Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pangeran yang Labil
Mengendalikan emosi itu gampang banget, kalau saja orang yang bikin emosi enggak ada di depan mata. Merasa lebih kuat, yakin bisa move on, lanjutin hidup tanpa dia, dan rasa percaya diri itu balik lagi. Butuh waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, buat merasakan kekuatan itu. Tapi sekarang, cuma dalam sedetik semuanya hancur.
Saat dia tiba-tiba nongol di depan gue, perut gue panas, tangan keringatan, napas makin cepat. Semua kekuatan yang susah payah gue bangun langsung goyah, dan itu rasanya enggak adil banget.
"Ngapain lo di sini?" Suara gue terdengar dingin, dan kayaknya dia juga kaget.
Dia meninggikan alisnya. "Gak mau gue masuk?"
"Kenapa harus masuk?"
Dia buang muka sambil senyum kecil. "Gue... cuma... Izinin gue masuk, plis?"
"Ngapain lo di sini, Anan?" Gue ulang pertanyaan gue sambil menyilangkan tangan di dada.
Mata dia balik melihat ke arah gue. "Gue pengen ketemu lo."
Jantung gue makin cepat, tapi gue cuek. "Oke, sekarang lo udah ketemu gue."
Dia taruh kakinya di pinggir pintu. "Kasih gue waktu sebentar aja, biar gue masuk."
"Enggak, Anan." Gue coba menutup pintu, tapi tenaga gue enggak cukup kuat.
Dengan cepat dia masuk, memaksa gue mundur dua langkah ke belakang. Dia tutup pintu, dan gue yang panik cuma bisa bilang sesuatu yang gue pikir bisa bikin dia kabur. "Nyokap gue di atas. Gue tinggal manggil, dia bakal ngusir lo keluar."
Dia ketawa, terus duduk di sofa sambil taruh HP-nya di meja, menyenderkan sikunya di lutut. "Nyokap lo lagi dinas."
Gue mengerutkan alis. "Dari mana lo tahu?"
Dia mengangkat pandangannya, senyum licik muncul di bibirnya. "Lo kira cuma lo doang yang bisa jadi penguntit?"
Hah?
Gue memutuskan buat enggak menanggapi itu dan fokus buat mengusir dia sebelum Gori tiba-tiba datang atau nyokap pulang lebih cepat, yang bisa bikin drama ini meledak jadi perang dunia ketiga.
Mungkin kalau gue kasih kesempatan buat bicara apa yang mau dia katakan, dia bakal pergi. "Oke, sekarang lo udah di dalam. Mau apa lo?"
Anan mengeringkan mukanya pakai tangan, kelihatan capek. "Gue mau ngomong sama lo."
"Yaudah, ngomong."
Dia buka mulut, tapi langsung tutup lagi, kayak ragu mau bilang apa. Gue hampir bilang "udah pergi aja" pas bibir yang dulu pernah gue cium itu terbuka lagi, mengeluarkan tiga kata yang bikin gue kehabisan napas, tiga kata yang paling enggak gue sangka bakal keluar dari mulutnya.
"Gue benci lo." Nada suaranya serius, ekspresinya dingin.
Gue kaget. Rasanya hati gue hancur di dalam dada, dan mata gue panas. Tapi gue pasang muka seolah-olah enggak ngaruh apa-apa. "Oke, lo benci gue. Paham. Itu aja?"
Dia geleng-geleng kepala, senyum sedih muncul di bibirnya. "Hidup gue tadinya enjoy banget sebelum ada lo. Semuanya terkendali, dan sekarang..." Dia menunjuk ke arah gue. "Lo bikin semuanya kacau. Lo... lo udah ngerusak semuanya."
Hati gue remuk, air mata bikin pandangan gue buram.
"Gila, lo pinter banget bikin orang badmood. Lo datang ke rumah gue cuma buat bilang itu? Gue rasa lo mending pergi."
Dia goyang-goyangkan jari yang tadi dipakai buat tunjuk gue. "Gue belum selesai."
Gue enggak mau menangis di depan dia. "Tapi gue mau lo pergi."
"Lo gak pengen tahu kenapa?"
"Gue udah ngerti kok. Gue ngerusak hidup lo, udah lo bilang tadi, kan. Sekarang pergi dari rumah gue."
"Enggak."
"Anan..."
"Gue gak akan pergi!" Dia meninggikan suaranya sambil berdiri, dan itu bikin gue makin marah. "Gue harus bilang ini ke lo. Gue mau lo tahu kenapa gue benci lo."
Gue kepal tangan di sisi badan. "Kenapa lo benci gue, Anan?"
"Karena lo bikin gue ngerasa lemah dan..." Kata-katanya bikin gue enggak bisa berkata-kata. Dia lanjut lagi. "Gue gak mau jadi lemah. Gue bersumpah gak akan jadi kayak bokap gue, tapi sekarang gue di sini, jadi lemah di depan seorang cewek. Lo bikin gue jadi kayak dia, lo bikin gue lemah, dan gue benci itu."
Amarah mulai menguasai gue. "Kalau lo sebenci itu sama gue, ngapain lo ke sini? Kenapa lo gak jauhin gue?"
Dia angkat suaranya lagi. "Lo kira gue enggak coba?!" Dia ketawa sinis. "Gue udah coba, Zielle, tapi gue enggak bisa!"
"Kenapa gak bisa?" tantang gue sambil maju ke arahnya.
Dia kelihatan ragu, buka mulut tapi dia tutup lagi sambil mengertakkan rahangnya. Napasnya berat, sama kayak gue. Tatapan gue terkunci sama matanya yang biru, dan tiba-tiba dia memutar badan, merusak rambutnya lagi dengan kecewa.
"Anan, lo harus pergi!"
Dia balik badan, cukup buat memperhatikan gue dari samping.
Matanya tertunduk ke lantai. "Gue pikir hal ini gak akan pernah terjadi sama gue. Gue udah ngehindar sejauh mungkin, tapi tetap aja kejadian. Gue gak tahu ini perasaan apa, tapi gue gak bisa bohong lagi..."
Dia putar badan sepenuhnya, bahunya turun seperti sudah menyerah, ada genang matanya yang biru. "Gue jatuh cinta, Zielle."
Gue berhenti bernapas, mulut gue terbuka lebar.
Dia senyum kecil kayak orang bego. "Gue gila, kan? Jatuh cinta sama lo."
Jantung gue berdebar kencang dan ada yang menggelitik di perut.
Apa gue salah dengar?
Anan Batari barusan bilang kalau dia jatuh cinta sama gue?
Dia enggak bilang kalau dia cuma ingin tubuh gue, enggak bilang kalau dia cuma mau gue di tempat tidurnya.
Dia bilang dia jatuh cinta sama gue.
Gue enggak bisa ngomong apa-apa, enggak bisa gerak, cuma bisa memandangnya, cuma bisa lihat bagaimana wajah bekunya perlahan mencair di depan gue.
Dan saat itu gue teringat.
Dongeng itu.
Ceritanya.
Ingatan gue samar, tapi kata-katanya jelas banget. Dia pernah menemukan nyokapnya di tempat tidur bareng pria lain yang bukan bokapnya, dan bokapnya memaafkan perselingkuhan itu.
Anan melihat semuanya, mengalami semuanya. Bokapnya yang dulu dia anggap pilar hidupnya, kelihatan lemah dan menangis. Itu pasti pukulan buat dia.
..."Gue gak mau lemah. Gue gak mau jadi kayak dia..."...
Gue mengerti sekarang.
Gue tahu itu enggak bisa jadi alasan buat semua tindakannya, tapi setidaknya itu cukup menjelaskan.
Nyokap gue sering bilang, kalau diri kita yang sekarang ini, banyak dipengaruhi sama didikan di waktu kecil dan apa yang kita alami di masa kecil sampai awal remaja. Itu masa-masa di mana kita kayak spons, menyerap semuanya, yang ada di sekeliling kita. Dan sekarang, gue melihatnya dengan jelas.
Cowok di depan gue ini bukan si brengsek dingin dan sombong yang pertama kali gue ajak ngobrol lewat jendela kamar. Dia cuma cowok yang punya awal hidup yang berat. Seorang cowok yang enggak mau jadi kayak orang yang dulunya dia kagumi, yang enggak mau jadi lemah. Seorang cowok yang rapuh. Cowok yang marah, karena dia enggak mau merasa rapuh.
Dan siapa, sih, yang mau?
Jatuh cinta sama seseorang, itu artinya kita sedang kasih dia kekuatan dan kesempatan buat menghancurkan kita.
Anan ketawa kecil sambil geleng-geleng kepala, tapi senyum itu enggak sampai ke matanya. "Sekarang lo malah diem aja."
Gue enggak tahu harus ngomong apa. Gue masih terlalu kaget sama arah obrolan ini. Jantung gue mau meledak, dan napas gue sama buruknya.
Anan memutar badan, menunduk sambil ngomong pelan. "Sial." Dia menyenderkan keningnya ke dinding.
Gue akhirnya bereaksi, dan entah kenapa gue malah ketawa. Gue ketawa lepas, dan Anan balik memperhatikan gue lagi. Jelas, dia bingung.
"Lo... gila..." kata gue sambil ketawa, gue sendiri enggak tahu kenapa gue ketawa. "Bahkan pengakuan lo aja harus serumit ini."
"Berhenti ketawa," suruhnya sambil maju ke arah gue, mukanya serius.
Tapi gue enggak bisa berhenti ketawa, "Lo benci gue karena lo sayang sama gue? Lo sadar, enggak, sama apa yang lo omongin?"
Dia enggak jawab apa-apa, cuma pijat pangkal hidungnya terlihat putus asa. "Gue gak ngerti sama lo. Se—selama ini akhirnya gue punya keberanian buat bilang apa yang gue rasain, dan lo malah ketawa?"
Gue berdehem, berusaha tenang. "Sori, serius, gue enggak maksud kayak gitu. Gue cuma... gugup."
Keseriusannya mulai goyah, dan senyum miring muncul di bibirnya. "Lo berhasil."
Gue mengerutkan alis. "Berhasil apa?"
"Lo ingat, gak, apa yang lo bilang ke gue di kuburan waktu itu?"
"Waktu lo tanya .... ‘Terus, lo mau apa?’" Gue ulangi apa yang dia ucapkan dulu.
"Iya, lo bilang waktu itu ... ‘Gue mau lo jatuh cinta sama gue.’"
Gue tersenyum tanpa sadar. "Iya, dan lo ketawain gue waktu itu. Nah, sekarang siapa yang ketawa, pangeran?"
Dia miringkan kepala, matanya fokus mengamati gue. "Iya, lo menang, tapi lo juga jatuh cinta di tengah jalan."
"Siapa bilang gue jatuh cinta?" lawan gue sambil angkat dagu.
Dia maju, bikin gue mundur sampai punggung gue menabrak pintu. Enggak ada jalan keluar. Dia menunduk, menyandar ke arah gue, tangannya bertumpu di pintu, menjepit gue di antara kedua lengannya.
Bau khas dia, campuran parfum mahal dan aroma tubuhnya sendiri, langsung menghantam gue. Gue telan ludah, matanya yang sempurna sekarang ada tepat di depan gue.
"Kalau lo gak jatuh cinta, kenapa napas lo berhenti?"
Gue hembuskan napas yang bahkan enggak sadar kalau sudah tertahan. Gue enggak punya jawaban buat pertanyaannya, dan dia tahu itu.
"Terus kenapa detak jantung lo kenceng banget, padahal gue belum nyentuh lo?"
"Lo tahu jantung gue kenceng dari mana?" balas gue.
Dia ambil tangan gue dan taruh di dadanya. "Karena jantung gue juga ada di situ"
Denyut jantungnya yang gue rasakan di bawah telapak tangan bikin hati ini ikut bergetar.
"Ini yang gue coba tunjukin ke lo waktu terakhir kita bareng. Gue mau kasih tahu apa yang gue rasain buat lo."
Dia taruh dahinya ke dahi gue, dan gue tutup mata, merasakan detak jantungnya. Dia dekat banget.
Pas dia ngomong lagi, suaranya terdengar pelan. "Maaf."
Gue buka mata, langsung ketemu sama samudra luas di matanya. "Buat apa?"
"Karena kelamaan ngungkapin perasaan gue ke lo." Dia menyentuh tangan gue yang ada di dadanya, terus cium tangan itu. "Maaf, Zielle."
Dia makin dekat, napas kita bercampur menjadi satu. Gue tahu dia lagi tunggu sinyal dari gue. Gue enggak menolak, jadi akhirnya bibirnya yang manis menyentuh bibir gue.
Ciumannya lembut, pelan, tapi penuh banget sama perasaan. Sampai-sampai gue merasakan kupu-kupu terbang di perut gue. Dia pegang muka gue pakai dua tangan, terus dia makin dalam, mencium sambil memiringkan kepalanya. Bibir kita bergerak barsama, sinkron, saling menyentuh basah.
Astaga, gue cinta mati sama cowok ini.
Dia berhenti, tapi masih menempelkan dahinya ke dahi gue.
Gue ngos-ngosan dan akhirnya ngomong. “Pertama kali."
Dia mundur sedikit, menatap gue. "Apa?"
"Ini pertama kalinya lo cium gue tanpa nafsu."
Dia kasih senyum lebar, seperti ciri khasnya. "Siapa bilang enggak nafsu?"
Gue kasih dia tatapan maut, langsung bikin senyumnya menghilang. Muka dia jadi serius. "Gue enggak tahu gue ngapain. Tapi gue tahu satu hal, gue mau sama lo. Lo mau enggak sama gue?"
Dia mengamati wajah gue, seperti takut dengan jawaban gue. Entah kenapa itu bikin gue merasa punya kuasa.
Dia sudah datang ke sini dan menyerahkan dirinya di depan gue. Gue bisa bikin dia bahagia atau bisa hancurin dia cuma pakai kata-kata. Gue buka mulut mau jawab, tapi bel rumah tiba-tiba bunyi.
Dan entah kenapa gue tahu, itu pasti Gori.
Sial!
Anan melihat gue, bingung. "Lo nungguin tamu, ya?"
"Shhhh!" Gue tutup mulutnya pakai tangan, terus memaksa dia mundur.
Kita mundur menjauh dari pintu. Bel bunyi lagi, diikuti suara Gori. Gue yakin banget ini bakal kejadian.
"Zielle!"
Sial, sial, sial!
"Lo harus sembunyi," bisik gue ke Anan sambil melepas tangan gue dari mulutnya, terus tarik dia ke tangga.
Anan melepas tangannya dari gue. "Buat apa? Dia siapa?"
Nada dia terdengar menyolot, jelas banget dia cemburu. "Ini bukan waktunya buat cemburu. Ayo jalan."
Lo pernah, enggak memindahkan orang yang lebih tinggi dan kuat dari lo?
Rasanya kayak dorong batu raksasa.
"Anan, tolong deh," bujuk gue sambil setengah panik.
Kalau Gori telepon nyokap gue, terus nyokap telepon gue, tamatlah hidup gue.
"Nanti gue jelasin, sekarang lo ke atas dulu, diam-diam."
"Udah kayak selingkuhan yang ketahuan sama suami," celetuknya, tapi untungnya dia mulai jalan. Gue langsung merasa lega.
Saat Anan menghilang di ujung tangga, entah kenapa gue malah benarkan rambut dulu sebelum buka pintu. Gue cuma bisa berharap semua bakal aman-aman saja. Tapi masalahnya Gori kenal gue lama, dia pasti tahu kalau gue bohong atau lagi grogi.
Dan baru gue sadar, HPnya Anan masih ada di meja kecil depan sofa.
Gue cuma bisa gigit jari, berharap Gori enggak lihat.
Ya, Tuhan.
Selamatkan gue kali ini!