Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Penasaran
...----------------...
Suara bel di gedung sekolah berbunyi dua kali menandakan jam istirahat telah tiba. Seketika suasana kelas yang sepi menjadi riuh oleh suara gaduh para murid yang sudah jenuh dengan kegiatan belajar mereka. Tentu saja Rara dan Mita ada di antaranya. Bahkan tubuh mereka berdua begitu kompak menggeliat ketika berakhirnya jam pelajaran matematika.
Guru mata pelajaran Matematika yang bernama Bu Dade Sumarni sudah keluar dari ruang kelas, lalu para murid SMA di kelas itu pun satu persatu berangsur keluar mengikuti guru tersebut. Ada pula beberapa murid yang masih tertahan di kelas. Rara dan Mita termasuk di antaranya. Keduanya masih sibuk mematut diri di depan cermin kecil yang selalu ada di kolong meja. Berdandan adalah hal yang selalu mereka lakukan ketika jam istirahat dan pulang telah tiba.
"Ah ... akhirnya selesai juga pelajaran tentang kue lebaran."
Rara yang sedang merapikan rambutnya menggunakan jari tangan sontak menoleh kepada sahabatnya—Mita, yang mengucapkan kalimat tersebut. "Kok, kue lebaran? Jauh banget lo ngasih julukan buat pelajaran matematika? Apa hubungannya?" tanyanya dengan tatapan aneh. Matematika memang pelajaran yang paling menakutkan bagi sebagian murid sekolah. Namun, sejauh ini julukan kue lebaran adalah yang paling jauh menurut Rara.
"Yeh, emangnya lo nggak ngedengerin tadi Bu Dade ngejelasin tentang apa?" tanya balik Mita tanpa rasa bersalah.
"Matematika dan nggak ada hubungannya sama lebaran." Rara sedikit sewot dengan temannya yang agak lemot. Terdengar ada sedikit penekanan di dalam kalimatnya tersebut.
Mita malah berdecak sambil memutar bola matanya. "Iya tahu, Matematika. Tapi kan materinya hari ini tentang kue lebaran. Makanya kalau belajar harus fokus, dong!"
Rara mengernyitkan kening, lalu menggaruk keningnya yang tidak gatal. Sebenarnya di sini siapa yang bebal? Pandangannya pun beralih pada papan tulis di depan. Faktanya, materi yang dijelaskan adalah tentang bangun datar.
"Itu?" Rara menunjuk papan tulis dengan jari telunjuk. Mita menengok lalu mengangguk.
"Bu Dade tadi jelasin tentang bangun datar. Nggak ada hubungannya sama makanan. Lo tuh suka ngada-ngada, deh!" seru Rara kesal karena merasa dipermainkan.
"Gue nggak ngada-ngada kali. Bu Dade tadi jelasin tentang belah ketupat, kan?" Kali ini Rara menganggukkan setuju. Mita pun tersenyum lucu.
"Nah, biasanya kita suka belah ketupat pas lebaran aja, kan? Jadi, gue nggak salah, emang tentang kue lebaran," seloroh Mita yang sukses mendapatkan pukulan kecil di keningnya. Perempuan itu berdesis kesakitan merasakan perih yang menyerang.
"Gila lo, ya! Gue pikir otak lo udah konslet beneran." Rara gemas dengan sikap temannya yang selalu menunjukkan sisi absurd yang di luar nalar manusia.
"Iya, iya, si paling Matematika! Gue cuma becanda!" seru Mita. Kalimatnya menekankan kata sindiran untuk sahabatnya yang tidak bisa diajak bercanda.
"Makanya otaknya jangan dipake buat mikirin makanan doang. Becanda lo garing, tahu!"
"Biarin." Mita mencebikkan bibir lalu bangkit dari duduknya. "Yuk, ke kantin! Cacing di perut gue udah nangis-nangis dari tadi minta dikasih makan," ajak Mita sambil meraih tangan Rara lalu membuatnya berdiri.
"Ayo!"
Rara menerima ajakan Mita dengan senang hati. Tentu saja kedua sahabat itu tidak serius dengan pertengkaran mereka tadi. Saling meledek dengan celetukan kasar bahkan vulgar sering mereka lakukan. Bagi mereka, hal itu merupakan bumbu tambahan dari kisah persahabatan.
Sesampainya di kantin, Rara dan Mita langsung memesan bakso kepada Mang Dirman—penjual bakso di kantin sekolah itu. Tak lama menunggu, bakso pun sudah siap disajikan. Kini, kedua gadis itu tengah sibuk menambahkan sedikit bumbu dan rasa pedasnya yang kurang.
"Eh, Ra. Lo tahu nggak ...?"
"Nggak?"
"Gue belum selesai ngomong!" Mita berdecak ketika Rara langsung memotong kalimatnya.
"Kalimat tanya lo 'kan udah selesai. Ya, gue langsung jawab, lah," ucap Rara santai sambil menuangkan sambal ke dalam baksonya. Terlihat santai dan tak merasa salah.
"Iya juga, sih." Mita menggaruk kepalanya sebelum melanjutkan kata, "Ya udah, gue langsung kasih tahu aja. Ini tentang cowok gila yang kemarin meluk lo itu ...."
"Kenapa dia? Dia datang lagi ke sekolah kita?" Rara memotong perkataan Mita lagi.
"Bukan. Gue mau ngasih tahu kalau cowok itu ternyata seorang bintang film, lho."
Rara tersentak tentu saja. Tangan gadis itu sontak berhenti mengaduk kuah bakso yang hendak dia santap. "Yang bener lo? Artis apa? Film biru, ya?" imbuhnya kemudian. Rara memang menganggap Ryan sebagai pria messum yang kurang ajar.
"Bukan, ih. Ngeres aja otak lo. Itu, lho, film drama TV yang suka ada cerita azabnya. Semalam gue nggak sengaja lihat muka dia pas nyokap lagi nonton acara itu," ucap Mita dengan serius.
"Yang di channel ikan terbang?"
"Iya." Mita mengangguk pasti mengiyakan pertanyaan Rara.
"Gue sama nyokap gue juga sering nonton acara film kayak gitu, tapi nggak pernah lihat tuh muka messum orang itu. Salah lihat kali?" cetus Rara tidak percaya. Setiap hari gadis itu memang sering dicekoki film yang ceritanya hampir mirip dengan kisah Cinderella oleh sang ibu. Katanya, film itu terdapat banyak inspirasi. Diantaranya, orang yang sering berbuat jahat akan mendapatkan balasannya suatu saat nanti.
"Gue yakin itu dia. Namanya juga sama, Ryan."
"Kok, lo bisa tahu namanya?"
"Ada di deskripsi filmnya. Saking penasarannya, gue cari di internet. Ternyata orang itu memang aktor di produksi FTV itu, tapi kayaknya dia baru debut, deh. Pemain baru gitu. Soalnya perannya kebanyakan jadi figuran doang. Kayak di film semalam, dia tampil cuma jadi Kang Ojol yang nganterin ibu-ibu terus kecelakaan, lalu si ibunya meninggal."
Mita menjelaskan dengan detail informasi yang dia tahu tentang Ryan. Namun, Rara sepertinya tidak tertarik akan hal itu. Gadis itu memilih fokus meniup kuah bakso yang masih panas pada sendok sebelum masuk ke dalam mulutnya.
"Terus, terus. Si Kang Ojolnya gimana?" Alih-alih penasaran dengan sosok Ryan dalam dunia nyata, Rara malah mengajukan pertanyaan tentang cerita film yang ditonton Mita. Parahnya, sahabatnya itu malah menanggapinya pula.
"Nggak diceritain lagi. Kayaknya meninggal juga, deh."
"Yah, sayang banget harus mati muda. Kasian," seloroh Rara dengan memasang wajah berduka.
Seperti memperebutkan pepesan kosong saja. Mita baru sadar jika Rara sedang mempermainkannya.
"Heh, kenapa jadi bahas filmnya, sih!" Mita menginterupsi. Rara pun tertawa dan hampir tersedak kuah bakso yang baru saja diseruputnya tadi.
"Abisnya lo cerita kayak yang beneran aja. Gue kan jadi kebawa suasana," kilah Rara, "cepet makan tuh bakso! Keburu dingin nggak enak," imbuhnya sambil menunjuk semangkuk bakso yang belum disentuh oleh pemiliknya.
Mita berdecak sebal. Padahal, dia ingin membahas lebih detail tentang lelaki misterius yang tiba-tiba memeluk Rara waktu lalu. Jujur, Mita sedikit terpesona dengan ketampanan lelaki itu.
"Menurut lo, dia ganteng nggak?" Mita bertanya lagi setelah menyuap beberapa sendok bakso. Rasa penasarannya masih tinggi terhadap sosok Ryan.
"Hmm ... ganteng," jawab Rara sambil menganggukkan kepala.
Rara sebenarnya tidak ingin memuji, karena pemuda yang sedang mereka bicarakan sangatlah dibenci. Namun, ketampanan Ryan memang tidak bisa dipungkiri. Dia bisa apa selain mengakui.
"Tapi walaupun ganteng, kalau songong juga buat apa. Baru jadi pemeran figuran aja kurang ajarnya udah nggak ketulungan. Apalagi kalau jadi artis terkenal. Wah, nggak kebayang narsisnya kayak gimana! Bisa jadi penjahat kelamin. Hih, serem!" imbuh Rara sambil bergidik ngeri.
"Iya juga, sih. Tuh, cowok gantengnya emang maksimal, tapi sayangnya kurang ajar." Mita menghela napas kasar penuh kekecewaan. Sayang sekali rasanya jika lelaki tampan, tetapi tidak punya kesopanan.
"Betul. Amit-amit, deh, jangan sampe gue ketemu sama cowok itu lagi! Walaupun dia ganteng, tapi kalau etikanya nol, sama aja bo'ong. Yang ada makan ati tiap hari. Sakitnya, tuh, di sini!" ujar Rara sambil menyentuh dada, sedangkan Mita hanya mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju dengan perkataan sahabatnya.
"Yah, udah bel masuk aja. Padahal belum abis baksonya." Mita tersentak ketika suara bel tanda masuk kelas setelah istirahat menggema di udara. Rara yang sama mendengarnya pun segera menghabiskan makanannya lalu menyeruput es jeruk hingga tandas tak tersisa.
"Ayo, masuk! Sekarang pelajaran Bahasa Inggris. Lo tahu sendiri kalau Pak Otang Suganda nggak punya toleransi telat sama sekali," ajak Rara sambil menarik tangan Mita.
"Eh, eh, bentar. Gue minum dulu." Mita yang belum minum menyeruput minumannya terlebih dahulu, sebelum kemudian mereka bergegas pergi dengan setengah berlari. Namun, belum jauh dari tempat mereka pergi terdengar suara Mang Dirman menginterupsi.
"Neng, belum bayar."
"Ngutang dulu, Mang. Nanti pulangnya ke sini lagi." Begitulah jawaban Rara dan Mang Dirman hanya bisa menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah mereka.
...----------------...
...To be continued ...
disitulah mulai ga sadar senyum sendiri 🤣🤣🤣
ga berasa baca teh 😁
ko tau
ya tau dong
masa engga 😅😅😅
drama indihe meregehese 🤣🤣🤣
ada yang panas
tapi bukan seblak 😅😅😅
ryan pk helikopter emang ?