Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu
***
Sesaat aku mulai menyesali keputusanku saat mengiyakan ajakan Galen untuk bertemu, katakanlah aku ini sembrono atau bahkan bodoh, karena baru sekarang aku mulai mengakui hal ini. Entah apa yang ada di pikiranku kemarin saat Galen mengirimiku pesan berbasa-basi menanyakan kabar, lalu berlanjut untuk mengajak bertemu, tanpa perlu berpikir panjang aku langsung menyanggupi, entah karena alasan apa.
Penasaran?
Lumayan. Aku ingin mengetahui kehidupannya yang sekarang. Apakah dia benar-benar hidup dengan baik setelah kita memutuskan lost contact?
Di sini lah aku berada, di salah satu Cafe tempat kami janjian, letaknya tidak dekat dengan rumah sakit demi menghindari gosip buruk tentangku, yang mungkin saja masih berhembus sampai detik ini.
"Sorry, nunggu lama ya?"
Aku termenung sesaat dan bukannya membalas sapaan Galen. Pria itu nampak gagah dan tampan dengan balutan kemeja batiknya, rambutnya tertata rapi dan klimis, oh, jangan lupakan aroma parfumnya yang maskulin ini. Benar-benar memabukkan. Debaran aneh itu tiba-tiba hadir secara tidak sopan.
Oke, seperti sekarang aku mengerti kenapa Mas Yaksa begitu mewanti-wanti agar aku menjaga sikap. Ternyata efeknya begini, cukup membuatku nyaris hilang kewarasan.
"Ge, are you okay?"
Galen duduk di hadapanku dengan raut wajah khawatirnya. Lamunanku langsung buyar.
"Sorry, nggak kok gue juga baru nyampe. Baru pulang se..." aku menggeleng dan buru-buru meralat kalimatku, "maksud gue baru pulang ngajar?"
"Enggak kok, gue udah pulang lumayan tadi, kebetulan gue ngajar anak SD jadi pulangnya nggak terlalu sore."
Tanpa sadar aku meringis. Cukup takjub dengan fakta yang baru saja aku dengar, tiba-tiba aku membayangkan betapa pusingnya Galen mengurus anak-anak sekolah dasar yang... yah, begitu lah kondisinya, susah diatur. Tapi ngomongin anak memang nggak gampang diatur sih, untuk Javas menurutku dia lebih gampang diaturnya, tapi untuk Alin, bayi mungil yang harusnya lebih mudah ditangani ini sudah menunjukkan tanda-tanda ngeyelan persis seperti Bundanya. Padahal untuk ukuran bayi, bukankah seharusnya belum terlalu menunjukkan tanda-tanda ini ya? Entah lah, mungkin aku saja yang culture shock.
"Pusing nggak sih ngurusin anak SD itu?"
"Banget," jawab Galen sedikit menggebu. Tidak ada ekspresi tertekan pada wajah tampannya, justru pria itu terlihat cukup bersemangat, "tapi seru sih, Ge. Ada aja gebrakannya." Ia tertawa menambah kesan tampannya.
Benar-benar kacau.
"Jujur gue agak nggak nyangka sih kalau lo bakalan terjun di dunia pendidikan dan ngajar."
"Kenapa?"
Aku mengangkat kedua bahuku secara bersamaan lalu mengaduk minumanku dan meminumnya.
"Mungkin gue pikir lo bakalan jadi Mas-mas SCBD dengan kemeja slimfit-nya, yang kerjaannya meeting mulu, terus ngekost di apartemen mewah. Gitu-gitu."
Mendengar penuturanku, Galen tidak dapat menahan dengusannya. "Gue nggak cocok banget bekerja di bawah tekanan gitu, Ge, bukan gaya gue banget. Lalu kalau masalah ngekost di apartemen mewah, bisa aja sih gue lakuin itu, tapi gue lebih tinggal sama keluarga dulu. Soalnya kedua orang tua gue nggak kasih izin, kecuali kita udah nikah, toh, sama-sama di Jakarta, mending uangnya ditabung buat beli rumah ketimbang buat sewa apartemen."
Aku hanya manggut-manggut saat merespon penjelasannya.
"Lo sendiri kenapa pada akhirnya milih ambil keperawatan? Bukannya dulu lo bilang pengennya jadi dokter?"
Mau tidak mau kali ini aku yang mendengus. Dipikir biaya kuliah kedokteran itu murah apa? Kuliah keperawatan saja kalau tidak dibantu Mas Yaksa, entah nasibku kala itu, harus terpaksa berhenti dan membuatku bekerja jadi buruh pabrik kali ya.
"Realistis aja sih, Gal."
"Tapi lo nyaman kan sama kerjaan lo yang sekarang?"
Aku mengangguk cepat, meski di awal ini bukan lah pekerjaan yang benar-benar aku impikan tapi setelah menjalaninya aku cukup merasa puas diri. Apalagi setelah melihat bagaimana para dokter muda digembleng habis-habisan oleh dokter konsulennya di belakang atau di depan pasien secara langsung, aku merasa mentalku mungkin tidak sekuat itu.
"Terus soal pernikahan lo itu gimana?"
Tubuhku seketika langsung menegang kaku. Wajahku mungkin berubah pucat karena tidak menyangka kalau Galen sudah mengetahui statusku dan menanyakannya secara langsung begini. Aku tahu Galen bukan tipe yang suka berbasa-basi, apa yang mengganggu pikirannya biasanya akan secara langsung diutarakannya. Alasan ini lah yang membuatku yakin kalau Galen tidak memiliki perasaan lebih terhadapku. Karena kalau dia punya perasaan itu tidak mungkin selama ini dia diam saja kan?
"Ya, kami baik-baik saja. Bentar lagi kami mau adain resepsi. Duh, gue lagi nggak bawa undangan, ntar lo kirim aja alamat rumah lo biar gue kirimin."
Sebisa mungkin aku terlihat santai dan biasa saja, seolah itu bukan lah sebuah masalah. Meski sejujurnya ya memang ini bukan sebuah masalah karena aku dan Mas Yaksa sama-sama sudah berkomitmen, yang jadi masalah adalah kehadiran Galen yang secara tiba-tiba ini.
"Jadi lo beneran udah nikah?"
Aku mengangguk lalu memamerkan cincin kawinku pada Galen.
"Sama kakak ipar lo sendiri?"
Nada bicara Galen terdengar tidak percaya. Meski sudah berbulan-bulan dinikahi dan sebentar lagi kami mengadakan resepsi, terkadang rasanya memang sedikit membuatku tidak percaya. Wajar kalau Galen merasa demikian.
"Iya, gue nikah sama 'mantan' kakak ipar gue sendiri, Gal."
"Kenapa? Maksud gue, lo cinta sama dia?"
"Gal, cinta bisa hilang seiringnya waktu. Tapi aku dan Mas Yaksa, kami sepakat untuk berkomitmen."
"Enggak masuk akal." Galen menggeleng tidak habis pikir, "kenapa lo harus melakukan hal ini, Ge? Lo bisa mendapatkan cinta dari orang yang lo cintai, tapi kenapa lo malah lebih memilih sama kakak ipar lo sendiri? Kenapa? Lo dipaksa kedua orang tua lo? Atau bahkan kakak ipar lo yang maksa lo?"
"Kakak ipar yang lo sebut itu sekarang udah jadi suami gue, Gal. Dia nggak maksa gue, justru kami sama-sama dipaksa keadaan."
"Kenapa lo nggak nolak?"
"Karena aku nggak punya kuasa untuk menolak. Waktu itu posisinya aku single yang lagi nggak menjalin hubungan dengan siapapun, hal ini membuatku makin terdesak."
"Kenapa nggak nyari aku, Ge?"
Tunggu sebentar, aku salah dengar kan barusan? Bukan, aku tidak terlalu terkejut karena dia ikut menggunakan sapaan aku-kamu, tapi yang membuatku terkejut adalah fakta yang diungkapkannya.
"Kenapa gue harus nyari lo?" tanyaku tidak paham.
Aku mulai takut dengan segala kemungkinan yang tidak ingin kudengar.
"Karena aku bisa nikahin kamu, Ge."
Astaga, apa yang barusan aku dengar? Kenapa Galen tiba-tiba berkata demikian? Bukankah harusnya dia tidak berkata demikian karena statusku kini sudah menjadi istri orang, fakta yang dia ucapkan tidak akan membantu apapun yang ada membuat semua terasa rumit karena semua sudah terlambat.
To be continue,
komunikasi dewasa yg bisa merekatkan keduanya.... jaga yaa geya yg terbuka ...yeksa yg membimbing...
g enak banget ya..geya...dengernyaa
sabar yaa..
...ibu sedikit saja mengerti,memahami geya u bisa adaptasi dengan keadaannya... toh geya pada dasarnya anak penurut.