Sang penjaga portal antar dunia yang dipilih oleh kekuatan sihir dari alam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon faruq balatif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perampokan
Pemuda itu mulai bercerita saat mereka duduk di meja makan. Namaku adalah Araya, dan aku berasal dari sebuah kota bernama Duran di daerah selatan. Aku berumur tujuh belas tahun dan sedang mengikuti ujian belajar tingkat lanjutan ke kota lain.
Empat hari yang lalu, aku dan beberapa temanku, serta kelompok pelajar lain yang menerima undangan pendidikan lanjutan, berada dalam perjalanan kereta menuju kota Gor.
(Di dalam kereta, terdengar suara berisik percakapan para pelajar).
Kegembiraan terpancar dari wajah Araya yang tergambar dari senyum kecilnya karena akan melanjutkan pendidikannya di tempat yang menjadi impian semua pelajar dari berbagai kota. "Semoga kita bisa dapat kelas yang sama, ya," harapnya.
"Entahlah, aku tidak cukup yakin. Kudengar akan ada ujian khusus penentuan kelas di sana," ucap Fran sambil memakan ubi bekal yang dibuatkan ibunya.
"Sepertinya keretanya melambat," kata Una, wanita muda cantik yang juga teman dekat Araya dan Fran, sambil melihat keluar jendela.
"Apakah kita sudah sampai?" tanya Fran kepada mereka berdua.
Araya merasa ada yang aneh. "Sepertinya ini
hutan. Apa ada kerusakan?"
(Para pelajar yang ada dalam kereta mulai memenuhi bagian samping, mencoba mengintip ke arah depan dari jendela kereta). Tiba-tiba, "Duar!" terdengar suara keras yang mengejutkan dari pintu gerbong yang ditendang, disusul sekelompok orang membawa senjata tajam yang mulai masuk dan berteriak, mengancam para pelajar yang
ada di dalam gerbong. Sontak, hal ini membuat semua pelajar berteriak dan menjerit ketakutan.
"Tolong!" Una berteriak ketakutan, mendekat ke arah Fran dan Araya. Suasana pun mulai kacau dan tak terkendali. Araya, yang sadar bahwa mereka adalah perampok, mencoba melindungi Una bersama dengan Fran.
"Araya, gimana ini? ra..rampok!" Dengan wajah ketakutan, Fran menjatuhkan semua makanannya, berdiri di samping Araya dan menarik tasnya.
Para perampok dengan beringas merampas semua barang bawaan para pelajar sambil memaki, menyuruh mereka diam, dan memukul beberapa pelajar yang membuat para pelajar lainnya semakin ketakutan. Semua pelajar digiring keluar, barang-barang mereka diambil dan diperiksa satu per satu. Di situ, Araya menyadari bahwa kereta dan
gerbong lain sudah tidak ada, hanya tersisa gerbong mereka saja. "Mereka memutusnya," ujarnya dalam hati.
Para perampok sadar bahwa para pelajar itu membawa uang yang cukup banyak untuk bekal mereka ketika mengikuti tes lanjutan. Hal inilah yang membuat mereka menjadi target. Namun, seolah tak puas dengan yang
mereka dapatkan, para pelajar dikumpulkan dan digiring masuk ke dalam hutan. Beberapa pelajar mencoba melawan, tetapi naas, para perampok itu tidak segan-segan menyerang mereka hingga dua pelajar harus terluka sangat parah. Hal ini membuat suasana semakin
mencekam dan para pelajar semakin ketakutan.
Mereka berteriak, menangis, dan meminta tolong. Namun, para perampok itu seolah tak peduli dan kembali memaki serta menyakiti para pelajar, sambil menyuruh mereka
berjalan masuk ke dalam hutan. Dengan rasa takut yang begitu hebat, mereka perlahan berjalan sambil menerima beberapa pukulan. Beberapa dari pelajar terjatuh dan bersimbah darah. Araya, yang memeluk Una, mencoba
menenangkannya sambil berjalan di belakang Fran.
Araya berusaha menenangkan Una, "Kita nggak akan kenapa-kenapa, kok." Namun, terlihat wajahnya yang ketakutan dan napasnya yang begitu cepat.
"Kita turuti saja, jangan dilawan, ya," ucap Fran dengan suaranya yang mulai bergetar.
Akhirnya, mereka tiba di tepi jurang yang dikelilingi pepohonan lebat. Terdapat sebuah tenda besar yang dijadikan tempat persembunyian oleh para perampok. Para pelajar yang jumlahnya hanya sekitar dua puluh orang, dengan rasa takut yang menyelimuti mereka, mendadak semakin histeris ketika beberapa dari perampok menarik beberapa pelajar wanita dan mencoba melecehkan mereka di tempat itu.
Mereka mencoba melawan para perampok itu lagi, melemparinya dengan kayu dan ranting yang ada, berusaha menyelamatkan teman-teman mereka dari pelecehan para perampok biadab itu. Para perampok yang
menyudutkan mereka di tepi jurang itu hanya tertawa ketika mereka semua berkumpul saling berpegangan.
Mereka seolah membiarkan para pelajar itu melompat ke dalam jurang jika mereka mau. Dengan tawa jahat sambil meminum minuman keras, para perampok itu tak hentinya memaki pelajar-pelajar itu. Fran yang melihat ke arah jurang berkata kepada teman-temannya, "Lebih baik kita melompat ke jurang."
Sontak, Araya dan Una terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Fran. Dalam ketakutan, mereka hanya saling melihat satu sama lain. Namun, mereka yang tidak siap dengan
pilihan itu hanya mengulurkan tangan kepada Fran. Tanpa berpikir panjang, Fran menarik Una dan juga Araya melompat ke dalam jurang. Para pelajar lain yang melihat mereka akhirnya juga ikut melompat, terjun ke dalam
jurang yang dipenuhi semak dan pepohonan itu.
Mereka lebih memilih mati di dalam jurang daripada harus mati di tangan para perampok biadab itu. Dalam keadaan yang kacau, suara teriakan mereka menggema dan
mengagetkan para perampok. Mereka tidak menyangka bahwa para pelajar itu benar-benar melompat.
Entah keajaiban apa yang menyertai, mereka semua bisa selamat, meskipun tubuh mereka dipenuhi luka dan beberapa dari mereka mengalami cedera yang sangat serius. Bahkan satu di antara mereka tidak bisa menggerakkan tubuhnya dan sampai tak sadarkan diri.
Mereka saling membantu mencoba menjauh dan mencari tempat berlindung, sadar bahwa para perampok itu pasti akan mengejar mereka lagi. Mereka berjalan lebih cepat,
beberapa orang menggendong teman-teman mereka yang lain, termasuk Araya dan Fran yang harus membopong Una karena kakinya yang patah.
Akhirnya, mereka berhasil keluar dari hutan. Kemudian, mereka melihat sebuah sungai dan ada sebuah perahu di sana. "Tolong! Tolong!" mereka berteriak sambil berlari ke arah perahu tersebut, berharap mendapatkan bantuan.
Syukurlah, pertolongan itu datang. Dua orang pria yang ada di perahu tersebut melihat para pelajar itu dan menepikan perahu mereka. Para pelajar menangis memegang kapal itu, hanya ada kata "tolong" yang keluar dari mulut mereka. Kedua pria di kapal itu terkejut dan bingung dengan apa yang mereka lihat, akhirnya menyuruh mereka naik dan
berencana membawa mereka ke desa.
Perahu itu bergerak perlahan, karena ukurannya yang tidak terlalu besar membuat mereka harus berhimpitan dan berharap perahu itu tidak terbalik karena arus sungai di
depan mereka cukup deras. Semua duduk dengan perasaan campur aduk dan linangan air mata. Mereka yang mencoba untuk tenang tiba-tiba mulai panik ketika perahu yang tidak cukup besar itu berguncang, dan salah satu dari mereka terjatuh ke dalam derasnya air sungai.
"Araya!" teriak Una dan Fran melihat temannya terjatuh. Karena rasa lelah dan sesaknya perahu, Araya terjatuh dan terseret arus sungai yang deras. Derasnya sungai yang menggulung tubuhnya tak mampu ia lawan. Hanya suara gemuruh air, hempasan bebatuan, dan cahaya langit yang
menyertainya saat ia terseret ke dalam air, berulang kali, sampai entah berapa jauh.
Araya mencoba mengangkat kepalanya, tetapi ia tak mampu, hingga sebatang kayu dan tumpukan sampah ranting menghentikannya. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia mencoba memanjat, berjalan ke tepi sungai, kemudian
membaringkan tubuhnya di bebatuan besar sungai. Pandangannya yang pudar perlahan mulai membaik. Tak ada lagi sisa suara yang bisa keluar dari mulutnya. Setelah beberapa saat, ia mulai bangkit, melihat ke arah sungai,
dan berdiri di tepi batu besar itu, berharap teman-temannya datang menolongnya.
Sampai tiba malam hari, ia sadar sepertinya ia sudah terbawa arus sungai sangat jauh. Mungkin temannya akan mencarinya besok. la pun mengumpulkan dedaunan dan
ranting-ranting untuk membuat tempat peristirahatannya malam ini. Rasa dingin, ketakutan, dan keheningan malam
membuatnya menangis. Semua rencananya hilang dengan kejadian tragis yang menimpanya.
Pandangannya yang kembali memudar semakin membuatnya ketakutan, seolah kematian akan datang padanya. Dalam hening dan diam, air mata yang terus
mengalir dan rasa sakit itu kini tak lagi ada, karena separuh tubuhnya telah mati rasa. Matanya yang masih memandang langit dengan sayu, bergerak mencari sebuah suara, seolah ada suara wanita yang memanggil. Araya yang tak pernah bertemu ibunya, entah mengapa merasa bahwa suara itu adalah suara ibunya. "ibu", sahutnya pelan sambil menggenggam kalung pemberian ibunya dan memejamkan matanya.
Dalam ketidaksadarannya, ratusan kupu-kupu kecil datang mengerumuni tubuhnya. Tubunya seperti terselimuti oleh cahaya dari banyaknya kupu-kupu yang terbang dan hinggap di tubuhnya itu.
Pagi pun tiba, rasa dingin itu mulai hilang oleh matahari yang menyinari, ia mengeringkan pakaiannya ditepian batu, mencoba berfikir dan mengatasi rasa lapar yang datang, tak banyak yang bisa iya perbuat, dia mencoba mencari buah dan tanaman yang mungkin bisa dimakan. Dia mencoba kembali membuat api yang sudah dicobanya kemarin malam namun tetap gagal, hanya ada beberapa pohon umbi yang iya temukan dan itu cukup untuk mengembalikan tenaga dan menghilangkan rasa laparnya.
Hari mulai sore tetapi tak ada tanda dari teman-temannya, ketakutan mulai datang ketika terlintas difikirannya kalau para perampok itu menemukannya, dengan dilema dan kecemasan itu akhirnya dia memilih untuk berjalan menyusuri sungai dan mencoba mencari jalan untuk menemukan pemungkiman.
Dengan semua tenaga dan perjuangannya dalam perjalanan selama dua hari lamanya, akhirnya iya melihat sebuah Kota dari kejauhan, dia berjalan cepat terpingkal pingkal dan akhirnya sampailah ia di kota Ribe.