Semua ini berawal dari kata sandi sambungan Wi-Fi di rumah gue. Kedengarannya sepele, kan?
Tapi percaya, deh, lo salah besar kalau mengira ini cuma hal kecil yang enggak bakal bisa mengubah nasib seseorang.
Sekarang, kata sandi itu bukan cuma gue yang tahu, tapi juga mereka, tiga lelaki keren dari keluarga Batari yang tinggal di belakang rumah gue.
Bukan karena gue pelit, ya.
Tapi ini masalah yang jauh lebih besar, menyangkut harga diri gue sebagai seorang perempuan. Karena begitu dia tahu isi kata sandi itu, gue yakin hidup gue bakal berubah.
Entah akan jadi lebih baik, atau justru makin hancur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Kejujuran
Gue menatap pantulan tubuh di cermin depan gue, matanya seakan menghakimi apa yang sudah gue putuskan. Gue tarik napas panjang, terus perlahan menyentuh wajah yang memprihatinkan ini.
Kenapa, sih gue di sini?
Kenapa gue memilih buat enggak pulang?
Harusnya gue enggak ada di sini. Tapi, bagaimana caranya menolak pas dia minta sambil pasang muka memelas kayak begitu?
Wajahnya penuh harap. Enggak ada yang bisa melarang gue, bahkan bayangan gue sendiri.
Cowok yang lo taksir ada di depan mata, kelihatan ganteng, basah kuyup, terus memaksa lo buat tetap di sini, sayang banget buat ditolak.
Alkohol di otak gue juga enggak membantu buat ambil keputusan yang benar. Lagian, nyokap gue juga enggak ada di rumah, jadi aman lah.
Gue sisir rambut basah gue terus keringkan pakai handuk. Gue sudah mandi, terus sekarang pakai kaos yang dipinjami Anan sebelum gue masuk ke kamar mandinya.
Enggak sangka gue bisa ada di sini, di kamar mandinya. Kamar mandi ini rapi banget, ubinnya yang putih bersih bikin gue takut menyentuh apa pun yang ada di sini.
Gue lihat di cermin lagi, terus tarik kaos Anan biar tutupi tubuh gue. Di bawahnya, gue cuma pakai bokser dia yang kebesaran di gue.
Enggak bisa menolak, pilihannya cuma itu atau tetap basah kuyup dan masuk angin. Gue mikir apa gue sembunyi saja di sini dan enggak keluar, tapi gue tahu dia lagi tunggu gue di luar.
Dari tadi Anan enggak ngomong sepatah kata pun sejak kita jalan dari kolam renang ke kamarnya. Dia suruh gue pakai kamar mandinya ini karena dia mau pakai kamar mandi di lorong. Entah kenapa, gue yakin dia pasti sudah di situ.
Ayo, dong, Zielle.
Dia janji enggak akan menyentuh lo.
Kecuali lo mau.
Dan di situlah masalahnya, gue memang mau. Ingin cium dia lagi, terus ingin merasakan dia melekat, tapi gue tahu itu salah.
Kenapa sih, pas kita tahu sesuatu yang enggak boleh dilakukan malah jadi makin kepingin melakukannya?
Kenapa tadi gue bilang iya?
Kenapa coba?
Sekarang gue kayak masuk ke kandang singa.
Gue buka pintu kamar mandi dan masuk ke kamarnya. Kamarnya remang-remang, cuma ada lampu kecil yang menyala. Kamarnya luas dan, yang bikin kaget, ini rapi banget.
Mata gue langsung mencari dia di setiap sudut ruangan dan menemukannya duduk di kasur, enggak pakai baju, punggungnya bersandar ke ranjang. Sebagian dari gue berharap dia sudah tidur, tapi ternyata dia masih bangun, pegang botol minuman di tangan.
Pandangan kita ketemu dan dia senyum ke gue. “Kaos gue cocok di lo.”
Jangan senyum begitu, dong!
Lo enggak lihat apa, gue jadi lemes banget di sini?
Gue balas senyum tipis, berdiri di tempat, bingung mau ngapain.
“Lo mau berdiri di situ semalaman? Sini.” Dia tepuk kasurnya.
Gue ragu, dan dia tahu. “Lo takut sama gue?”
“Enggak, lah.”
“Yakin? Ya, udah, sini.”
Gue nurut, duduk di pinggir kasur, jaga jarak sejauh mungkin dari dia. Dia angkat alis, tapi enggak ngomong apa-apa.
“Gimana kalau kita lanjutin main.” Dia angkat botol itu, badannya miring ke arah gue. “Main kayak tadi di kolam renang?”
“Lo enggak mikir, ini udah malam banget?”
“Lo takut main sama gue?”
“Udah gue bilang, gue enggak takut.”
“Terus kenapa lo duduknya kayak mau jatuh dari kasur? Lo enggak usah segitunya kali, gue udah janji kan, ya?”
Iya, tapi lo bilang lo enggak akan sentuh gue kalau gue enggak mau. Masalahnya, gue memang mau.
“Cuma jaga-jaga aja.” balas gue.
“Terserah lo, deh.” Dia angkat kakinya, duduk bersila di atas kasur, gue ikuti gaya dia, sekarang kita duduk saling berhadapan, botol itu di tengah. “Lo duluan.”
Gue mikir sebentar, terus pilih yang simpel. “Gue belum pernah tidur sama lawan jenis di ranjang yang sama.” Gue angkat botol dan minum.
Melihat dia ragu, tapi akhirnya dia minum juga.
Dia berdehem. “Gue enggak pernah naksir sama sahabat orang yang gue suka.”
Dia enggak minum.
Apa dia lagi tanya soal tadi, ya, gue suka sama Tom?
Tom memang cakep, tapi gue enggak bisa bilang gue tertarik, jadi gue enggak minum. Wajahnya kelihatan lega banget.
“Gue enggak pernah punya perasaan ke sahabat gue,” kata gue, sambil perhatikan dia minum dengan tatapan layu.
Berarti dia punya perasaan ke Anggi, ya?
Rasanya sesak, dan entah kenapa gue ingin dia juga merasa sesak, jadi gue ikut minum.
Dia kaget dan tatapannya menantang gue. Dia mengusap rambutnya yang berantakan dan basah. “Kayaknya gue harus bikin lo minum.” Suaranya menang. “Gue enggak pernah jatuh cinta, tapi bertepuk sebelah tangan.”
Sial!
Senyum jemawanya muncul, dan gue telan rasa sakit ini. Diam-diam, gue minum. Gue tatap dia dengan marah. “Gue enggak pernah pura-pura orgasm* sama cowok.”
Mata dia melotot kaget waktu lihat gue minum. Dia kelihatan terpukul, jelas banget dari tatapan marah di matanya. Gue tahu gue bohong, tapi sekarang gue enggak peduli.
Anan ambil botol itu, mikir sebentar dan bersiap menghancurkan gue, karena gue tahu habis ini dia bakal balas gue lebih parah.
Dia menatap sambil buka suara. “Gue enggak pernah bohong pas bilang gue enggak suka sama seseorang.”
Alis gue menyatu.
Maksudnya...?
Anan mainkan bibirnya terus minum.
Gue diam, bengong melihat dia.
Apa dia baru saja bilang kalau dia suka sama gue dan selama ini dia bohong?
Atau gue yang kebanyakan mikir?
Atau mungkin minuman ini sudah bikin gue tambah mabuk.
Dia senyum, terus taruh botol di tengah. Gue ambil botol itu, bingung mau ngomong apa lagi.
“Lo kaget.” Dia bersandar dengan tangan di belakang, badannya miring ke belakang, jadi gue bisa lihat semua tatonya, termasuk yang di bawah perut, bentuk Naga kecil yang elegan.
“Enggak, cuma...,” sahut gue memainkan botol itu, “gue lagi mikir ...”
Sekarang giliran gue.
"Coba aja, bikin gue minum," katanya sambil condong ke depan, merapatkan jarak di antara kita, cuma botol itu yang memisahkan.
Gue gugup, terus bilang, "Kayaknya udah cukup, deh." Gue kasih botol itu ke dia. "Udah malam, mending kita tidur."
Dia gigit lagi bibirnya. "Oke, tapi kasih gue giliran terakhir, ya?"
Gue setuju. Mata kita tersambung satu sama lain.
"Gue enggak pernah pengen cium seseorang kayak sekarang."
Napas gue berhenti, dan dia minum, bibirnya yang gue suka itu basah, terus pandangannya turun ke mulut gue. Dia kasih botolnya ke gue, dan tanpa ragu, gue minum juga.
Dalam sekejap, Anan di atas gue, mulutnya menemukan mulut gue, bikin semua kesadaran gue lenyap. Ciumannya enggak lembut, dia liar, penuh gairah, dan gue suka.
Bibirnya yang halus menyentuh, menghisap, bikin gue enggak tahan buat keluarkan desahan di mulutnya, dan lidahnya tiba-tiba menyelonong masuk, menggoda. Dia, rasanya kayak campuran bir sama permen karet stroberi.
Tangan gue menarik rambutnya, ciuman itu berbalas sekuat tenaga. Gue kangen banget sama dia, padahal baru seminggu. Dia gampang banget bikin gue kecanduan.
Anan buka kaki gue, masuk di antaranya biar gue merasakan tubuhnya yang menempel penuh di gue. Tangannya naik di bawah kaos yang gue pakai, mengusap pah* bagian belakang gue. Jarinya menyangkut di pinggiran bokser yang gue pakai dan pelan-pelan melepaskan.
Bibirnya lepas dari bibir gue sebentar buat lepas bokser itu. Gue manfaatkan buat lihat wajah tampannya yang dekat banget sama gue dan mengusap pipinya.
Dia tutup mata, dan gue naik sedikit, bertumpu di siku buat cium leh*rnya pelan. Gue dengar dia ambil napas berat. Kulitnya halus banget dan baunya kayak parfum mahal.
Anan bangun, bikin kulit gue terasa dingin karena kehilangan kontak beberapa saat. Dia tarik tangan gue sampai gue berdiri di depan dia. Tangannya cepat naik ke ujung kaos dan mengangkatnya sampai lepas dari kepala gue.
Mata dia memperhatikan setiap inci tubuh telanj*ng gue, bikin semua badan ini gemetaran karena mood yang tinggi.
Dia tarik pinggang gue dan cium gue lagi. Rasanya ada kulit yang menempel di atas dada, memaksa gue buat alunkan desahan kecil.
Dia dorong gue jatuh di kasur, bibirnya yang enggak bisa diam turun dari mulut ke leh*r.
Lidahnya, lincah seperti biasanya, membasahi dengan manis, bikin jejak panasnya menjalar ke seluruh tubuh. Dia lanjut turun ke dada, bikin napas gue habis. Tapi Anan malah terus turun ke perut, bikin alarm di kepala gue bunyi.
"Anan, lo ngapain?" tanya gue pas dia mulai buka kaki gue, bikin gue tegang.
Mata dia menatap langsung ke gue. "Lo percaya sama gue?"
Cepat bilang enggak, Zielle!
Apa lo yakin bisa percaya dia?
Tapi kayak orang bego yang lagi jatuh cinta, gue malah mengangguk. "Iya."
Dia senyum di atas kulit gue dan lanjut turun. Gue lihat ke langit-langit, perasaan gue campur aduk. Begitu lidahnya menyentuh tempat paling sensitif di antara kaki gue, badan ini langsung menukik, desahan keras terpaksa keluar dari bibir.
"Arrrgh!" Gue mencengkeram seprai. Sensasi baru ini menyerang semua indra, bikin gue tenggelam dalam rasa yang luar biasa.
Enggak ada yang pernah seenak ini, sesempurna ini, apalagi karena ini sama dia. Anan kasih semua pengalaman pertama buat gue dan gue suka itu.
Lidahnya makin ganas, gerakannya naik turun, dan gue merasa sudah di ambang batas. Gue tutup mulut pakai tangan biar suara gue enggak terlalu kedengaran.
Tangan panjang Anan meraih pergelangan tangan gue, menjauhkannya dari mulut gue. "Enggak, biarin gue dengar suara lo. Cuma gue yang bisa bikin lo kayak gini," katanya.
Badan gue gemetar, dan dia terus melanjutkan "Aksinya" sampai gue mau meledak.
"Anaan!"
Suara dia serak, terdengar seksi. "Iya, kayak gitu. Kasih gue suara lo, cantik."
Punggung ini melengkung, tangan gue terpaksa membawa kepala dia menjauh, gue enggak tahan lagi. Kaki gue gemetaran, napas gue tersengal, berantakan.
Anan bangkit. Di depan gue, dia mainkan bibirnya, dan itu hal paling seksi yang pernah gue lihat seumur hidup. Gue bisa lihat dengan jelas, dada dan perutnya yang terpahat. Matanya bersinar penuh gairah.
Dia lepas celana pendeknya bareng sama boksernya, buang itu ke lantai, dan sekarang gue bisa lihat dia sepenuhnya telanj*ng di depan gue. Dia sempurna banget. Gue ingin merasakan dia, semuanya.
Dia ambil sesuatu dari laci meja samping kasurnya, dan gue gigit bibir bawah lihat dia pasang kond*m.
Duh, gue udah enggak sabar buat merasakannya lagi di dalam.
Dia pegang pergelangan kaki gue, tarik gue ke pinggir kasur, tangannya tahan dagu gue. "Mau?"
Gue mengangguk.
"Balik badan."
Gue nurut, dan dia langsung pegang pinggang gue, angkat gue sampai gue bersandar di tangan dan lutut gue. Rasa tegang ini hampir bikin gue gila, apalagi pas dia gesek-gesek bagian itu, tapi belum masuk juga.
"Anan, please!."
"Please apa?"
Dia bikin gue jadi benar-benar berani. "Please, jangan kelamaan!!"
Gue merasa dia tarik rambut gue, dan gue enggak bisa tahan buat enggak berisik pas dia masuk begitu saja ke dalam. Ada rasa panas dan sedikit sakit, tapi enggak sekeras waktu pertama kali.
Dia diam, kayak menunggu gue buat terbiasa. "Lo oke?"
"Iya." Dia mulai gerak pelan-pelan, masih agak panas, tapi gesekannya mulai terasa.
Beberapa menit kemudian, enggak ada rasa panas lagi. Anan lepaskan rambut gue, terus dia pegangan di pinggang gue buat masuk lebih dalam dan lebih cepat.
Suara dua kulit yang bertemu bergaung di seluruh ruangan, beriringan sama suara napas kita. Enggak lama, kita berdua rebahan di kasur, bersampingan. Napas kita habis.
Anan ambil botol minuman di meja. "Gue belum pernah bikin cewek orgasm*."
Terus dia minum.
Gue enggak bisa tahan buat senyum. "Lo gila, Anan Batari."
Mata dia ketemu mata gue. "Lo yang bikin gue gila, penyihir."
Dia membungkus kita berdua pakai selimutnya, terus mengelus pipi gue dengan lembut. Tiba-tiba rasa capek dan mengantuk datang, gue coba buat tetap melek, tapi enggak bisa lawan rasa kantuk yang makin berat.
Akhirnya gue ketiduran, telanj*ng di kasur cowok yang dulu suka gue intip dari kejauhan.
Hidup memang enggak bisa ditebak.