NovelToon NovelToon
TABIB KELANA 2

TABIB KELANA 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Spiritual / Matabatin
Popularitas:228.2k
Nilai: 5
Nama Author: Muhammad Ali

Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CS Baru

Setelah memastikan bahwa gadis yang menabraknya tidak apa-apa, Mumu bergegas keluar dari lobi rumah sakit.

Udara Jogja yang sejuk menyambutnya begitu ia melangkah keluar, membuatnya merasa sedikit lebih segar setelah seharian menghadiri seminar.

Mumu baru saja selesai menghadiri acara yang diselenggarakan di salah satu rumah sakit terbaik di kota itu bersama beberapa rekannya.

“Wah, hebat ya fasilitasnya. Kalau di rumah sakit tempat kita kerja, peralatan seperti ini mungkin baru ada beberapa tahun lagi.” Kata dr. Tio, rekan Mumu, sambil menyusulnya ke luar.

Mumu mengangguk pelan, setuju. “Betul apa yang Dokter katakan. Kita jelas masih sedikit ketinggalan. Pelayanannya juga beda. Pasien di sini kelihatan lebih tenang dan nyaman. Peralatan mereka canggih, tenaga medisnya juga kelihatan lebih terlatih.”

Mereka berjalan menuju area parkir, di mana beberapa rekan mereka yang lain sedang menunggu di dekat mobil yang akan membawa mereka kembali ke tempat mereka bekerja.

“Kalau rumah sakit kita punya peralatan seperti itu, aku yakin perawatan pasien kita akan jauh lebih baik.” Lanjut Mumu, suaranya penuh harapan.

Dr. Tio tertawa kecil. “Betul sekali. Tapi mau bagai mana lagi? Rumah sakit kita itu kan termasuk kecil, pendanaannya juga terbatas. Lagipula, yang terpenting itu bagai mana kita merawat pasien dengan hati, bukan cuma alat canggih.”

...****************...

Keesokan harinya, Nurul sudah berada di samping tempat tidur Raka ketika Dokter datang untuk visit.

Dia menatap Dokter yang memasuki ruangan dengan perasaan campur aduk, hatinya berat tapi tekadnya sudah bulat.

Raka berbaring lemah di atas ranjang, tatapannya kosong menatap langit-langit, sementara di tangannya masih terpasang infus.

“Selamat pagi, Raka.” Sapa Dokter sambil tersenyum tipis. Dia membuka berkas di tangannya, memeriksa catatan perkembangan kondisi Raka.

Setelah beberapa saat, dokter melirik Nurul yang jelas-jelas tampak gelisah.

“Bagai mana perasaan mu hari ini, Raka?” Tanya dokter dengan nada lembut.

Raka tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap lurus ke depan sebelum akhirnya berkata pelan,

“Tidak ada yang berubah, Dok. Saya masih merasakan sakit di punggung, dan... saya tidak bisa merasakan apa-apa di kaki saya.”

Dokter mengangguk pelan. Dia sudah terbiasa dengan respons seperti ini dari pasien dengan cedera tulang punggung.

Situasi ini sulit, baik bagi pasien maupun orang-orang yang merawat mereka.

Nurul, yang duduk di kursi di samping tempat tidur Raka, mengambil napas dalam-dalam sebelum memberanikan diri untuk berbicara.

"Dokter, kami sudah bicara, dan... Raka ingin pulang. Dia merasa perawatannya di sini tidak akan banyak membantu."

"Apalagi, Dokter juga sudah bilang bahwa tulang punggung yang patah itu mustahil disembuhkan seperti semula."

Dokter menatap Nurul dengan tenang, lalu mengalihkan pandangannya ke Raka. “Raka, apakah ini benar keinginanmu?”

Raka mengangguk perlahan.

“Iya, Dok. Saya sudah cukup lelah di sini. Saya tahu kondisi saya tidak akan membaik, dan saya hanya ingin pulang. Di rumah, saya bisa bersama keluarga saya. Tidak ada gunanya saya terus di sini kalau akhirnya tidak ada perubahan.”

Dokter terdiam sejenak, memikirkan kata-katanya. Ia mengerti bahwa kondisi mental pasien sama pentingnya dengan kondisi fisik.

Kadang, pasien yang merasa tidak ada harapan akan semakin sulit sembuh jika mereka tetap dipaksa untuk menjalani perawatan.

Namun, Dokter juga tahu bahwa memulangkan Raka tanpa perawatan lebih lanjut adalah keputusan yang berisiko.

“Saya mengerti perasaan kalian.” Kata Dokter, suaranya penuh empati.

“Tulang punggung yang patah memang sulit, bahkan mustahil, untuk kembali seperti semula. Tapi perawatan yang kita lakukan di sini bukan hanya tentang menyembuhkan, tapi juga menjaga agar kondisimu tidak semakin memburuk.”

Raka menghela napas panjang. “Dok, saya paham, tapi saya tidak punya kekuatan lagi untuk melanjutkan. Biaya di rumah sakit juga semakin tinggi, dan saya tidak ingin membebani keluarga saya lebih lama lagi. Saya ingin pulang.”

Dokter mengangguk lagi, tapi kali ini raut wajahnya berubah lebih serius.

“Kalau itu memang keputusan kalian, saya tidak bisa memaksa. Namun, sebelum kami bisa mengizinkanmu pulang, ada satu hal yang harus kalian lakukan.”

Nurul menatap Dokter dengan penuh perhatian, sementara Raka tetap diam.

“Kami memerlukan kalian untuk menandatangani surat penolakan dirawat. Ini adalah prosedur standar di rumah sakit."

"Surat ini berisi pernyataan bahwa kalian sadar akan risiko memutuskan perawatan lebih awal dan menolak rekomendasi medis. Dengan menandatangani surat ini, rumah sakit tidak akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu dengan Raka setelah dia dipulangkan.”

Mendengar itu, Nurul merasa hatinya sedikit bergetar. Dia tahu bahwa ini adalah keputusan yang berisiko, tapi melihat kondisi Raka, dia tidak bisa menahan keinginan Raka untuk pulang.

Dia sudah melihat betapa menderita dan lelahnya Raka dalam beberapa hari terakhir. Apa lagi semenjak diputuskan oleh Nadya, mentalnya down.

Jika inilah yang bisa membuat Raka merasa lebih baik, dia siap untuk mendukungnya.

Raka, yang sejak tadi hanya mendengarkan, akhirnya berkata, “Saya akan tanda tangani, Dok. Saya mengerti risikonya dan saya siap menerimanya.”

Dokter menatap Raka dengan penuh rasa hormat.

“Baik, Raka. Kalau begitu, saya akan minta petugas untuk menyiapkan suratnya. Tapi sebelum itu, saya ingin memastikan bahwa kamu benar-benar paham dengan risikonya. Setelah kamu pulang, tanpa perawatan lebih lanjut, kondisimu bisa semakin buruk."

"Ada risiko infeksi, kerusakan permanen yang lebih parah, dan rasa sakit yang mungkin akan terus ada.”

Raka mengangguk, meski suaranya terdengar semakin lemah. “Saya sudah siap, Dok. Saya hanya ingin pulang.”

...****************...

Pagi itu, suasana di ruang kantor Erna tampak sibuk seperti biasa. Beberapa karyawan berlalu-lalang, membawa dokumen dan berkas yang harus segera diperiksa.

Seorang karyawan muda mengetuk pintu dan masuk dengan membawa sebuah map tebal di tangannya.

"Selamat pagi, Buk Erna." Sapanya dengan sopan.

"Pagi. Ada apa?" Tanya Erna sambil menatap karyawan tersebut sekilas sebelum kembali fokus pada berkas yang sedang diperiksanya.

"Ini, Buk. Buk CS cewek yang Ibu minta sudah ada. Namanya Dara." Jawab karyawan itu sambil menyerahkan map yang dibawanya.

Erna meletakkan berkas yang sedang diperiksanya lalu mengambil map tersebut.

Dia membuka map dan memeriksa beberapa lembar dokumen di dalamnya. Wajahnya tampak serius saat membaca informasi tentang calon karyawan baru itu.

"Oh ya? Apakah dia sudah menikah?" tanya Erna sambil tetap menatap berkas di tangannya.

"Belum, Buk. Masih lajang." Jawab karyawan itu cepat.

Erna mengangguk pelan, lalu bertanya lagi,

"Pengalaman kerjanya bagai mana?"

Karyawan itu berdiri tegak, seolah sudah mempersiapkan jawaban dengan baik.

"Dia belum pernah kerja secara formal, Buk. Kalau kerja sambilan ada beberapa."

Setelah beberapa saat membaca berkas dengan seksama, Erna menutup map itu dan meletakkannya di meja.

"Kalau begitu, bilang kepadanya besok dia bisa mulai bekerja di sini. Pastikan semua persiapan untuk hari pertamanya sudah siap."

"Siap, Buk." Jawab karyawan itu dengan sigap, kemudian segera keluar dari ruangan untuk menyampaikan kabar baik tersebut kepada Dara.

Erna menghela napas pendek dan memandang ke arah jendela sejenak.

Satu masalah terselesaikan, pikirnya. Kini tinggal memastikan Dara bisa langsung menyesuaikan diri dengan ritme kerja di kantor ini.

Karyawan customer service yang baik memang penting untuk menjaga reputasi perusahaan, dan dari laporan yang dia baca, Dara sepertinya punya potensi besar.

Erna kembali fokus pada pekerjaannya.

1
Yandi Maulana
Memang gak ada kata "jika" sebelumnya /Facepalm/
Suwardi Sumantri
Sayang sekali Mumu terlalu baik hati , seharusnya bapak sama anaknya dikasih pelajaran biar tidak songong dan semakin memupuk dendam dikemudian hari.
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
... Silent Readers
👣👣👣👣👣
... Silent Readers
🐾🐾🐾🐾🐾
Rikarico
next banyak2 thor
tirta arya
ya dikempesin biar keplnya ga gede lah..gonblok banget nih anak!..🤪🤪🤪🤲😜😜😜😝😝😝😝
Mohammad Djufri
ah bang ali, memang sengaja nampaknya, menggantung cerita....
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
Leni Agustina
lalu lanjut lagi
Sarita
krrekk ,ternyata Mumu kebal senjata .dan si jaka langsung tumbang kena totokan yg mematikan
Casudin Udin
Lalu..
bersambung...
Muchtar Albantani
lalu lau
icih maricih
lalu...apa thor?!
... Silent Readers
👣👣👣👣👣
Sirot Judin
lanjut.....
Leni Agustina
lanjut
Saad Kusumo Saksono SH
Luar biasa
Suwardi Sumantri
Kalau Desta bisa kebakaran jenggot nih kalau sampai tahu Mala mendatangi rumah Mumu
Puspa Dewi kusumaningrum
hah mesti begt y
Rikarico
next
Muchtar Albantani
mumuh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!