Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ban 1;Aira memasuki ruang tamu rumah Rak. I
Aira memasuki ruang tamu rumah Raka dengan perasaan cemas yang tak terbendung. Ini adalah kali pertama ia mengunjungi kediaman calon suaminya. Suasana rumah yang megah dan mewah terasa dingin dan asing, menciptakan rasa ketidaknyamanan yang semakin menguat seiring langkahnya menyusuri ruangan.
Raka sedang duduk di sofa dengan sikap tenang yang arogan. Tatapannya seperti sedang menunggu untuk menilai, seolah melihat Aira sebagai seseorang yang tidak lebih dari seorang pengunjung sementara. Aira berusaha menunjukkan ketenangannya, namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa benturan ini akan segera terjadi.
“Kamu datang lebih awal,” kata Raka tanpa senyum, nadanya datar.
Aira mengangguk dan berusaha tersenyum walaupun terasa canggung. “Aku ingin mencoba menyesuaikan diri. Lagipula, aku rasa kita perlu lebih banyak waktu untuk mengenal satu sama lain, bukan?”
“Mengenal?” Raka tertawa kecil, nadanya terdengar seperti ejekan. “Bukankah sudah kubilang, kita hanya menjalani rencana ini? Tidak ada yang perlu kita kenali di antara kita.”
Aira menatapnya dengan tajam, perasaan kesal mulai menguasai dirinya. “Kalau memang begitu, kenapa kamu tidak menolak perjodohan ini? Kenapa kamu menerimanya jika hanya akan bersikap dingin dan tak acuh seperti ini?”
Raka mendekatkan wajahnya padanya, tatapan matanya penuh dengan ketegasan dan sedikit kekejaman. “Karena itulah yang terbaik, Aira. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerima apa yang sudah diatur oleh orang tua kita.”
Aira merasakan sesuatu dalam dirinya mendidih. Ia tak bisa terus-menerus diperlakukan seperti ini. “Kalau begitu, apa gunanya semua ini, Raka? Apa gunanya jika kita terus bersikap seperti orang asing?”
“Kita memang orang asing,” jawab Raka tajam. “Kamu pikir pernikahan ini adalah tentang cinta? Tidak. Ini adalah tentang keluarga, tentang kepentingan yang jauh lebih besar dari perasaan kita.”
Aira terdiam, hatinya sakit mendengar jawaban Raka yang terasa dingin dan menghancurkan. Namun, ia tidak mau menyerah begitu saja. “Aku tidak bisa hidup dalam pernikahan tanpa perasaan, Raka. Aku tidak ingin menjalani kehidupan seperti boneka.”
Raka menyeringai, lalu berkata dengan nada rendah yang tajam, “Itu pilihanmu, Aira. Tapi ingat, kamu sudah masuk ke dalam dunia yang tidak akan memberikanmu kesempatan untuk pergi begitu saja.”
Kata-kata itu menggema di kepala Aira. Ia tahu Raka mungkin benar, namun ia juga tahu bahwa ia takkan tinggal diam dan membiarkan dirinya terperangkap begitu saja. Ia ingin mencari cara untuk mengubah situasi ini, meskipun ia tidak tahu caranya.
“Kalau begitu, aku akan menunjukkan padamu bahwa aku bukan hanya boneka, Raka,” kata Aira dengan suara tegas.
Raka menatapnya, tampak terkejut oleh keberanian yang muncul dari diri Aira. “Menunjukkan apa? Bahwa kamu bisa melawan takdir? Percayalah, Aira, melawan hanya akan membuatmu semakin terluka.”
Aira tersenyum pahit, matanya penuh tekad. “Aku lebih memilih terluka daripada hidup tanpa arti.”
Aira berjalan keluar dari rumah Raka dengan langkah tegas, namun perasaan di dalam dirinya semakin kacau. Ia tahu bahwa tantangan ini akan menjadi lebih sulit dari yang ia bayangkan. Namun, ia bertekad untuk menunjukkan pada Raka dan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.
Aira memasuki ruang tamu rumah Raka dengan perasaan cemas yang tak terbendung. Ini adalah kali pertama ia mengunjungi kediaman calon suaminya. Suasana rumah yang megah dan mewah terasa dingin dan asing, menciptakan rasa ketidaknyamanan yang semakin menguat seiring langkahnya menyusuri ruangan.
Raka sedang duduk di sofa dengan sikap tenang yang arogan. Tatapannya seperti sedang menunggu untuk menilai, seolah melihat Aira sebagai seseorang yang tidak lebih dari seorang pengunjung sementara. Aira berusaha menunjukkan ketenangannya, namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa benturan ini akan segera terjadi.
“Kamu datang lebih awal,” kata Raka tanpa senyum, nadanya datar.
Aira mengangguk dan berusaha tersenyum walaupun terasa canggung. “Aku ingin mencoba menyesuaikan diri. Lagipula, aku rasa kita perlu lebih banyak waktu untuk mengenal satu sama lain, bukan?”
“Mengenal?” Raka tertawa kecil, nadanya terdengar seperti ejekan. “Bukankah sudah kubilang, kita hanya menjalani rencana ini? Tidak ada yang perlu kita kenali di antara kita.”
Aira menatapnya dengan tajam, perasaan kesal mulai menguasai dirinya. “Kalau memang begitu, kenapa kamu tidak menolak perjodohan ini? Kenapa kamu menerimanya jika hanya akan bersikap dingin dan tak acuh seperti ini?”
Raka mendekatkan wajahnya padanya, tatapan matanya penuh dengan ketegasan dan sedikit kekejaman. “Karena itulah yang terbaik, Aira. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerima apa yang sudah diatur oleh orang tua kita.”
Aira merasakan sesuatu dalam dirinya mendidih. Ia tak bisa terus-menerus diperlakukan seperti ini. “Kalau begitu, apa gunanya semua ini, Raka? Apa gunanya jika kita terus bersikap seperti orang asing?”
“Kita memang orang asing,” jawab Raka tajam. “Kamu pikir pernikahan ini adalah tentang cinta? Tidak. Ini adalah tentang keluarga, tentang kepentingan yang jauh lebih besar dari perasaan kita.”
Aira terdiam, hatinya sakit mendengar jawaban Raka yang terasa dingin dan menghancurkan. Namun, ia tidak mau menyerah begitu saja. “Aku tidak bisa hidup dalam pernikahan tanpa perasaan, Raka. Aku tidak ingin menjalani kehidupan seperti boneka.”
Raka menyeringai, lalu berkata dengan nada rendah yang tajam, “Itu pilihanmu, Aira. Tapi ingat, kamu sudah masuk ke dalam dunia yang tidak akan memberikanmu kesempatan untuk pergi begitu saja.”
Kata-kata itu menggema di kepala Aira. Ia tahu Raka mungkin benar, namun ia juga tahu bahwa ia takkan tinggal diam dan membiarkan dirinya terperangkap begitu saja. Ia ingin mencari cara untuk mengubah situasi ini, meskipun ia tidak tahu caranya.
“Kalau begitu, aku akan menunjukkan padamu bahwa aku bukan hanya boneka, Raka,” kata Aira dengan suara tegas.
Raka menatapnya, tampak terkejut oleh keberanian yang muncul dari diri Aira. “Menunjukkan apa? Bahwa kamu bisa melawan takdir? Percayalah, Aira, melawan hanya akan membuatmu semakin terluka.”
Aira tersenyum pahit, matanya penuh tekad. “Aku lebih memilih terluka daripada hidup tanpa arti.”
Aira berjalan keluar dari rumah Raka dengan langkah tegas, namun perasaan di dalam dirinya semakin kacau. Ia tahu bahwa tantangan ini akan menjadi lebih sulit dari yang ia bayangkan. Namun, ia bertekad untuk menunjukkan pada Raka dan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.