Raka adalah seorang pemuda biasa yang bermimpi menemukan arti hidup dan cinta sejati. Namun, perjalanan hidupnya berbelok saat ia bertemu dengan sebuah dunia tersembunyi di balik mitos dan legenda di Indonesia. Di sebuah perjalanan ke sebuah desa terpencil di lereng gunung, ia bertemu dengan Amara, perempuan misterius dengan mata yang seakan memiliki segudang rahasia.
Di balik keindahan alam yang memukau, Raka menyadari bahwa dirinya telah terperangkap dalam konflik antara dunia nyata dan kekuatan supranatural yang melingkupi legenda Indonesia—tentang kekuatan harta karun kuno, jimat, serta takhayul yang selama ini dianggap mitos.
Dalam perjalanan ini, Raka harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk rasa cintanya yang tumbuh untuk Amara, sembari berjuang mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik cerita rakyat dan keajaiban yang mengikat mereka berdua. Akan tetapi, tidak semua yang bersembunyi bisa dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ihsan Fadil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Bayangan yang Mengintai
Malam semakin larut ketika mereka meninggalkan rumah kepala desa. Angin berhembus lembut melalui celah-celah pepohonan, menciptakan desiran yang terdengar seperti bisikan dari dunia yang tak terlihat. Hati mereka masih berdebar dengan informasi yang baru saja mereka dengar dari Pak Surya. Legenda yang mereka kejar kini terasa semakin kompleks dan berbahaya.
Raka menatap ke arah peta yang terbuka di tangan Amara. “Kita harus bergerak lebih cepat. Informasi yang kita dapatkan ini penting, dan kita harus menemukan petunjuk berikutnya sebelum kita terjebak di sini lebih lama.”
Amara menutup peta dengan lembut, lalu menoleh kepada kedua rekannya. “Kita harus kembali ke lokasi yang ditunjukkan oleh peta. Jejak petunjuk berikutnya ada di sana. Namun... ada perasaan yang aneh. Seperti kita sedang diawasi.”
Kalimat itu menggantung di udara, membuat ketiga mereka saling berpandangan. Mereka mulai mempercepat langkah, meskipun hati mereka masih terganggu oleh perasaan yang tak bisa dijelaskan. Bayangan dari pepohonan yang berayun di bawah sinar bulan seakan membentuk siluet yang bergerak-gerak dengan sendirinya, memicu perasaan gugup di dalam diri mereka.
---
Jejak yang Tak Terduga
Mereka melewati hutan yang mulai terasa semakin gelap. Raka memimpin jalan, diikuti oleh Arjuna dan Amara. Perjalanan mereka terfokus pada jalur yang telah mereka rencanakan, tetapi perasaan was-was semakin menguasai mereka. Setiap kali ada suara dari balik semak atau desah angin yang menerpa daun, mereka berhenti dan memeriksa lingkungan mereka.
Arjuna berbisik, “Kita harus tetap waspada. Aku bisa merasakan sesuatu di dekat kita, tetapi aku tak bisa memastikan apa itu.”
Amara mengerutkan keningnya. “Apakah kita sedang dibuntuti?”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih hati-hati. Semakin dekat mereka dengan lokasi yang dimaksud dalam peta, semakin kuat perasaan itu—sebuah sensasi seolah-olah ada yang mengamati mereka dari jauh. Perasaan ini sulit dijelaskan, tetapi semuanya merasa sama—sebuah perasaan ketakutan yang datang tanpa bisa mereka lawan.
Setibanya di sebuah lembah kecil dengan pohon besar di sekelilingnya, mereka berhenti. Lembah ini adalah lokasi yang ditunjukkan dalam peta sebagai tempat petunjuk berikutnya berada. Namun, ketegangan di udara terasa semakin menekan.
“Kita harus cari petunjuk ini sebelum kita diserang,” ujar Raka sambil mengeluarkan pedangnya.
Mereka mulai mencari di sekitar lembah tersebut, mencari jejak yang bisa mengarah pada petunjuk yang mereka cari.
---
Bayangan di Balik Pepohonan
Saat mereka sedang sibuk mencari, langkah mereka terhenti ketika mendengar suara langkah yang bukan berasal dari mereka. Semua mata berfokus ke arah semak-semak yang bergetar samar.
“Siapa itu?” bisik Amara, ketakutan mulai terlihat di wajahnya.
Raka memegang pedangnya lebih erat, mempersiapkan diri untuk bertarung jika diperlukan. “Awas, kita mungkin sedang diawasi,” ujarnya dengan nada tegas.
Arjuna mengambil busurnya, menarik tali busur dengan tangan yang bergetar. Suasana semakin mencekam, hingga akhirnya dari balik semak-semak itu muncul sebuah bayangan. Siluet itu bergerak cepat, seperti makhluk yang memiliki tujuan tertentu.
“Siapa itu? Jangan mendekat!” teriak Raka, sambil memegang pedangnya lebih erat.
Bayangan itu berhenti beberapa langkah dari mereka. Sosoknya mulai tampak lebih jelas—seorang pria berpakaian gelap dengan hood yang menutupi sebagian wajahnya. Pria itu memegang sebuah tongkat yang bercahaya samar, menambah kesan menakutinya.
“Siapa kamu?” tanya Arjuna dengan busurnya yang masih siap.
Pria itu mengangkat tangannya dan berkata dengan suara yang pelan namun tegas, “Aku bukan musuh kalian. Aku datang untuk memberi peringatan.”
Semua perhatian mereka tertuju pada sosok itu. Dengan hati-hati, mereka menurunkan senjata mereka sedikit.
“Apa maksudmu dengan peringatan?” tanya Amara dengan nada waspada.
Pria itu mendekat, langkahnya mantap namun penuh misteri. “Kalian sedang berjalan di jalur yang berbahaya. Kekuatan yang kalian cari tidak hanya rahasia—ada musuh yang berusaha merebutnya. Mereka sedang mengintai setiap langkah kalian.”
Perkataan itu menggigit hati mereka seperti serangan dari kegelapan yang tak terlihat. Raka mengerutkan keningnya. “Siapa musuh yang kamu maksud?”
Pria itu memandangi mereka sejenak sebelum akhirnya berbisik, “Mereka adalah bayangan yang tak bisa kalian lihat. Tapi mereka memiliki mata dan kekuatan yang mampu melihat setiap gerakan kalian. Jangan berpikir perjalanan ini akan berjalan mudah.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, pria tersebut berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan mereka dalam kebingungan.
“Kita harus berhati-hati,” ujar Arjuna dengan serius sambil memandang ke arah semak yang kini kembali sunyi.
Amara memegang hatinya, mencoba menenangkan diri. “Kita tak tahu siapa dia, tetapi perkataannya benar-benar menggangguku.”
Dengan hati yang berdebar dan rasa was-was yang semakin menggelayuti mereka, mereka melanjutkan perjalanan menuju lokasi petunjuk berikutnya dengan segala ketakutan yang menggigit mereka. Perasaan bahwa bayangan itu mengintai mereka masih membayangi perjalanan mereka yang semakin mendalam.
---
Akhir Bab 12.