Karena pengkhianatan suami dan adik tirinya, Lyara harus mati dengan menyedihkan di medan pertempuran melawan pasukan musuh. Akan tetapi, takdir tidak menerima kematiannya.
Di dunia modern, seorang gadis bernama Lyra tengah mengalami perundungan di sebuah ruang olahraga hingga harus menghembuskan napas terakhirnya.
Jeritan hatinya yang dipenuhi bara dendam, mengundang jiwa Lyara untuk menggantikannya. Lyra yang sudah disemayamkan dan hendak dikebumikan, terbangun dan mengejutkan semua orang.
Penglihatannya berputar, semua ingatan Lyra merangsek masuk memenuhi kepala Lyara. Ia kembali pingsan, dan bangkit sebagai manusia baru dengan jiwa baru yang lebih tangguh.
Namun, sayang, kondisi tubuh Lyra tak dapat mengembangkan bakat Lyara yang seorang jenderal perang. Pelan ia ketahui bahwa tubuh itu telah diracuni.
Bagaimana cara Lyara memperkuat tubuh Lyra yang lemah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Sret!
Xavier membuka tirai yang memisahkan antara dirinya dan Lyra saat diperiksa. Secara kebetulan dokter telah selesai melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap tubuh gadis itu.
"Bagaimana keadaan istriku?" tanya Xavier dengan cepat.
Dokter muda itu membuka masker, mengusir para perawat dari ruang IGD. memberi mereka ruang untuk berbicara secara rahasia.
"Sekarang kau mengakuinya sebagai istri? Ke mana saja selama ini, Tuan Xavier?" Dokter muda itu tersenyum mencibir, seraya duduk di kursi samping ranjang Lyra. Ia melirik gadis yang terbaring lemah tak berdaya di ranjang tersebut.
Xavier mendengus, kali ini dia tidak menyukai tatapan sang dokter untuk istrinya. Berbeda dengan dulu, sikapnya selalu tak acuh bahkan jika melihat Lyra bersenda gurau dengannya. Dia akan lebih memilih asik berdua bersama Myra.
"Cepatlah, katakan! Bagaimana kondisi tubuhnya? Aku lihat dia sangat mudah sekali kelelahan," tuntut Xavier menahan perasaan tak tentu terhadap sikap perhatian laki-laki berseragam putih itu.
Tangannya saling bertaut satu sama lain, rahang ikut mengeras menahan gejolak api cemburu yang tanpa sadar hadir di relung kalbu.
"Oh, rupanya kau sudah menyadarinya, ya. Aku yakin kau bukan tidak tahu, hanya saja kau enggan mempercayai kenyataan bahwa ada yang salah dengan kondisi tubuhnya," ujar dokter Tedy sembari menatap selidik wajah Xavier yang menegang.
Gerakan tangannya terhenti, tertegun cukup lama. Mengingat-ingat kejadian yang beberapa hari ini dia saksikan secara langsung.
"Dia pernah membuang ramuan yang dibawakan pelayan ke dalam kolam, dan esok harinya ikan-ikan di kolam mati," gumam Xavier mengangkat kepala menatap dokter muda yang memasang senyum simpul di depannya.
"Kau sudah mengetahuinya. Ada seseorang yang meracuni Lyra. Di dalam tubuhnya mengendap sebuah racun yang tidak mematikan secara langsung, tapi secara perlahan membuat tubuh semakin melemah, dan satu per satu anggota tubuhnya tidak akan berfungsi dengan baik. Racunnya sudah menyatu dengan darah, jika dibiarkan hidupnya tak akan bertahan lama," ungkap dokter diakhiri helaan napasnya yang panjang.
"Lalu, apa ada solusi untuk mengobatinya?" Xavier terlihat cemas, rasa sesal pun tak dapat ia tutupi.
"Kau tenang saja, Lyra bukan gadis yang lemah. Jika orang lain mungkin mereka sudah tidak akan bisa bergerak dan hanya hidup dengan mengandalkan orang lain. Ada seseorang yang bisa menyembuhkannya dengan cepat, tapi aku tidak yakin kau akan setuju setelah mendengarnya," ujar Tedy menelisik wajah Xavier yang gelisah.
Kau tidak akan senang mendengar namanya, Xavier, tapi dia adalah satu-satunya solusi untuk kesembuhan Lyra. Hanya dia.
Dokter itu bergumam, perselisihan antara Xavier dan seseorang itu sudah diketahui seluruh negeri. Hanya mendengar namanya saja, sudah membuat Xavier ingin mencabik-cabik wajah orang tersebut.
"Jangan katakan dia yang kau maksud," geram Xavier menatap tajam sahabat dokternya itu.
"Jika bukan dia siapa lagi? Ayolah, tidak bisakah kau melupakan kejadian di masa lalu? Bagaimanapun kita semua bersahabat, hanya karena permasalahan sepele kalian menaruh dendam untuk seumur hidup." Tedy menegaskan, menatap kecewa pada Xavier yang tak dapat melupakan dendamnya.
"Aku akan mencari dokter terbaik di seluruh dunia. Aku yakin pasti ada yang mampu mengobati Lyra," ujar Xavier dengan yakin.
Tedy mendesah, menghela napas mengurai sesak. Menatap bodoh laki-laki pendendam di hadapannya.
"Sudah terlambat. Tidak ada yang mampu mengobati Lyra selain dia. Jangan naif, Xavier. Singkirkan egomu demi kebaikan Lyra. Kau tidak ingin dia sembuh?" tegas Tedy seraya bangkit dari kursi dan hendak pergi keluar.
"Pikirkan baik-baik." Dia menepuk-nepuk bahu Xavier, kemudian berjalan lagi menuju pintu.
Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara erangan yang lirih di telinga. Ia berbalik dan melihat Lyra yang sudah duduk menatapnya.
"Lyra! Bagaimana perasaanmu?" tanya Xavier dengan cepat mendekat. Ia meraih tangan gadis itu, tapi Lyra menariknya enggan.
"Aku baik-baik saja. Bawa aku pulang," ucap Lyra dengan sikapnya yang dingin.
Matanya tak lepas dari sosok dokter muda yang masih berdiri tak jauh dari pintu. Beberapa orang memahami sosok Lyra, tapi kebanyakan tidak mengenal seperti apa dirinya. Tedy adalah salah satu orang yang memahami Eleanor, dia pernah menjadi dokter pribadi Lyra saat orang tuanya masih hidup.
"Kau harus menjalani perawatan, Lyra. Setidaknya sampai kondisimu benar-benar pulih," rayu Xavier dengan cemas.
"Kakak, aku ingin pulang. Kau tahu aku tidak suka aroma rumah sakit," ucap Lyra tanpa mengalihkan pandangan dari sosok Tedy.
Dokter muda itu menghela napas, ia mengangguk.
"Pulanglah! Pastikan kau menjaga kesehatanmu dengan baik," nasihat Tedy seraya mendekat untuk melepas kabel-kabel yang terpasang di tubuh Lyra.
Xavier semakin terbakar, inilah yang tidak diinginkannya jika Tedy bertemu dengan Lyra. Mereka begitu dekat meski tak memiliki ikatan darah.
Tanpa berucap sepatah katapun, Lyra turun dari ranjang dan berjalan keluar. Tedy menatap Xavier yang mengobarkan peperangan melalui tatapan matanya.
"Kau ingin aku mengantarnya, atau kau sendiri yang bertindak?" tanya Tedy sambil tersenyum miring.
Xavier beranjak, mengancam dokter itu lewat tatapan matanya. Itu sudah biasa, tapi kali ini Tedy bisa merasakan perasaan yang berbeda dari sosok Xavier.
"Kau jatuh cinta padanya, Xavier."