aku bukan apa yang kalian katakan. Aku tahu siapa diriku.”
Semua bayangan itu berteriak marah, mencoba menyerang mereka satu per satu. Namun, tepat saat mereka hampir menyerah, suara Sang Bijak menggema di pikiran mereka.
“Fokus pada cahaya. Jangan biarkan kegelapan ini menguasai kalian.”
Mereka semua menemukan kekuatan baru dalam diri mereka. Satu per satu, bayangan itu menghilang, meninggalkan mereka di ruang kosong.
Ketika mereka akhirnya bersatu kembali, kelelahan terlihat di wajah masing-masing. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Mata mereka kini dipenuhi keyakinan baru.
“Kita berhasil,” kata Erland dengan napas terengah-engah. “Tapi apa ini benar-benar sudah selesai?”
Sang Bijak menggeleng pelan. “Ini baru permulaan. Apa yang kalian hadapi barusan hanyalah bayangan dari apa yang akan datang.”
Finn memandangnya dengan cemas. “Kalau begitu, apa langkah kita berikutnya?”
Sebelum Sang Bijak bisa menjawab, lantai di bawah mereka mulai bergetar lagi. Sebuah suara baru, lebih gelap dan lebih kuat, terdengar dari jauh.
“Selamat, para pejuang kecil. Tapi perjalanan kalian masih panjang. Lihat apakah kalian bisa bertahan hingga akhir.”
Mereka menatap pintu besar itu, yang memancarkan cahaya merah seperti bara api. Suhu di sekitar mereka meningkat seiring pintu perlahan terbuka, menciptakan bayangan panjang di atas lantai batu. Tidak ada suara, hanya keheningan mencekam yang membuat bulu kuduk mereka berdiri.
“Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?” Finn memecah keheningan, suaranya gemetar meskipun ia berusaha terdengar tegar.
Arlen menggenggam pedangnya lebih erat. “Kita masuk. Tidak ada jalan lain.”
Erland menatap pintu itu dengan alis berkerut. “Tapi kita bahkan tidak tahu apa yang ada di balik sana. Bagaimana jika ini jebakan?”
Sang Bijak, yang selama ini diam mempelajari situasi, akhirnya berbicara. “Jika ini adalah ujian terakhir dari labirin ini, maka kita harus menghadapinya. Ragu hanya akan memperbesar kekuatan musuh.”
Mereka semua mengangguk, meskipun rasa takut masih menggantung di hati masing-masing. Dengan langkah hati-hati, mereka mulai berjalan mendekati pintu itu. Setiap langkah terasa berat, seperti udara di sekitar mereka menjadi lebih padat dan menekan.
Ketika mereka melewati ambang pintu, cahaya merah itu menyelimuti tubuh mereka, membuat mereka harus menutup mata sejenak. Namun, begitu mata mereka menyesuaikan diri, mereka menyadari bahwa mereka kini berada di sebuah ruangan besar. Dinding-dindingnya berwarna merah tua, dihiasi ukiran-ukiran kuno yang berkilauan dengan energi gelap. Di tengah ruangan, sebuah altar batu berdiri kokoh, dengan bola kristal hitam melayang di atasnya, memancarkan aura mengancam.
“Apa itu?” tanya Erland, menatap bola kristal dengan ketakutan yang jelas.
“Relik,” jawab Sang Bijak dengan nada serius. “Ini adalah sumber kekuatan labirin ini. Tapi sesuatu tentangnya... terasa salah.”
Tiba-tiba, suara tawa rendah memenuhi ruangan. Sosok besar muncul di belakang altar, berbentuk manusia tetapi dengan kulit hitam legam dan mata menyala merah seperti api. Suaranya menggema di seluruh ruangan, memancarkan kekuatan dan ancaman.
“Selamat datang, para pemberani. Kalian berhasil mencapai inti dari labirin ini. Tapi aku penasaran, apakah kalian memiliki keberanian untuk menghadapi takdir kalian?”
Arlen maju selangkah, mengacungkan pedangnya ke arah sosok itu. “Kami tidak akan mundur. Apa pun takdir yang kau bicarakan, kami akan melawannya.”
Sosok itu tersenyum, menunjukkan deretan gigi tajam yang menyeramkan. “Bagus. Tapi ingat, setiap pilihan memiliki harga. Dan tidak semua dari kalian akan keluar hidup-hidup.”
Mata Finn membelalak. “Apa maksudnya? Apa yang dia rencanakan?”
Sebelum mereka bisa bertanya lebih jauh, lantai di bawah mereka retak, membentuk lingkaran bercahaya yang memisahkan mereka ke sudut-sudut ruangan. Sang Bijak berteriak, mencoba memberi peringatan, tetapi suaranya terputus oleh raungan keras. Mereka semua terlempar ke kegelapan, masing-masing sendirian menghadapi apa yang ada di depan.