Alya harus menjalani kehidupan yang penuh dengan luka . Jatuh Bangun menjalani kehidupan rumah tangga, dengan Zain sang suami yang sangat berbeda dengan dirinya. Mampukah Alya untuk berdiri tegak di dalam pernikahan yang rumit dan penuh luka itu? Atau apakah ia bisa membuat Zain jatuh hati padanya?
Penasaran dengan cerita nya yuk langsung aja kita baca....
yuk ramaikan....
Update setiap hari....
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, subscribe, like, gife, vote and komen ya...
Buat yang sudah baca lanjut terus , jangan nunggu tamat dulu baru lanjut. Dan buat yang belum ayo buruan segera merapat dan langsung aja ke cerita nya, bacanya yang beruntun ya, jangan loncat atau skip bab....
Selamat membaca....
Semoga suka dengan cerita nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Jari jemari panjang itu diketuk di atas meja kayu, sebelum desahan lelah mengalun. Zain mengusap kasar wajahnya, memutar kursi membelakangi meja kerjanya. Menatap gedung pencakar langit di seberang sana, sudah satu bulan lebih pernikahan di antara Zain dan Alya terjalin. Mereka tinggal menyelesaikan dokumen pencairan harta warisan, untuk sang ayah dan adik-adiknya. Lalu pada pada cucu yang ada, Zain tak menyangka kalau harus berkorban sebegitu jauh hanya untuk harta warisan.
TOK! TOK!
Dua ketukan di pintu kaca itu mengalun, Zain tak langsung memutar kembali kursi menghadap ke arah pintu masuk.
"Masuk!" sahut Zain terdengar menggelegar.
Pintu kaca terbuka lebar, sekretaris cantik Zain masuk ke dalam ruangan CEO. Berdiri tepat di di belakang kursi Zain, menatap lurus arah kursi sang bos.
"Pak Presdir! Ada yang ingin bertemu dengan Bapak," ujarnya memberitahu.
Sebelah alis mata tebal Zain tertarik meninggi ke atas, kursi di putar hingga kembali ke posisi semula.
"Siapa?"
"Itu ad-"
"Long time no see, Zain," potong pria berpakaian necis itu kala masuk di dalam ruangan tanpa diberikan izin.
"Oh, kau," tutur Zain sebelum mengulum senyum melihat ekspresi wajah cemberut dari sang sahabat.
"Idih! Gitu amat, kau. Gak ada sambutan apa gitu?"
Zain bangkit dari posisi duduknya, melangkah mendekati sang sahabat. Pria berdarah Pakistan itu, tampak menyelonong merebahkan tubuhnya di atas sofa empuk yang berada di pinggir ruangan.
Tak perlu meminta izin untuk duduk terlebih dahulu pada pemilik ruangan, Zain berhenti sesaat. Membalikkan tubuhnya ke arah sang sekretaris, wanita cantik berkulit putih pucat itu mengulas senyum.
"Rani! Antarkan minum dan cemilan ke sini, untuk minuman bikin kopi hitam gulanya sedikit. Satu lagi bawa teh chamomile, tanpa gula," titah Zain pada sang sekertaris.
"Baik, Pak," sahut Rani. "Kalau begitu, saya izin undur diri, Pak Presdir."
Rani melangkah meninggalkan ruangan Zain, meninggalkan dua orang pria yang memiliki visual yang mumpuni. Sama-sama berasal dari kalangan atas, pintu tertutup perlahan. Zain kembali melanjutkan langkah kakinya mendekati sofa duduk berhadapan.
"Kau cukup kejam, ya, Zain! Masa nikah gak ngomong-ngomong ke aku. Kayaknya kau sudah tidak menganggapku sahabat lagi, ya," cibirnya.
Kedua bola mata Zain berotasi malas mendengar cibiran dari sang sahabat.
"Aku tak punya niatan nikah sebenarnya, Fatan. Pernikahan itu begitu saja terjadi," jawab Zain terdengar pelan.
Sebelah alis mata tebal tersusun rapi itu menukik ke atas, pertanda sang empunya tubuh tak paham dengan apa yang dimaksud oleh Zain. Apa alasan, Zain berkata demikian.
"Kau bukannya tengah menikah diam-diam dengan, Mira?" tanya Fatan dengan ekspresi penuh tanya.
Zain diam, pria satu ini tak menyahut. Semakin membuat rasa penasaran bergelayut di hati Fatan, bibir pria itu terbuka. Namun, ditutup kembali kala pintu ruangan dibuka. Sekretaris Zain membawa nampan berisikan dua cangkir minuman dan beberapa toples cemilan.
Meletakkan di atas meja, kembali keluar setelahnya. Zain memilih meraih cup teh chamomile miliknya, meniup kecil permukaan teh. Menyesapnya secara perlahan, aroma harum teh tercium di indra penciumannya. Meletakkan kembali ke tempat semula, Zain membawa netra hitam miliknya ke arah wajah Fatan.
"Apa?" tanya Zain kala manik mata mereka bersitatap.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Zain. Kau menikah dengan Mira, bukan?" Fatan masih tak bisa membuang rasa penasarannya.
"Gak," jawabnya sekenanya.
"Ha?"
"Aku dan Mira, kami gak ada kejelasan. Dia meminta untuk saling menjauh untuk introspeksi diri masing-masing, dia dan aku sama-sama orang yang keras kepala. Pada akhirnya, begitu. Aku sama sekali tidak menikahi Mira. Well, dari mana kau tahu kalau aku sudah menikah, hah!"
Fatan mendadak speechless, Zain dan Mira adalah pasangan yang serasi. Sedari di universitas sampai mereka berdua sama-sama kerja, keduanya sama sekali tak banyak masalah. Lantas apa alasan mereka berdua begitu, dan siapa gerangan wanita yang dinikahi oleh Zain.
***
"Wah! Hebat ya, keluyuran gak jelas di luar sana. Habis dari mana kau," tegur Soraya pada sang menantu.
Alya membeku, ditatap dengan tatapan tajam oleh ibu mertuanya. Alya sudah meminta izin pada Zain tadi pagi, dan sang suami memperbolehkan.
Bukan maksud hati Alya untuk tidak meminta izin kepada ibu mertuanya, wanita paruh baya satu ini tidak berada di rumah. Kala Alya akan berpamitan, ia sudah meninggalkan pesan pada pembantu rumah.
Kedua tangan Soraya dilipat di bawah dada, menatap angkuh sang menantu. Soraya sudah seperti ibu-ibu mertua jahat di dalam drama-drama yang pernah Alya tonton saat kecil, decakan kesal keluar dari bibir Soraya.
"Maaf, Ma! Tadi aku sudah minta izin dengan, Mas Zain. Dan juga sudah menitipkan pesan pada orang di rumah ini," balas Alya.
Meskipun Soraya sudah mendengar dari pembantu rumah, kalau Alya menitipkan pesan. Soraya tak akan peduli, toh, dengan begini gadis desa yang kampung satu ini akan merasa tak betah berada serumah dengan dirinya. Kalau bisa harus segera diceraikan, apa kata teman-teman arisannya nanti.
Soraya sudah menggembor-gemborkan kalau sang putra akan menikahi Mira. Gadis cantik yang memiliki pendidikan yang tinggi, memiliki pekerjaan yang bagus, serta berlatar belakang dari keluarga kelas atas. Sama seperti Soraya, tak mungkin Soraya memperkenalkan Alya pada teman-teman sosialitanya. Yang ada malu bukan kepalang, Soraya mendadak merasa kesal saja.
"Sekarang kau kuras air kolam, sikat lantai kolam renang itu. Sebagai hukuman karena keluar tanpa izinku, kau tahu untuk hormat pada suamimu. Tapi pada Ibu mertuamu ini, gak pernah hormat, gitu, kan?" cemooh Soraya.
Alya menggeleng. "Tidak, Mama. Aku tidak bermaksud begitu."
"Nah! Kalau begitu. Kau harus melaksanakan tugasmu. Cepat sana! Tanyain ke Mang waluyo di mana sikat kolam. Harus selesai sebelum jam 5 sore, jangan sampai suamiku dan putraku lihat kau kerja begitu. Kau gak inginkan Ibu mertuamu ini dicap kejam?" Soraya dengan menarik sebelah sudut bibirnya ke atas.
Alya mengangguk perlahan, ia harus patuh. Karena ibu mertuanya ini adalah ganti orang tuanya, Alya pun tak ingin memperpanjang masalah. Ia melangkah menuju ke arah belakang rumah, Soraya tersenyum menyeringai.
Alya sesekali menghela napas berat, ia mencari pekerjaan di luar sana. Lantaran tak mungkin bagi Alya harus tinggal di rumah mertuanya tanpa bekerja, meskipun Zain bergelimang harta. Bukan berati Alya akan mengandalkan Zain sepenuhnya, ditambah Zain sama sekali tidak menaruh rasa pada Alya.
Alya bukan perempuan bodoh, yang tak tahu apa maksud Zain menikahi dirinya. Kenapa Zain menjadikan dirinya sebagai seorang istri, Alya paham dengan sangat.