Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SECERCAH HARAPAN
Siang itu, Gina dan Donita, dua rekan kerja Annisa yang cukup dekat dengannya, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya langsung mengenai rumor yang semakin ramai di kantor.
Saat mereka bertiga sedang di pantry, Gina membuka percakapan dengan hati-hati. “Nis, akhir-akhir ini kayaknya kantor agak ramai sama rumor tentang kamu. Sebenarnya… kita juga penasaran, sih. Kamu tahu kan yang dimaksud?”
Annisa, yang memang sudah mulai merasakan perubahan sikap rekan-rekannya, menatap Gina dan Donita dengan heran. “Rumor?” tanyanya, walau sebenarnya ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.
Donita ikut menyambung, sedikit ragu, “Iya, Nis. Katanya kamu punya, ya… apa ya istilahnya, 'sponsor' buat semua barang branded yang kamu pakai. Itu benar?”
Mendengar hal itu, Annisa hanya terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum dan tertawa kecil. Ia tak menyangka rumor tersebut bisa menyebar begitu cepat dan luas.
“Ya ampun, jadi itu yang dibicarakan orang-orang selama ini?” jawab Annisa santai. “Gina, Donita, percayalah, itu cuma rumor tak berdasar. Barang-barang ini bukan dari 'sponsor' atau apapun yang kalian pikirkan.” Ia tersenyum, menunjukkan bahwa ia tidak merasa terganggu oleh gosip tersebut.
Gina dan Donita saling pandang, merasa lega namun juga sedikit malu karena mereka sempat termakan rumor tersebut. “Maaf, Nis. Kita bukan nggak percaya, tapi rumor ini benar-benar bikin kita bingung,” ujar Gina dengan nada bersalah.
Annisa menggelengkan kepalanya, tersenyum lembut. “Aku paham, nggak apa-apa kok. Namanya juga rumor. Kadang orang lebih suka melihat yang nggak benar daripada cari tahu yang sebenarnya. Aku cuma berharap hal ini nggak bikin hubungan kita jadi canggung.”
Donita mengangguk penuh penyesalan. “Iya, Nis. Maaf banget kalau kami sempat ragu. Terima kasih sudah jelasin.”
Percakapan itu membuat Gina dan Donita merasa lebih yakin pada Annisa, namun mereka juga mulai sadar ada pihak di kantor yang sengaja menyebarkan rumor ini. Annisa tetap tenang meski ia tahu bahwa seseorang mungkin dengan sengaja menyulitkannya. Dalam hati, ia bertekad untuk menghadapi ini dengan sabar dan tidak membiarkan rumor tersebut mempengaruhi pekerjaannya.
Setelah dari pantry, Annisa mampir sebentar ke toilet. Ia menatap wajahnya di cermin, memperhatikan setiap detail raut wajahnya, seolah sedang mencari kekuatan di balik senyum yang ia paksakan. Ia menarik sudut bibir, membentuk senyuman tipis untuk menenangkan diri.
“Rumor dan gosip seperti ini… hanya angin lalu,” bisiknya kepada dirinya sendiri.
Annisa menghela napas panjang, lalu membasuh tangannya dengan air dingin, berharap itu bisa menyegarkan pikirannya. Namun, saat hendak masuk ke salah satu bilik, ia mendengar langkah kaki yang memasuki toilet. Suara familiar terdengar, bercakap-cakap di dekat pintu masuk.
“Pikiranku benar, kan? Annisa itu cuma sok-sokan. Barang mewah begitu pasti ada yang beliin. Mana mungkin dia bisa beli sendiri,” ujar suara itu—tak salah lagi, itu suara Jenny. “Tapi lihat saja, aku akan buat dia sadar diri dan tahu di mana tempatnya.”
Annisa merasakan dadanya sedikit sesak, namun ia tetap tenang dan memilih untuk tetap di dalam bilik, mendengarkan. Jenny melanjutkan, “Aku nggak akan berhenti sampai dia keluar dari perusahaan ini. Orang seperti dia nggak pantas ada di sini.”
Setelah beberapa saat, Annisa mendengar Jenny dan temannya keluar dari toilet. Ia keluar dari bilik dengan wajah tetap tenang, meski perasaan di dalam hatinya bercampur aduk. Di cermin, ia kembali menatap dirinya, berusaha menyemangati diri.
“Tidak perlu terpengaruh. Tetap profesional dan lakukan yang terbaik,” gumamnya pelan, meyakinkan dirinya. Dengan langkah mantap, Annisa pun keluar dari toilet, siap kembali menghadapi hari itu dengan kepala tegak.
Setelah keluar dari toilet, Annisa kembali ke mejanya dan berusaha fokus pada pekerjaannya. Meski baru saja mendengar ucapan Jenny yang menyakitkan, Annisa mencoba menahan emosinya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa membiarkan rumor-rumor itu mempengaruhi kinerjanya hanya akan membuat keadaan semakin buruk.
Beberapa jam kemudian, tepat saat Annisa sedang menyelesaikan laporan, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Damian masuk, mengajaknya untuk makan malam bersama. Ia sempat ragu untuk menjawab karena teringat rumor yang beredar di kantor, tetapi ia menyadari bahwa kebersamaan mereka adalah bagian dari kehidupan pribadinya, dan itu tak seharusnya dipengaruhi oleh apa pun yang terjadi di kantor.
Damian: Kita makan malam bersama, ya? Aku ingin kita ngobrol lebih banyak.
Annisa tersenyum kecil, merasa sedikit tenang setelah membaca pesan itu. Akhirnya, ia membalas singkat.
Annisa: Baik, Mas. Di mana kita akan bertemu?
Tak lama, Damian membalas, mengajaknya ke sebuah restoran Jepang yang tenang dan cukup privat. Meskipun perasaannya masih bercampur aduk karena sikap Jenny dan gosip yang beredar, Annisa merasa sedikit lega karena ada Damian yang, tanpa ia sadari, memberinya kekuatan untuk tetap tenang.
Saat malam tiba, Annisa segera menuju restoran sesuai kesepakatan. Damian sudah menunggunya di salah satu meja. Begitu melihat Annisa masuk, Damian tersenyum dan melambaikan tangan. Annisa berjalan mendekat dan duduk, merasa nyaman berada di tempat itu bersamanya.
“Kamu kelihatan lelah,” kata Damian, memperhatikan wajah Annisa yang sedikit lesu.
Annisa tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaannya. “Iya, hanya pekerjaan saja, Mas. Tidak ada yang serius,” jawabnya, mencoba menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi.
Damian menatapnya sejenak, seolah membaca sesuatu yang tak terucapkan. “Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke aku. Kamu tahu itu, kan?” ujar Damian dengan nada lembut.
Annisa menunduk sejenak, terharu dengan perhatian Damian. Meski masih ragu untuk membicarakan masalahnya di kantor, ia merasa kehadiran Damian bisa menjadi penenang di tengah situasi sulit yang ia hadapi.
Annisa menatap Damian sejenak, mempertimbangkan apakah ia harus menceritakan masalah yang tengah ia hadapi di kantor. Namun, ia merasa masih belum siap untuk membahasnya, terutama di saat Damian sedang berusaha membangun hubungan mereka.
“Terima kasih, Mas. Aku tahu, dan itu sudah cukup buatku sekarang,” jawab Annisa dengan senyum tulus. “Aku hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri.”
Damian mengangguk, memaklumi jawaban Annisa. “Kalau begitu, aku akan menunggumu sampai kamu siap cerita. Tapi ingat, kamu nggak sendirian, Nis.”
Kata-kata Damian membuat Annisa merasa lega. Ia pun tersenyum lebih lebar kali ini, merasa sedikit lebih kuat dan bersemangat.
Makanan yang mereka pesan pun datang, dan Damian langsung menyodorkan piring sushi ke arah Annisa. “Aku ingat kamu suka sushi, jadi pesan yang banyak biar kamu puas,” katanya, memecah suasana.
Annisa tertawa kecil dan menerima piring itu. Mereka mulai menikmati makan malam dengan lebih santai, berbagi cerita ringan tentang hal-hal lain. Damian bahkan sempat menceritakan beberapa pengalaman lucunya selama mengelola perusahaan, yang membuat Annisa tak henti-hentinya tertawa.
“Rasanya baru kali ini aku lihat kamu bisa tertawa selepas ini,” ujar Damian, tampak senang melihat Annisa yang lebih ceria.
“Benarkah?” Annisa merasa sedikit malu. “Mungkin karena… biasanya kita lebih sering membicarakan hal-hal serius.”
Damian tersenyum hangat. “Itu karena aku ingin kita saling mengenal lebih baik. Aku tahu, selama ini aku sering bikin kamu merasa tertekan. Tapi aku ingin mencoba memperbaikinya.”
Annisa terdiam, hatinya tersentuh mendengar kata-kata Damian. Meski ia tahu perjalanan ini masih panjang, perasaan bahwa Damian benar-benar berusaha memberikan perubahan membuatnya merasa dihargai.
Setelah makan malam, mereka pun pulang. Di dalam mobil, suasana menjadi hening sejenak. Damian tiba-tiba bertanya, “Nis, kalau kamu bisa memilih, kamu mau kita gimana?”
Pertanyaan itu mengejutkan Annisa, dan ia berpikir sejenak sebelum menjawab. “Aku ingin kita… lebih saling memahami. Mungkin dengan itu, kita bisa menemukan kenyamanan masing-masing.”
Damian mengangguk, lalu memandang Annisa sejenak. “Aku akan berusaha, Nis.”
Mereka berdua tersenyum, dan dalam perjalanan pulang itu, Annisa merasakan sesuatu yang baru tumbuh di antara mereka. Hubungan mereka mungkin tak sempurna, tapi kini ada secercah harapan yang membuat Annisa yakin bahwa perlahan-lahan, mereka bisa membangun ikatan yang lebih baik.