Aisha berjalan perlahan mendekati suaminya yang terlihat sedang menelepon di balkon, pakaian syar'i yang sehari-hari menjadi penutup tubuhnya telah dia lepaskan, kini hanya dengan memakai baju tidur yang tipis menerawang Aisha memberanikan diri terus berjalan mendekati sang suami yang kini sudah ada di depannya.
"Aku tidak akan menyentuhnya, tidak akan pernah karena aku hanya mencintaimu.."
Aisha langsung menghentikan langkahnya.
Dia lalu mundur perlahan dengan air mata yang berderai di pipinya, hingga ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, Alvin tidak tahu jika Aisha mendengar percakapan antara dirinya dengan seseorang di ujung telepon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasihat Ibu
Alvian tak bisa tidur, perkataan Aisha tadi terngiang-ngiang di telinganya, dia lalu membalikkan badannya melihat Aisha yang berbaring di sofa membelakanginya.
Dia menatap cukup lama punggung istrinya sambil mengingat kembali perkataan Aisha yang sungguh sangat mengusik dirinya, tidak ada yang salah memang, semua yang dikatakannya benar adanya, akan tetapi dia heran kenapa Aisha mengatakan hal itu.
Keesokan paginya.
Setelah melaksanakan shalat subuh, Aisha segera pergi ke dapur untuk membuat sarapan.
Tak lama ibu mertuanya pun menyusul, mereka memasak sambil bercengkrama dengan akrab.
"Apa kamu bahagia nak? Apa putra ibu memperlakukanmu dengan baik?" tanya ibu tiba-tiba membuat Aisha kaget.
Aisha melihat ibu mertuanya kemudian mengangguk sambil mencoba untuk tersenyum.
"Iya ibu, aku bahagia. Suamiku sangat baik padaku," jawab Aisha kemudian.
Seakan tidak percaya, ibu memegang kedua bahu menantunya, mengarahkan untuk menghadap kearahnya.
Ibu mencoba menatap kedua relung mata Aisha, mencoba mencari jawaban yang sebenarnya disana.
"Jangan berbohong," pinta ibu menatap mata Aisha.
Aisha langsung menunduk.
"Aku bahagia ibu," ucap Aisha lagi, sambil kembali melanjutkan memasak.
Entah mengapa ibu merasa jika menantunya itu berbohong, apalagi ketika dilihatnya kedua mata Aisha kini berkaca-kaca.
Ibu kini merasa jika apa yang ditakutkannya mungkinkah terjadi, pernikahan putranya tidak berjalan dengan baik.
Ibu mulai cemas, namun kemudian dia berharap jika ini hanya dugaannya saja, dan kenyataannya pernikahan putranya berjalan dengan baik walaupun pernikahan mereka karena dijodohkan, akan tetapi keduanya telah saling menerima satu sama lain sehingga lambat laun akan timbuh benih cinta diantara mereka.
***
Namun nyatanya sikap yang ditunjukkan oleh Aisha dan Alvian lain dari apa yang ibu harapkan, yang justru seolah mempertegas dugaannya jika hubungan keduanya memang tidak baik, tak ada sikap yang ditunjukkan selayaknya pasangan pengantin baru pada umumnya, tatapan mesra dan senyum bahagia.
Keduanya justru memperlihatkan sikap canggung dan terkesan menjaga jarak, seperti saat ini, saat Alvian akan berangkat kerja setelah selesai sarapan, dia tak berpamitan pada istrinya.
Begitu juga dengan Aisha yang nampak tak acuh, hal itu semakin memperlihatkan ketidakharmonisan hubungan mereka.
Ayah mungkin tidak menyadarinya, lain halnya ibu yang terus memperhatikan keduanya.
Akhirnya dengan alasan ada yang harus dibelinya ibu sekalian meminta Alvian mengantarkannya ke pasar.
Di perjalanan.
"Nak.." Ibu melihat putranya yang menyetir.
Alvian melirik sang ibu.
"Ibu tahu jika pernikahanmu dengan Aisha tidak berjalan dengan baik," ucap ibu hati-hati.
Alvian tak merasa kaget, dia tahu benar jika dirinya tak bisa menyembunyikan apapun dari sang ibu. Ibunya pasti tahu dari sikap yang ditunjukkan olehnya dan Aisha.
"Memangnya apa yang ibu harapkan? Sudah aku bilang jika aku bersedia menikahinya hanya menuruti kehendak ibu dan ayah saja," jawab Alvian enteng.
"Jadi makna dari sebuah pernikahan sama sekali tak ada artinya untukmu?"
Alvian terdiam. Dia nampak bingung untuk menjawab.
"Hubungan pernikahan terlalu sakral untuk kamu permainkan, tak bisa menikah hanya sekedar untuk menuruti keinginan orang tua, sehingga kamu mengabaikan hak dan kewajibanmu sebagai seorang suami."
Alvian tertegun.
"Ketika kamu menyetujui menikahi Aisha, berarti kamu sudah menerima Aisha untuk masuk ke dalam hidupmu, menjadi istrimu, cobalah untuk mengenalnya lebih dekat, ibu yakin jika kamu sudah lebih mengenalnya kamu akan jatuh cinta padanya." nasihat ibu lagi.
"Tapi Bu, aku sudah mencintai wanita lain."
"Tinggalkan dia, karena sekarang lebih berhak atas dirimu adalah Aisha, bukan 'wanita lain' itu."
"Tapi Bu.."
"Menikah dengan orang yang kita cinta bukan jaminan kita akan hidup bahagia nak. Kami memilihkan Aisha untukmu karena dia akan membawamu dekat dengan surga. Bahagia dunia dan akhirat."
"Aisha terlalu berharga untuk kamu sia-siakan, jangan sampai kamu menyesal nantinya," lanjut ibu lagi sebelumnya turun dari mobil.
***
Ayah dan ibu sudah kembali pulang, ayah yang mengajak istrinya untuk segera kembali dan tidak berlama-lama disini agar tak mengganggu pasangan pengantin baru, ibu yang mengetahui semuanya hanya pura-pura mengiyakan saja.
"Ibu harap kamu bisa bersabar, dan tetap menjadi istri yang shalihah." Nasihat Ibu sambil memeluk menantunya saat berpamitan.
Aisha hanya bisa mengangguk kecil, dia merasa bersalah karena tahu jika sang ibu mertua berharap banyak dari pernikahan ini.
Sepeninggal kedua mertuanya, Aisha tampak sibuk membereskan kembali barang-barangnya karena akan kembali ke kamar tamu.
Tiba-tiba dia dikagetkan dengan suara pintu dibuka, dirinya yang tidak memakai niqab segera mencarinya, namun Aisha kebingungan mencari karena lupa dimana menyimpannya.
Alvian akan memasuki kamar, akan tetapi Aisha menahan pintu itu di baliknya.
"Tunggu dulu, saya belum memakai cadar."
Alvian berdiri di depan pintu yang sudah terbuka kira-kira sejengkal.
Aisha mendorong pintu agar kembali tertutup, akan tetapi Alvian justru menahan dengan kakinya. Membuat Aisha kaget.
"Penutup wajahmu ada di sofa luar," ucap Alvian.
Aisha kaget, dia kemudian baru ingat jika dirinya memang menyimpannya disana tadi.
Aisha bingung, dia tak ingin keluar dari kamar itu tanpa cadarnya. Dia tak ingin Alvian melihat wajahnya.
"Keluar dan ambillah." Alvian seolah menantang.
Aisha semakin bingung.
"Cepatlah. Aku ingin masuk ke kamar."
Tiba-tiba pintu langsung ternganga lebar, refleks Alvian langsung melihat wajah Aisha yang rupanya tertutupi oleh ujung hijabnya.
Aisha berjalan dengan cepat menuju sofa dan memakai niqabnya disana.
Alvian yang kesal memperhatikan di belakangnya.
Aisha kembali ke kamar sudah dengan cadarnya, berniat hendak mengambil barang-barang miliknya.
Alvian hanya memperhatikan di ambang pintu. Tak membantu walaupun dia melihat Aisha yang kerepotan mengeluarkan semua barang-barangnya.
"Katakan. Kenapa kamu tak mau memperlihatkan wajahmu padaku, dan kenapa juga tak mau sekamar denganku?"
Aisha sedikit kaget dengan pertanyaan Alvian, namun dia memilih untuk menghiraukannya karena masih sibuk mengeluarkan semua barang miliknya.
Alvian tersenyum sinis.
"Ibuku mengatakan jika aku menyia-nyiakanmu, tapi nyatanya bukan hanya aku saja yang tidak menginginkan pernikahan ini, kamu juga kan? Itu pasti karena sudah ada pria lain yang kamu cin ..."
"Alasannya adalah bagaimana jika anda tergoda dan akhirnya goyah setelah melihat wajah saya?" Ucap Aisha cepat memotong perkataan Alvian.
"Ada janji yang harus anda tepati kan?"