NovelToon NovelToon
Genggam Tangan Ku, Jangan Pergi

Genggam Tangan Ku, Jangan Pergi

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Qatar love
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: siscaatann

Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MOMEN KECEWA

Minggu demi minggu berlalu, dan setiap hari terasa kayak perjuangan yang nggak ada habisnya. Setelah penolakan dari Bima, aku berusaha untuk move on, tapi rasanya itu bukan hal yang mudah. Setiap kali aku lihat dia di kampus, rasanya kayak ada yang mencubit hati. Dia masih sama, dengan senyum yang bikin aku terpesona, dan aku masih di sini, berjuang untuk melupakan semua perasaan yang udah terlanjur tumbuh.

Hari ini, di ruang kelas, aku lagi duduk di bangku pojok, mengamati semua teman-teman yang pada asyik ngobrol dan bersenang-senang. Suasana kelas kayaknya penuh dengan tawa, tapi hatiku seakan terkurung di dalam ruangan kecil yang gelap. Rina, sahabatku, duduk di sampingku, terus memperhatikanku. “Eh, Meg! Lu kenapa? Kayak nggak semangat gitu,” tanya Rina sambil mengunyah snack.

“Gue baik-baik aja, Rin,” jawabku, meskipun suara aku serasa nggak meyakinkan. “Cuma lagi pusing aja.” Dia ngelihatku dengan tatapan skeptis. “C’mon, Meg! Kita udah sahabatan lama. Lu tahu gue bisa baca ekspresi lu. Jangan tutup-tutupin. Kita harus bicarakan ini,” tegas Rina.

Akhirnya, aku nyerah. “Ya udah deh. Gue cuma… masih mikirin Bima. Rasa sakitnya masih ada, dan gue nggak tahu harus gimana,” ungkapku, sambil meremas ujung bajuku. Rina menghela napas panjang. “Meg, lu harus inget, hidup itu lebih dari sekadar satu orang. Lu punya banyak hal yang harus lu kejar, jangan terjebak sama satu orang doang.”

“Gue tahu, Rin. Tapi susah, deh. Setiap kali lihat dia, rasa sakitnya muncul lagi,” keluhku. “Gue pengen banget punya kesempatan buat bilang ke dia, ‘Kenapa sih lu harus nolak gue?’ Tapi gue tahu itu cuma bikin semuanya makin rumit.” Rina mengangguk, menunjukkan bahwa dia mengerti.

Kelas selesai, dan teman-teman mulai beranjak pulang. Aku duduk di bangku, berusaha menenangkan pikiran. “Gue harus bisa move on,” ucapku dalam hati. Tiba-tiba, suara bising dari luar kelas menarik perhatianku. Aku menoleh dan melihat Bima lagi, tertawa bersama teman-temannya. Senyumnya bikin hatiku bergetar, tapi kali ini, aku berusaha untuk tidak terpengaruh.

“Meg, ayo pulang!” teriak Rina, menyadarkan aku dari lamunan. Aku mengangguk dan mengikuti dia keluar kelas. Setiap langkah terasa berat, tapi aku tahu, aku harus terus berjalan.

Malam harinya, aku duduk di sofa, merenungkan semua yang terjadi. Kecewa dan harapan yang terpendam kayaknya berkecamuk dalam diriku. “Apakah semua usaha ini sia-sia?” tanyaku dalam hati. “Kenapa cinta harus sesulit ini?”

Hari-hari berlalu, dan meskipun aku berusaha untuk move on, aku masih saja terjebak dalam kenangan tentang Bima. Setiap kali aku mengingat momen-momen indah yang pernah kita lewati, air mata rasanya mau jatuh lagi. Sepertinya sulit untuk membiarkan semua itu pergi. Teman-temanku mulai khawatir, dan Rina terus berusaha menghiburku dengan ngajakin hangout atau nonton film bareng.

Suatu malam, aku dapet pesan dari Rina. “Meg, besok ada acara di kafe, yuk! Banyak temen-temen yang bakal datang. Mungkin bisa jadi distraksi buat lu,” tulisnya. Awalnya, aku males-malesan. “Ah, Rin. Males, deh. Nggak mau ketemu banyak orang,” balasku. Tapi dia terus ngedesak, sampai akhirnya aku setuju buat ikut.

Hari itu, suasana kafe rame banget. Musiknya enak, dan semua orang kayaknya seneng. Aku berusaha nyatu sama mereka, meskipun di dalam hati aku masih ngerasa kosong. Rina terus nyemangatin aku. “Ayo, Meg! Lu harus nikmatin hidup! Jangan terus-terusan mikirin Bima!” katanya sambil menarik tanganku untuk berdansa.

Di tengah suasana yang ramai itu, aku nggak bisa ngelihat Bima. “Mungkin dia nggak datang,” pikirku. Rasanya lega banget. Namun, di tengah kebisingan, aku tiba-tiba melihat sosok familiar di pintu. Bima datang. Hatiku berdegup kencang, tapi aku berusaha untuk terlihat biasa. Dia terlihat keren dengan kaos dan jeans yang sederhana, tapi tetap aja, senyumnya bikin aku mendadak lemas.

Rina menyadari pandanganku. “Meg, jangan stare gitu! Lu pasti bikin dia ngerasa awkward!” Dia nuduhku, dan aku langsung merespons. “Gue nggak stare, Rin! Gue cuma… ya, ngeliat aja,” jawabku sambil berusaha tersenyum. Tapi dalam hati, semuanya udah berantakan.

Bima bergabung dengan temannya, dan aku bisa mendengar tawanya dari jauh. Setiap kali tawa itu muncul, rasanya sakitnya makin dalam. Aku berusaha menenggelamkan diri dalam keramaian, ngobrol sama teman-teman lain, tapi semua itu kayak nggak ada artinya.

Tiba-tiba, Rina menarikku. “Meg, kita harus ke depan, ada yang seru nih!” Dia mengajakku ke dekat panggung. Aku hanya mengangguk dan mengikuti. Di depan panggung, beberapa temanku udah mulai berjoget, dan suasana makin menggila.

Tapi, saat aku berbalik, aku melihat Bima sedang berbicara dengan cewek lain. Cewek itu cantik, dan mereka tertawa bareng. Rasanya, semua harapan yang aku bangun mulai runtuh lagi. “Dia udah move on,” bisikku dalam hati. Aku ngerasa aneh, antara sakit hati dan pengen nangis.

Rina yang melihatku jadi lemas, langsung nyamperin. “Meg, lu oke? Jangan mikirin mereka, deh! Ayo kita makan sesuatu!” Dia membawaku ke area makan, dan aku mencoba untuk menceriakan suasana. “Gue harus kuat. Gue nggak boleh terlihat lemah,” pikirku.

Setelah makan, Rina ngajakin aku buat foto-foto. “Ayo, Meg! Kita harus punya kenangan di acara ini!” dia bilang. Dengan sedikit paksaan, akhirnya aku setuju. “Tapi jangan ada Bima di foto, ya!” ucapku, setengah bercanda.

Kita semua berpose, dan aku mencoba untuk menikmati momen itu. Tapi setiap kali aku melihat Bima, hatiku kayak ditusuk-tusuk. “Kenapa sih gue masih peduli sama dia?” tanyaku dalam hati. “Seharusnya gue udah bisa move on.”

Ketika malam semakin larut, suasana makin meriah. Tawa, musik, dan kebahagiaan di sekelilingku kayaknya bisa menutupi rasa sakitku. Tapi saat aku duduk di pinggir, aku melihat Bima dan cewek itu lagi ngobrol. Mereka berdua tampak sangat akrab. Hatiku terasa remuk.

Aku memutuskan untuk menjauh sejenak, mencari udara segar. Saat aku melangkah keluar kafe, dinginnya malam menyentuh kulitku. Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Kenapa sih ini harus terjadi? Kenapa harus ada rasa sakit kayak gini?” keluhku sambil memandang ke langit.

Satu momen, aku teringat semua kenangan indah yang pernah kita bagi. Semua tawa, semua cerita, dan semua harapan yang kayaknya nggak akan pernah terwujud. Saat itu, aku merasa sangat kesepian. “Gue harus bisa move on. Gue nggak bisa terus-terusan hidup dalam bayangan dia,” ucapku pada diri sendiri.

Ketika aku kembali ke dalam kafe, suasana masih ramai. Tapi hatiku tetap kosong. “Gue harus bisa tersenyum, setidaknya untuk temen-temen gue,” pikirku. Aku berusaha nyatu lagi, tetapi setiap kali Bima ada di dekatku, rasanya makin berat untuk bertahan.

Malam itu, ketika semua orang mulai beranjak pulang, aku merasakan kelegaan dan keletihan sekaligus. Rina menggenggam tanganku. “Meg, lu udah berusaha banget malam ini. Gue bangga sama lu!” katanya. “Tapi jangan lupa, kita harus terus maju. Hidup ini masih panjang, dan masih banyak hal seru yang bisa kita lakukan!”

“Aku tahu, Rin. Tapi rasanya kayak susah banget,” jawabku. Rina mengangguk paham. “Gue janji bakal ada di samping lu. Kita bisa lewatin ini bareng-bareng!”

Setelah acara selesai, aku kembali ke rumah, merenungkan semua yang terjadi. Mungkin

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!