Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Beberapa hari sebelumnya
Marini salah seorang staff senior di divisi keuangan memasuki toilet, dia tak sengaja melihat Tiara yang sedang memandang layar ponselnya dengan intens. Tanpa curiga, Tiara tengah menatap foto yang sudah dia ambil beberapa waktu lalu, foto Dina yang keluar dari apartemen milik Fifi. Saat itu, Marini yang sedang mencuci tangannya, melihat foto tersebut dari balik cermin yang membelakangi Tiara, yang kemudian memunculkan ide yang lebih licik.
Marini mendekati Tiara yang tampaknya sibuk dengan ponselnya, dan berpura-pura meminjam ponselnya, “Tiara, maaf, bisa pinjam ponselmu sebentar? Aku perlu menelpon juniorku, ponselku kehabisan baterai. Aku ingin memintanya membawa data yang kemarin kau minta," kata Marini dengan nada yang terdengar biasa saja, sambil tersenyum. Tiara, yang tidak terlalu curiga, menyerahkan ponselnya tanpa banyak bertanya.
Dengan tangan yang cekatan, Marini membuka galeri foto, lalu tanpa sepengetahuan Tiara, mengirimkan foto yang sedang dipandang Tiara ke ponselnya sendiri. Setelah itu, dia mengembalikan ponsel itu seolah-olah tidak ada yang terjadi. Tiara pun mengangguk, tanpa merasa ada yang ganjil, dan melanjutkan kegiatannya.
Marini keluar dari toilet dengan senyum puas di wajahnya. Foto itu kini berada di tangannya, dan dia sudah tahu betul apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Foto itu akan menjadi senjata yang sangat berharga untuk menghancurkan Dina, terutama setelah rencana yang lebih besar sudah ada di kepalanya. Marini merasa semakin yakin bahwa waktunya untuk membalas dendam telah tiba.
...***...
Sesaat setelah kejadian
Di dalam bilik toilet yang sempit, Marini menatap ponselnya dengan penuh kemarahan. Di layar, foto Dina yang baru saja keluar dari apartemen Fifi tampak tidak berdaya, seolah tidak cukup untuk menghancurkan karir wanita itu. Marini mengepalkan tangan, jari-jarinya memutih karena amarah yang tak tertahan.
"Breng-sek, semuanya sia-sia..." desisnya dengan penuh kebencian.
Marini sudah merencanakan semuanya dengan hati-hati. Saat berhasil mengambil foto itu dari ponsel Tiara, dia merasa rencananya akan berjalan sempurna. Membayar seseorang untuk menyebarkan foto itu di papan buletin perusahaan adalah langkah terakhirnya.
Namun, dia tidak menyangka Aldo dan Ferdi akan begitu cepat membalikkan keadaan. Tidak hanya gagal mempermalukan Dina, tetapi malah membuat Dina terlihat seperti korban gosip murahan.
Marini menarik napas dalam, matanya masih tertuju pada foto Dina di ponsel. “Kenapa pak Aldo dan pak Ferdi membantu wanita itu…”
...***...
Marini sebenarnya sudah berusaha melupakan masa lalu dan meninggalkan dendamnya terhadap Dina. Setelah kejadian tujuh tahun lalu, ia mencoba melanjutkan hidup, mengubur kenangan buruk yang melibatkan adik laki-lakinya, Prasetyo. Namun, saat tanpa sengaja melihat Dina lagi setelah bertahun-tahun, seluruh perasaan yang pernah ia tekan kembali bangkit. Dendam itu, yang sempat terkubur, menyala lebih kuat dari sebelumnya.
Meski Dina seperti tidak mengenali atau mengingatnya, bagi Marini, momen itu membawa kembali luka yang belum sembuh. Dina, wanita yang menurutnya telah menghancurkan kehidupan adiknya, malah terlihat hidup bahagia. Itu membuat darah Marini mendidih.
Prasetyo, adik laki-laki yang begitu ia sayangi, pernah jatuh cinta pada Dina. Prasetyo memberanikan diri menyatakan cintanya, meski tahu Dina saat itu sudah bertunangan dengan Ronny. Marini tahu, saat itu adiknya menghabiskan waktu berhari-hari untuk mempersiapkan diri, berharap cintanya pada Dina akan diterima. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Dina menolaknya dengan halus namun tegas.
Bagi Marini, tidak masalah jika Dina menolak perasaan Prasetyo, karena dia menyadari cinta tidak akan bisa dipaksakan.
Tapi, akibat dari penolakan itu meruntuhkan semangat Prasetyo, membuatnya jatuh dalam depresi yang begitu dalam. Tak lama setelah penolakan itu, Prasetyo memilih mengakhiri hidupnya dengan meminum pil tidur hingga membuatnya over dosis, meninggalkan Marini dengan rasa kehilangan dan kemarahan yang luar biasa. Dalam hati Marini, dia selalu menyalahkan Dina sebagai penyebab adiknya menderita, bahkan hingga kehilangan nyawanya.
Selama bertahun-tahun, Marini mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa dendam tidak akan membawa adiknya kembali. Tapi saat melihat Dina kembali, seolah tidak terjadi apa-apa, dendam yang sempat dia pendam berkobar lagi. Kini, Marini tidak hanya ingin menghancurkan reputasi Dina, tapi juga ingin melihat wanita itu merasakan sakit yang sama seperti yang dia rasakan saat kehilangan Prasetyo.
...***...
Tiara duduk di meja kerjanya, tatapannya kosong dan penuh kecurigaan. Ponselnya terasa begitu berat di tangan, seolah-olah beban yang mengikutinya semakin besar. Foto yang dia ambil, yang telah dia simpan rapat-rapat untuk menjatuhkan Dina, kini tersebar. Dia bahkan belum sempat mengirimkannya ke akun sosial media atau melaporkannya ke atasan, namun foto itu sudah lebih dulu ditemukan oleh orang lain.
"Siapa yang sudah mengirim foto itu ke buletin perusahaan, tidak ada yang tahu soal ini selain aku kan?" pikir Tiara dalam hati. Wajahnya merah, bukan karena malu, tapi karena amarah yang membara. Seseorang telah mencuri foto itu dari ponselnya, dan yang lebih buruk, dia tahu betul betapa berharganya foto itu untuk rencananya. Tanpa itu, dia kehilangan senjata utama yang bisa menghancurkan reputasi Dina.
Tiara berusaha mencerna kembali apa yang terjadi. Sementara rasa curiga membalut dirinya, Tiara semakin gelisah. Dia memeriksa setiap sudut ponselnya, berulang kali membuka galeri foto, berharap itu hanya sebuah kesalahan teknis. Tetapi foto itu sudah masih tetap berada disana. Dalam ketidaksabarannya, dia mulai menghubungi beberapa orang, mencari tahu apakah ada yang menyebarkan foto itu. Namun, satu-satunya jawaban yang dia terima adalah keheningan.
Di sisi lain, kesedihan yang mendalam mulai meresap di hati Tiara. Tanpa foto itu, dia tidak tahu bagaimana lagi caranya untuk melawan Dina. Apa yang bisa dia lakukan sekarang?
Sesaat kemudian Tiara teringat dengan Marini yang meminjam ponsel miliknya beberapa hari sebelum kejadian, "Sialan, jangan-jangan dia yang sudah mencuri foto itu!!. Tidak bisa dibiarkan, aku harus bertanya langsung padanya" geram Tiara.
...***...
Tiara melangkah cepat, wajahnya penuh ketegangan. Langkahnya menuju ruang kerja Marini begitu pasti, pikirannya dipenuhi satu tujuan—menemui Marini dan mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya. Ketika dia tiba di depan pintu, dia ragu sejenak, namun kemudian mengetuk dengan keras, tak sabar menunggu balasan. Pintu terbuka dan Marini menoleh dengan wajah tenang, seolah tidak ada apa-apa.
"Marini, kita perlu bicara," kata Tiara, suara seraknya hampir tak bisa menahan amarah yang semakin membesar. Mengabaikan staff lain yang melihatnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Marini yang semula sedang duduk di meja kerjanya menatap Tiara, seolah melihat masalah yang sedang datang. Dia mengangguk pelan.
"Kenapa? Ada apa?" Marini bertanya dengan nada datar, berusaha tetap menjaga ketenangan disekitarnya.
Tiara melangkah masuk tanpa berkata-kata lagi, wajahnya memerah karena emosi yang terpendam. "Aku tahu kamu yang mengambil foto itu," ujarnya tajam, langsung mengarah pada inti masalah. "Beberapa hari yang lalu kamu meminjam ponselku, kau kan yang sudah mencuri foto di ponselku lalu menyebarkannya di buletin kantor. Jangan coba bohong!"
Marini tersenyum tipis, matanya menyipit melihat Tiara dengan sinis. "Apa-apaan ini? Kenapa kamu menuduh aku sembarangan!" jawab Marini dengan suara tegas dan penuh penolakan, seolah tak terpengaruh oleh tuduhan Tiara.
"Jangan bohong, Marini! Aku tahu kamu yang mengunggah foto itu di buletin!" Tiara bersikeras, tapi Marini justru semakin tenang.
"Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan, Tiara," jawab Marini dingin, wajahnya tak menunjukkan rasa bersalah. "Aku meminjam ponselmu hanya untuk sebentar, dan aku tidak pernah menyentuh file apapun di dalamnya. Jadi, berhenti menuduh tanpa bukti. Aku sudah bilang kan kalau aku meminjam ponselmu untuk menelpon Yolanda, kau juga ada disana waktu itu dan mendengar pembicaraanku dengan Yolanda"
Tiara terdiam sejenak, ragu dengan reaksinya. Namun, perasaan curiga di dalam hatinya semakin kuat. "Kamu pasti memakai trik licik" kata Tiara pelan, meskipun tidak yakin apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Marini menatapnya tajam, seakan memperingatkan Tiara untuk berhenti menambah masalah. "Jika kamu tidak punya bukti, lebih baik kamu berhenti mencari-cari masalah dengan aku," ujar Marini, nada suaranya semakin keras, memberi kesan bahwa dia sudah cukup sabar.
"Kau pasti berbohong, mengaku saja kalau kau yang melakukannya" Tiara semakin meninggikan suaranya, memancing rekan - rekan Marini memperhatikan perseteruan diantara mereka berdua.
...****************...
aku kl masalh bayi di adopsi hnya untuk kepentingan sungguh gk tega. aku gk setuju kl yg bgini. tari bukan tulus ma si bayi tp modus. dah di kasih penyakit ma karma bkn insyaf mlh makin menjadi.