Ini kisah tentang kakak beradik yang saling mengisi satu sama lain.
Sang kakak, Angga Adiputra alias Jagur, rela mengubur mimpi demi mewujudkan cita-cita adik kandungnya, Nihaya. Ia bekerja keras tanpa mengenal apa itu hidup layak untuk diri sendiri. Namun justru ditengah jalan, ia menemukan patah hati lantaran adiknya hamil di luar nikah.
Angga sesak, marah, dan benci, entah kepada siapa.
Sampai akhirnya laki-laki yang kecewa dengan harapannya itu menemukan seseorang yang bisa mengubah arah pandangan.
Selama tiga puluh delapan hari, Nihaya tak pernah berhenti meminta pengampunan Angga. Dan setelah tiga puluh delapan hari, Angga mampu memaafkan keadaan, bahkan ia mampu memaafkan dirinya sendiri setelah bertemu dengan Nuri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Hari ke tiga puluh delapan.
Proyek pekerjaan di Jakarta sudah selesai sejak kemarin sebelum akhirnya berlanjut ke pulau Kalimantan. Ada jeda waktu yang diberikan satu minggu lamanya dari kelar satu proyek ke proyek lain yang mereka peroleh untuk beristirahat. Ini merupakan kesempatan emas bagi Angga pergi pulang kampung bersama adiknya.
Menjelang subuh, Angga terbangun siap-siap ibadah kemudian dilanjut memeriksa barang bawaan. Sedangkan Nihaya yang sudah rapi entah sejak kapan turut mengepak barang bawaan abangnya. Dia sibuk mengangkut-ngangkut. Mereka macam pindah rumah karena memang tidak kembali lagi ke tempat itu.
"Hei mau ngapain?"
Nihaya dengan tentengan banyak barang di tangannya menoleh kearah Angga.
"Mau bawain barang-barang keluar, biar kalau mobil travel udah datang langsung siap."
"Biar nanti Mas yang ngangkut. Kamu duduk manis aja disini. Mas mau kencing dulu sebentar." Nihaya mengangguk. Angga berlalu ke belakang berniat buang air kecil sebelum ia mengangkut-ngangkut barang. Begitu Angga selesai dengan hajatnya--yang tadinya mau buang air kecil ternyata malah lain cerita--dia tidak menemukan keberadaan Nihaya.
"Dek," panggilnya, sampai cowok itu keluar gubuk mencari-cari. Di luar Angga melihat barang-barangnya sudah ada disana. Dia celingak-celinguk sambil terus manggil-manggil Nihaya.
"Ni, kamu dimana?"
"Eh bang Jagur udah rapi bener. Mau kemana nih bawa-bawa koper segala?" Mang Salam, tukang warung yang dekat proyek kemarin lewat menyapa. Di jam segitu Mang Salam biasanya lewat mau membuka warungnya.
"Mau balik kampung Mang. Proyeknya kan udah kelar disini, terus pindah lagi ke Kalimantan minggu depan. Tapi sebelum kesana saya mau pulkam dulu."
"Eeeh iya dah. Berarti kagak balik kesini lagi ya?"
"Iya begitulah Mang. Saya atau adik saya ada utang nggak ke Mang Salam? takutnya saya lupa, biar di bayar sekarang."
"Kagak ada, aman pokoknya. Pan Bang Jagur mah orangnya jarang banget jajan. Ngerokok juga kagak. Iye kan? sekalinya jajan ya pasti langsung dibayar."
"Iya sih Mang." Jagur tersenyum tipis. "Tapi kalau adik saya gimana? dia kan suka nongkrong di warung tiap hari ngeliatin saya kerja. Tapi nggak tiap hari juga sih. Ada kali satu dua hari dia nggak ada disitu."
"Emang adiknya Bang Jagur yang mana?"
"Cewek yang suka duduk di bale warung Mamang."
Raut Mang Salam kebingungan, "yang mana kali ya Mamang mah suka lupa. Kayanya nggak punya utang." Karena tampangnya Mang Salam meragu, Angga ngasih kisi-kisi lain.
"Yang ini nih." Foto Nihaya dia tunjukkan ke Mang Salam. Merasa Angga begitu yakin, dan tidak mau membuat lelaki itu tersinggung atau bagaimana, Mang Salam pun mengangguk-ngangguk ngerti.
"Eh iya iya, kagak ada Bang Jagur, aman pokoknya."
"Syukurlah."
"Mari Bang Jagur.. saya mau buka warung dulu."
"Oke Mang. Ini ada sedikit rejeki dari saya. Semoga berkah."
"Wiiih Bang Jagur, makasih banget nih. Saya do'ain segala urusan Bang Jagur diberi kelancaran."
"Aamiin."
Mang Salam pun beranjak pergi.
Perasaan kagak ada perempuan itu duduk di warung. Ah tau dah, mungkin mata gua yang rabun kali.
"Ni.. Nihaya... kamu dimana dek?" Angga lanjut mencari-cari.
"Di sini Mas." Jawab Nihaya yang tiba-tiba datang di belakang Angga.
"Kamu darimana aja dek? Mas cari-cari dari tadi."
"Maaf Mas, aku tadi ada urusan sebentar di sana." Nihaya menunjuk ke suatu arah. Angga tidak memperpanjang urusan, cuma mengusap kepala adiknya sekilas. Kemudian ia lanjut pamit-pamitan di antara para pekerja. Sebagian ada yang ikut jejak Angga pulang ke kampung halaman. Sebagian lagi memilih tetap tinggal sampai waktu keberangkatan ke Kalimantan tiba.
Sementara di tempat lain, Aji sudah mengetahui kebenaran tentang Nihaya. Perasaan Aji bak di sapu badai besar, memporak-porandakan hatinya yang masih tidak percaya dengan apa yang dia temukan.
Dia marah, dia kecewa, dia sangat sakit hati dengan semua ini. Dia pun pergi ke Jakarta sehari sebelum Angga pulang ke kampung. Aji hanya ingin mencari tempat kerja Angga disana, untuk menemui laki-laki itu atas permintaan keluarga Nihaya.
Itu artinya, Aji lebih dulu tahu kebenaran yang terjadi dibandingkan Angga.
...***...
Di kampung halaman.
Mobil travel yang ditumpangi Angga sudah tiba di dekat rumah orangtuanya. Angga tinggal menyusuri jalan sekitar lima puluh meter dari titik turun. Semakin dekat, eksistensi Angga dapat dilihat orang-orang.
"Angga!" seru mereka semua yang ada di rumah itu.
"Le.. " lirih ibu menangkup kedua pipi anak lelakinya. Beliau menatap cemas.
"Ibu," Angga menyalami, memeluk, bahkan bersimpuh di kaki ibunya sebentar.
"Berdiri le, akhirnya kamu pulang juga. Aji dimana? kamu tidak bareng sama Aji?"
Aji?
"Nggak bu. Lagipula, ken-apa aku harus pulang bareng Aji? aku pulang sama Nihaya."
Angga ngomong begitu, orang-orang yang ada disana sontak kaget bercampur cemas. Bibi berwajah pias, tetangga ada yang sedang megang barang seketika jatuh karena lemas, ada juga paman yang langsung merapat ke arah Angga dan ibunya dengan kursi roda.
"Ni-haya adikmu?" lirih ibu.
"Iya bu, Nihaya. Ini orang---nya.. dek.. kamu dimana? lho bu, tadi dia jalan bareng sama aku."
Ibu merasa ada yang tidak beres langsung mengajak putranya masuk ke dalam rumah. Angga di dudukan lalu diberi air minum.
"Ini sebenarnya ada apa bu? kok aku jadi bingung. Kenapa di rumah kita juga ada tetangga yang rewang seperti mau ada acara?"
"Le, pegang tangan ibu erat-erat." Perintahnya, satu tangannya lagi mengusap-usap punggung sang putra.
"Kami sedang mempersiapkan empat puluh harian Nihaya. Adikmu sudah meninggal dunia."
Angga seperti berhenti bernafas. Lelaki itu kaget setengah mati. Paman dan bibi berusaha mengingatkan Angga agar banyak beristighfar.
"Nggak mungkin bu, Nihaya malah tinggal bersama aku di Jakarta. Dia datang sendirian." Angga menepis saking tidak percayanya.
"Kamu kenapa nomornya ndak aktif le? bibi mu nelpon ndak bisa-bisa, pesan juga ndak ke kirim."
"Iya benar, kamu kenapa sulit di hubungi nak? padahal kami sedang berusaha memberi tahu kamu kalau Nihaya udah gak ada." Samber paman.
"Ka-ka-pan itu terjadi?"
"Tiga jam setelah dia siuman. Dia sempet minta minum sebentar terus manggil-manggil nama kamu. Habis itu.. kondisinya nge drop. Kecelakaan itu dia ada luka dalam."
Angga terkulai lemas.
.
.
.
Bersambung.