Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Gua Perjanjian
Terpikat oleh magnet tak terlihat, tubuhnya bergerak tanpa banyak berpikir. Ia mempercepat langkahnya, hati berdebar-debar saat mendekati tumpukan buah yang tersusun rapi di mulut gua.
Tanpa menunda, ia duduk pada sebuah batu di mulut gua. Sebelum memakannya, Satrio merapatkan kedua telapak tangannya dan menunduk, mengucap syukur atas apa yang ia dapatkan.
Ia mengambil buah pertama, dagingnya lembut meledak di mulutnya, memberikan kesegaran yang langsung menghilangkan rasa haus dan laparnya. Satrio melahap beberapa buah dengan lahap, seakan tubuhnya mendapatkan tenaga baru.
Setelah perutnya terasa penuh, Satrio menyadari bahwa buah-buahan ini, bukan sekadar ada di sana tanpa alasan. Semuanya tersusun terlalu rapi, seperti sebuah persembahan untuk sesuatu yang diyakini oleh penduduk setempat.
Dengan hati yang mulai waspada, ia bergumam, “Terima kasih atas buahnya,” ucapnya pelan, berharap siapapun yang menjaga tempat itu mendengarnya.
Energinya kembali pulih, namun rasa lelah masih menggelayuti tubuhnya. Ia tahu malam semakin larut, dan pikirannya tertuju pada gua di hadapannya. Bermalam di dalam gua tampaknya menjadi pilihan terbaik untuk beristirahat dan memulihkan tenaga.
Dengan segera, Satrio mencari beberapa ranting kering di sekitar mulut gua dan mulai menyusun tumpukan kecil. Ia mengeluarkan korek api dari ranselnya dan menyalakan api.
Sinar jingga dari kobaran api kecil mulai memantul di dinding gua, menciptakan tekstur aneh yang menghiasi permukaannya. Merasa itu tak biasa, ia membawa satu ranting kecil yang terbakar, dan melangkah masuk ke dalam gua.
Saat obor menyala terang, cahaya kuningnya menari di sepanjang dinding gua yang lembap. Namun, sesuatu yang lebih mengejutkan menarik perhatiannya. Ketika ia mendapati, dinding-dinding gua dipenuhi simbol-simbol kuno, yang terukir hampir di setiap permukaan. Simbol-simbol itu teratur, mengalir dalam barisan rapi seperti kisah yang ditulis di batu selama berabad-abad.
Matanya melebar, terpaku pada detail yang terukir dengan sangat halus. Beberapa simbol tampak familier, mirip yang pernah ia temukan di batu-batu lain sebelumnya. Namun, ada banyak yang belum pernah ia lihat, lebih rumit dan lebih dalam maknanya. Satrio mendekatkan obor ke dinding, melihat simbol-simbol kuno itu dengan lebih jelas.
“Ini akan menjadi penemuan yang luar biasa,” gumamnya, tak mampu menyembunyikan kekaguman. "Bahkan aku bingung harus memulainya dari mana."
Setiap simbol dan ukiran seolah bercerita, memancarkan misteri yang berabad-abad lamanya tersembunyi.
Meskipun gua ini mungkin tidak terlalu dalam, tapi cukup luas untuk memberikan ruang bagi segala keajaiban yang tersimpan di dalamnya. Satrio melangkah lebih dalam, merasakan udara yang lebih dingin dan lembap.
Di ujung gua, tampak sebuah batu besar yang bertumpuk-tumpuk, membentuk struktur menyerupai meja. Bentuknya yang unik seolah memancarkan aura kuat, menarik perhatiannya lebih dalam.
Satrio pun mulai mengamati permukaan datar pada batu itu, dan menemukan sesuatu, yang membuat bulu kuduknya meremang.
Di sisi batu itu, terdapat cekungan cukup dalam dan besar, menyerupai telapak tangan manusia, dengan ukuran yang tidak normal. Selain itu, terdapat ukiran teks yang tersusun rapih memenuhi seluruh bagian batu.
"Ini teks kuno. Ada sesuatu yang sangat penting di sini." gumam Satrio, menyentuh permukaan batu dengan hati-hati.
Satrio merasakan keberadaannya di gua ini, seolah menjadi jembatan antara masa lalu dan sekarang, menghubungkannya dengan kisah yang tak terhitung jumlahnya.
Satrio mengamati sekeliling gua dengan penuh rasa ingin tahu, mempertimbangkan untuk menghabiskan malam di sini. Suasana tenang dan misterius membuatnya merasa berada di tempat sakral. Ia sadar bahwa ini adalah kesempatan langka untuk mempelajari simbol-simbol batu yang baru ia temukan.
"Aku akan menghabiskan malam di sini," pikirnya, membayangkan bagaimana ia dapat meneliti tanpa gangguan dari dunia luar.
Dengan tekad bulat, Satrio memutuskan untuk menyiapkan segala keperluannya, mulai dari pencahayaan, buku catatan hingga beberapa buah yang ia ambil dari mulut gua.
Dengan langkah mantap, Satrio kembali ke batu besar, mengamati setiap detail dengan cermat. "Mungkin butuh waktu cukup lama untuk memahami ini semua," bisiknya, mulai membuka buku kecil yang selalu ia bawa.
Dalam cahaya lembut yang dipancarkan oleh api buatannya, ia mulai menggambar simbol-simbol kuno yang terdapat di batu itu, dengan harapan ia bisa menganalisis dan menyusunnya untuk menemukan jawaban.
Wajahnya mendekat, matanya menyipit, saat ia merasa familiar dengan beberapa simbol yang tertoreh pada sisi-sisi batu itu. "Lagi-lagi, simbol pohon." gumamnya.
Selain teks kuno, terdapat juga beberapa simbol yang terukir pada tiap sisi batu, seolah menjadi bingkai pembatas dari teks kuno yang tertulis di bagian dalamnya. Di antara simbol itu, terdapat ukiran sebuah pohon yang digambarkan memiliki badan yang sangat besar.
Satrio mundur satu langkah, mengamati keseluruhan bagian batu dengan cermat, sesekali menggigit pisang yang ia ambil dari bibir gua. Rasa manis dan asam buah itu tidak cukup untuk mengalihkan perhatiannya dari keanehan yang ada di hadapannya.
"Batu ini memiliki teks yang terukir rapi, dihiasi beberapa simbol di tiap sisinya. Dan apa maksudnya telapak tangan ini?" gumamnya, matanya tak bisa berhenti, melirik satu per satu simbol dan teks kuno pada batu itu.
Beberapa saat ia terdiam, seolah ada sesuatu yang menggelitik di dalam pikiranya. "Batu dengan telapak tangan? Batu dengan jejak kaki?" Jantungnya berdebar kencang saat ia menemukan keterkaitan antara Batu Penjelajah dan batu yang saat ini ada di hadapannya. Keduanya seakan berbicara dalam bahasa yang sama, meskipun tersembunyi di balik simbol-simbol kuno.
"Dari ukuran telapak tangan ini, sepertinya cocok dengan ukuran batu Penjelajah. Bahkan teks kuno ini pun memiliki pola yang sama. Apakah ini juga tanda darinya?" pikirnya, otaknya berusaha menjalin benang merah antara penemuan-penemuan ini.
Satrio mulai merasakan jika akan ada sesuatu yang segera terungkap. Ia pun mulai bergelut kembali, menyelami tiap lekukan ukiran teks, mau pun simbol. Jemarinya tak bisa berhenti untuk mengikuti pola rumit, demi mendapatkan jawaban.
"Ini mengisahkan suatu suku besar," gumamnya, matanya terus berfokus pada tiap ukiran. "Ada yang mereka jaga. Sesuatu yang sakral, dan besar."
"Sesuatu itu begitu berharga bagi mereka." Satrio mengernyitkan alis, ketika ia menemukan sebuah simbol khusus. "Ini simbol larangan."
Ia mundur satu langkah, lalu berbisik, "Sebuah perjanjian. Ini batu perjanjian."
Tatapannya tertuju pada simbol yang hampir tenggelam, di bawah teks kuno. Dengan hati-hati, ia mulai membersihkan debu dan kotoran yang menutup simbul tersebut.
Saat gambar mulai jelas, ia pun kembali dibuat bingung. "Ini para penggembala. Tapi kenapa, mereka justru dihadang?" pikirnya, ketika menemukan gambar para pengembala, yang dihadang oleh beberapa orang dengan bentuk kepala aneh.
Matanya kembali bergeser, pada suatu ukiran yang terasa tak asing lagi. "Dan untuk pohon yang satu ini." Satrio mendekatkan wajahnya. "Apa pun ini. Aku yakin memiliki makna yang besar."
Satrio menghela napas panjang, menyilangkan kedua tangan di atas dadanya. “Andai Gilang di sini,” gumamnya, setengah tersenyum membayangkan sahabatnya. “Ia pasti sangat bersemangat.”
Sejenak ia terdiam, merenungi rasa rindu yang mulai menekan batinnya. Bayang-bayang perkotaan dengan sesaknya aktivitas, kini menjadi sesuatu yang ia harapkan. "Bahkan aku rindu, dengan aktivitas yang paling aku benci sekalipun."
Satrio tersenyum kecil, lalu melirik ke sudut gua, pada matras yang sudah ia siapkan sebelumnya. "Sepertinya untuk malam ini sudah cukup," ujarnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desiran angin.
Satrio melangkah perlahan menuju matrasnya, sembari memandang ke arah batu yang baru saja ia teliti.
"Urusan kita belum selesai. Besok aku pasti kembali."
Pikiran tentang simbol-simbol itu terus berputar di benaknya, namun kelelahan mulai menguasainya. Dengan tubuh yang mulai terasa berat, ia duduk dan melepaskan napas panjang, bersiap menyambut hari esok yang penuh dengan misteri baru.
Waktu berjalan dengan cepat, mengiringi hari yang mulai berganti.
Namun, suara ribut yang menggelegar dari arah mulut gua, membuat Satrio terjaga dengan jantung berdegup kencang. Ia segera duduk, matanya menyipit ke arah sumber suara, berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Suara benda diacak-acak terdengar jelas, seolah seseorang sedang mengobrak-abrik tumpukan buah yang berada di mulut gua.
Tanpa berani bergerak, Satrio hanya terpaku di tempatnya. Sesekali ia mencubit lengannya, namun ini jelas bukan mimpi. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, sementara ia berusaha menenangkan dirinya. Dalam hati, ia berharap suara itu akan segera hilang, namun bunyi derak terus berlanjut, semakin intens.
Suara tajam menyobek udara, disusul hentakan keras ketika sebuah tombak melesat dan menancap pada dinding gua di dekatnya. Satrio tersentak, tubuhnya menegang seketika, sementara jantungnya berdebar kencang. Rasa panik dan cemas menyerbu, membuat keringat dingin semakin deras mengalir di tubuhnya.
Tatapannya terpaku pada tombak yang bergetar di dinding, kepalanya berdenyut, seolah kesadarannya mulai kabur oleh rasa takut. "Siapa yang ada di luar sana?" pikirnya sambil merapatkan tubuh ke arah batu, berusaha mencari perlindungan di tengah kegelapan. Ia menyadari sesuatu, atau seseorang, sedang mengincarnya.
Suara seorang pria menggema di dalam gua, penuh amarah dan keputusasaan. "Leluhur!! ... Apa yang harus kami lakukan!!!" teriaknya, seolah menantang kekuatan yang tak terlihat. Satrio, masih dalam keadaan tegang, mendengarkan dengan seksama, mencoba mencerna setiap kata yang terucap di tengah suasana yang mencekam.
"Kami sudah melakukan apa yang kalian minta! Tapi mengapa kutukan ini masih merenggut warga kami!!" Suara pria itu semakin tinggi, penuh luka dan frustrasi. Satrio bisa merasakan betapa beratnya beban yang disandang oleh si pria, siapa pun dia.
"Jika harus ada yang dikorbankan... ambillah nyawaku!!" teriakan itu mengguncang batin Satrio, membuat darahnya berdesir.
"Jika aku tak mampu melawanmu... Siapapun... kumohon gantikanlah aku untuk menghancurkan kutukan ini! Tolonglah desa kami!! Tolong kami!..." Suara pria itu melemah, penuh kesedihan yang dalam, seperti seseorang yang berada di ambang kehancuran.
Satrio merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan, seolah-olah pria itu sedang menghadapi sesuatu yang misterius. "Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada orang itu?" pikirnya sambil menarik napas dalam, berusaha untuk tetap tenang.
Satrio segera tersadar, matanya melebar dan telinganya menangkap bunyi langkah kaki yang semakin mendekat. Suasana dalam gua yang sebelumnya hening, kini berubah mencekam. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.
"Dia pasti akan mengambil tombaknya," pikir Satrio cepat. Pandangannya terfokus pada tombak yang masih menancap kuat di dinding gua, hanya beberapa meter dari tempatnya saat ini. Tubuhnya menegang, otaknya bekerja keras mencari cara untuk tetap aman.
Langkah-langkah itu semakin dekat, berat dan lambat. Setiap hentakan membuat jantung Satrio berdegup lebih cepat. Tidak ada ruang untuk lari, namun ia tahu, ia harus siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Suasana mendadak kaku, seakan waktu berhenti sejenak. Dua pasang mata saling bertatapan. Satrio dan pria asing itu. Mereka sama-sama terpaku di tempat. Cahaya matahari yang meresap ke dalam gua, memperlihatkan bayangan samar wajah mereka.
Pria di depan Satrio tampak setengah terkejut, setengah marah. Napasnya berat, keringat membasahi wajahnya yang berkerut. Mereka berdua tak bergerak, seperti mencoba membaca satu sama lain. Tak ada suara, hanya detak jantung yang berdentum keras di telinga Satrio.
"Siapa kau?" gumam pria itu, suaranya serak dan berat, tapi matanya tetap tajam, penuh curiga.
lanjut nanti yah