Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Geya
***
Galen Sadipta. Nama yang entah sudah berapa tahun tidak aku dengar dan sejujurnya sudah tidak ingin kudengar tentang kabarnya, justru berdiri di sampingku dengan wajah tersenyum khas miliknya. Setelah sekian lama tidak berjumpa aku sedikit terkejut dengan perubahan bentuk tubuhnya yang terlihat semakin berotot, menambah kesan kesan maskulinnya, tidak seperti dulu yang nampak kurus. Mungkin dia rajin ngegym dan membentuk ototnya. Wajahnya pun terlihat semakin tampan dan terkesan dewasa. Benar-benar membuatku nyaris tidak mengenalinya kalau dia tidak menyapaku lebih dulu.
Galen bukan mantan pacarku. Dia hanya teman sekelasku saat kami berada di bangku kelas tiga saat SMA. Kami lumayan akrab selama satu tahun lalu saat kelulusan kamu hilang kontak. Hubungan yang terkesan biasa, namun, meninggalkan kesan yang cukup mendalam bagiku.
Cinta bertepuk sebelah tangan?
Cinta dalam diam?
Cinta sepihak?
Atau baper dalam hubungan pertemanan?
Mungkin yang paling terakhir sangat cocok dengan apa yang kurasakan, meski kenyataannya mungkin benar semua.
"Geya!"
Lamunanku langsung buyar saat aku merasakan sepatuku ditendang oleh Rita. Aku menatapnya dengan tatapan protes tapi dia malah memelototiku sambil menunjuk sesuatu dengan dagunya. Aku mengikuti arahnya menunjuk dan menemukan Galen tersenyum setengah meringis, menatapku.
Tunggu, sebentar, aku merasa linglung.
"Eh, sorry. Galen kan? Apa kabar lo?"
"Beneran Geya kan?"
Aku mengangguk dan mengiyakan. "Sorry, gue agak pangling, soalnya lo gede banget sekarang dulu kan kecil kurus gitu nggak sih?" Aku sedikit tertawa sumbang untuk menetralkan kegugupanku.
Sekuat tenaga aku mensugesti diri sendiri agak tidak mempermalukan diri.
Sambil tertawa Galen menyahut tidak terima. "Enak aja, dulu gue nggak sekecil itu lah, Ge. Gue tinggi ya, lo tuh yang kecil terus nggak tinggi-tinggi."
Mau tidak mau aku pun ikut tertawa. Lalu di hadapanku Rita berdehem, bukan karena sakit tenggorokan, melainkan karena sedang mengkodeku untuk memperkenalkannya. Meski sudah memiliki pacar dan cukup setia dengan pacarnya itu, Rita tidak pernah mau ketinggalan kalau berurusan dengan pria tampan seperti Galen.
"Oh iya, Gal, ini kenalin temen gue namanya Rita."
"Halo, Galen," ucap Galen ramah sambil mengulurkan telapak tangannya. Tak lupa ia tersenyum super ramah dan menarik kursi yang ada di sebelahku dan duduk di sana. Padahal tidak ada yang mempersilahkannya.
"Rita."
Selesai berkenalan dengan Rita, fokus Galen kembali beralih padaku. "Gue boleh minta kontak lo nggak?"
"Buat apa?"
"Berbagi kabar, menyambung silaturahmi. Kita lama nggak ngobrol loh, nggak kangen emang lo sama gue?"
"Ya udah, sini, mana hape lo."
Dengan wajah antusiasnya, Galen merogoh saku celana dan mengeluarkan benda pipih berlambang apel digigit dari dalam sana, lalu menyodorkannya padaku.
"Belum lo bukain, Gal." Aku kembali menyodorkan ponselnya, meninta pria itu membuka lock ponselnya.
"Nomor absen kita."
"Hah?"
"Sandinya nomor absen lo sama nomer absen gue."
Ragu-ragu aku kemudian mengetikkan nomor absen kami secara bergantian. Dan taraaa! Terbuka. Galen memasang foto dirinya untuk dijadikan wallpaper, ia tampak mengenakan seragam korpri dengan gaya aestheticnya.
"Lo PNS?"
"Guru. Ikut nyokap-bokap."
"Oh." Aku tidak berkomentar banyak, setelah mengetikkan nomor ponsel, aku kembali menyerahkannya pada Galen.
Sambil mengulas senyum terbaiknya, ia menerima ponselnya sendiri tak lupa sembari mengucapkan terima kasih tentu saja.
"Thanks, gue duluan ya. Nanti gue kabarin," pamitnya langsung berdiri.
Aku pun mengangguk seadanya dan membiarkannya pergi begitu saja. Di hadapanku Rita memandangku penuh dengan rasa penasaran.
"Jadi siapa cowok ganteng tadi?"
"Kan tadi udah gue kenalin, Rit," balasku seadanya, mencoba cari aman lebih tepatnya.
"Ya tapi dia nggak bilang status kalian dulu apa. Mantan pacar lo ya? Gila, bukan maen juga ya tipe lo. Pantesan selama ini susah bener kalau dideketin taunya emang pasang standar yang tinggi. Tapi nggak papa deh bagus, buktinya dapet modelan Pak Dirut. Ya meski harus nunggu statusnya jadi duda dulu, pake dapet bonus dua biji pula."
Aku menghela napas tidak nyaman karena pembahasannya. Tapi kalau tidak kujelaskan Rita bisa berpikiran macam-macam nih.
"Cuma temen sekelas pas SMA dulu, deketnya juga cuma setahun jelang kelulusan."
Rita kembali memicingkan kedua matanya curiga, tak puas dengan jawabanku.
"Yakin cuma itu? Pasti lebih kan? Gue yakin ada yang naksir sih di antara kalian berdua, atau malah dua-duanya sama-sama naksir tapi sama-sama bego buat ngakuin?"
Tanpa sadar aku menertawakan kalimat Rita yang terakhir. Selain karena kalimat frontalnya, fakta bahwa aku mengharapkan hal itu benar-benar terjadi membuatku ingin menertawakan kebodohanku sendiri. Statusku kini sudah sah menjadi istri orang, tapi bisa-bisanya aku masih mengharapkan seseorang di masa lalu menyukaiku. Benar-benar tidak masuk akal.
"Jangan diketawain, Ge, soalnya kalau dilihat dari gelagat kalian tuh mencurigakan."
"Lo aja kali yang curigaan," sahutku sambil tertawa ringin.
Kehadiran Galen yang secara tiba-tiba ini tidaklah pantas menambah beban pikiranku yang sudah banyak itu. Aku benar-benar tidak tertarik memperumit kehidupanku yang sudah rumit ini.
"Jadi tebakan gue salah?"
"Bukan salah, cuma kurang tepat," koreksiku membuat jiwa penasaran Rita kian meningkat.
"Di bagian mana?"
"Kepo deh lo."
"Jelas," jawab Rita cepat, "soalnya lo tuh kayak anti banget sama cinta-cintaan, nikah aja juga karena terpaksa. Tapi lihat temen lo tadi bikin gue ngeliat sisi yang nggak pernah gue lihat selama ini. Wajar dong kalau gue penasaran."
Mau tidak mau aku pun mengangguk dan mengiyakan. Meski ingin mengelak, tapi apa yang dikatakan Rita ada benarnya juga.
"Yang nggak wajar karena kita lagi ngobrolin ini pas status gue udah jadi istri orang, Rit."
"Ribet juga ya," komentarnya diiringi helaan napas, "tapi ya mungkin emang cowok tadi bukan jodoh lo sih, Ge. Toh, lo juga nggak rugi-rugi banget ngelepas PNS demi Dirut. Malah untung gede, masa depan lo dan anak-anak lo lebih terjamin."
Demi menenangkan diri, aku kembali mengangguk dan mengiyakan kalimat Rita. Karena memang lagi-lagi apa yang diucapkannya ada benarnya juga kan?
"Udah lah, nggak mau ambil pusing. Masalah gue sekarang aja udah ribet, nggak mau nambah masalah cuma gara-gara masa lalu."
"Move on, Ge! Terima Pak Yaksa dengan tulus ikhlas, meski beliau udah tua tapi ya kan beliau belum tua-tua banget. Masih keliatan hot meski udah anak dua."
Aku mendengus. "Tanpa lo kasih tau juga lagi gue usahain, Rit."
"Bagus. Inget, Ge, cowok ganteng tuh cukup dinikmati sebagai pemandangan nggak usah maruk untuk memilikinya," pesan Rita membuatku tertawa.
Saat hendak membalas, tiba-tiba aku merasakan ponselku bergetar. Hatiku bertanya-tanya, secepat inikah Galen mengirimiku pesan?
To be continue,
Vote komennya dong biar aku semangat double up🙏🙏🙏🙏
author nya dah pintar nih......... ☺