Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31. Senandung Terakhir
Dalam suasana pesta kecil itu, keceriaan memenuhi ruangan. Tawa dan obrolan riang bergema, memperlihatkan kebahagiaan dari keberhasilan Ruri dan Antonio dalam meraih posisi tertinggi di kompetisi Pemuda Tangguh. Akasha, Saveina, dan Antonio mengelilingi Ruri dengan sorakan penuh semangat, memberikan selamat yang tulus.
Namun, di tengah sorakan itu, Akasha memperhatikan sesuatu yang ganjil. Meski bibir Ruri tersenyum, ada bayangan yang mengintip di balik matanya, seolah rasa bahagia itu tidak sepenuhnya nyata. Akasha mendekat, lalu bertanya lembut, “Ruri, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat... tidak sepenuhnya bahagia.”
Ruri terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Bukan begitu, Akasha... aku senang bisa menang, tapi dengan ini, aku harus segera berangkat ke Amerika Serikat. Aku akan belajar di sana selama delapan tahun sebagai bagian dari pembinaan Pemuda Tangguh, sebelum aku pulang untuk menjalankan tugas utamaku: membantu membuat Indonesia lebih baik.”
Akasha terhenyak mendengar penjelasan Ruri. Dengan cepat ia berpikir, lalu tiba-tiba berkata, “Ah…” Nada suaranya seolah menyiratkan bahwa ia memahami sesuatu. “Jadi… apa kamu sebenarnya tidak ingin pergi karena takut berpisah dari… pacarmu, Carlos?”
Muka Ruri seketika memerah. “Kami sama sekali belum pacaran!” ujarnya cepat, meski tak bisa menyembunyikan kilatan perasaan dalam matanya. “Tapi, ya… dia memang orang yang ada di pikiranku. Aku… tidak ingin meninggalkannya.”
Akasha mengangguk perlahan, merasakan kesedihan yang samar dari sahabatnya, tapi ia tidak tahu harus berkata apa untuk membantu. Di saat itu, Saveina yang sejak tadi mendengarkan, menyela dengan nada santai, “Kalau begitu, kenapa tidak membawanya saja ke Amerika? Sebagai manajermu?”
Ruri memandang Saveina dengan tatapan bingung. “Manajer?”
Saveina mengangkat alisnya, menunjukkan ekspresi sedikit sinis. “Apa kalian tidak membaca juknis lomba dengan benar? Pemenang Pemuda Tangguh yang dikirim ke luar negeri berhak membawa satu orang sebagai manajer untuk membantu mengurus semua kebutuhannya. Jadi di sana, kamu bisa fokus belajar.”
Ruri dan Akasha saling berpandangan, tampak sama-sama terkejut. Dalam benak mereka, mereka bergumam, Siapa juga yang mau membaca detail juknis yang isinya tulisan padat hampir 300 halaman?
Namun, di balik semua kebingungan itu, wajah Ruri perlahan berubah cerah. Sebuah senyum kecil terukir di wajahnya, memberikan secercah harapan. Mungkin... masih ada jalan bagiku untuk tetap bersama Carlos, bahkan ketika aku harus pergi ke Amerika Serikat.
___
Dengan langkah cepat dan penuh semangat, Ruri segera meninggalkan pesta kecil itu dan bergegas pulang. Hatinya berbunga-bunga membayangkan saat ia memberitahu Carlos tentang kabar bahagia itu: bahwa Carlos bisa ikut bersamanya ke Amerika Serikat sebagai manajernya. Pikiran Ruri sepenuhnya dipenuhi oleh harapan dan keinginannya sendiri. Tak terpikir olehnya mungkin saja Carlos tidak bisa ikut. Ia terlalu yakin—seperti biasanya—Carlos akan tersenyum, mengangguk, dan dengan tenang mengiyakan permintaannya.
Sesampainya di rumah, Ruri disambut oleh aroma harum yang sangat familiar, kehangatan yang segera menyergapnya. Bau masakan Carlos tercium kuat dari dapur. Meski perutnya masih terasa penuh setelah pesta tadi, begitu mencium aroma itu, perutnya mendadak berontak, menuntut perhatian. Di meja makan, Carlos telah menyiapkan hidangan hangat dengan dua piring berisi makanan kesukaannya: sup krim jagung yang kental dan potongan ayam panggang yang terlihat begitu menggoda.
Carlos tersenyum lembut saat melihat Ruri. “Selamat datang, sudah selesai pestanya?”
Ruri hanya mengangguk dengan senyum lebar, tidak sabar untuk menyampaikan kabar gembira itu. Namun, ketika ia hendak membuka mulut, Carlos dengan sigap menarik kursi dan mempersilakan Ruri duduk, lalu dengan gerakan lembut menyibakkan anak rambut yang terjatuh di dahinya. Sentuhan ringan itu membuat Ruri sejenak kehilangan kata-kata.
“Coba cicipi dulu,” ujar Carlos sambil menatapnya dengan sorot mata lembut, seakan-akan tak ada yang lebih penting di dunia ini selain memastikan Ruri menikmati masakannya.
Ruri mengangguk kecil, mengambil sendok sup krim dan menyesapnya perlahan. Rasa hangat yang creamy mengalir lembut di lidahnya. “Carlos, ini enak sekali…” ucapnya pelan. Begitu ingin ia membicarakan soal manajer dan rencana ke Amerika, tapi Carlos dengan cepat menyuapkan potongan ayam panggang ke arah Ruri, membuatnya tergagap.
“Ayo, coba ini juga,” Carlos menggeser potongan ayam panggang dengan garpu tepat ke bibir Ruri. Aroma bumbu panggang yang kaya segera memenuhi inderanya. Tanpa sadar, Ruri membuka mulut, membiarkan Carlos menyuapinya. Saat rasa bumbu ayam yang lezat itu meleleh di mulutnya, Ruri merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Keintiman kecil ini membuat wajahnya memanas.
Carlos tersenyum. “Bagaimana?”
“Sungguh... enak sekali,” jawabnya dengan pipi memerah, teringat niatnya untuk berbicara, namun semua kata-kata yang ingin ia ucapkan hilang begitu saja. Tapi, ketika ia hendak membuka mulut lagi untuk membicarakan rencana itu, Carlos mengulurkan tangannya, mengusap jemarinya di punggung tangan Ruri dengan penuh kelembutan.
“Kelihatannya kamu lelah,” kata Carlos sambil menatapnya dalam-dalam. “Jangan terlalu memikirkan banyak hal malam ini. Nikmati saja makananmu.”
Hati Ruri kembali melunak. Dengan wajah yang semakin memerah, ia meraih segelas minuman di meja, mencoba mengumpulkan nyali untuk kembali berbicara. Namun Carlos hanya mengangkat gelasnya, menatapnya dalam-dalam sambil bersulang pelan, dengan sorot mata penuh makna yang membuat Ruri terdiam. “Untuk malam yang indah,” ucapnya singkat, seolah menekankan suasana intim di antara mereka.
Ruri hanya tersenyum kecil, kembali menikmati makanannya sambil sesekali mengintip Carlos dari sudut matanya. Ia menyadari betapa Carlos terus memperlakukannya dengan cara yang lembut, perhatian, dan penuh kasih sayang. Setiap kali Ruri hendak membuka mulut, Carlos selalu menemukan cara untuk mengalihkan perhatiannya dengan sentuhan lembut, senyum menawan, atau tatapan penuh makna yang membuat Ruri tak mampu berpikir jernih.
Akhirnya, ketika makanan hampir habis dan suasana semakin hangat, Carlos meraih tangan Ruri. Ia menatap Ruri begitu dalam hingga Ruri merasa semua dunianya terhenti. Dengan suara yang rendah dan hangat, ia berkata, “Aku senang kamu pulang dengan senyum di wajahmu. Terima kasih untuk harimu hari ini, Ruri.”
Ruri hanya bisa menatapnya, tanpa sadar membalas genggaman itu dengan erat. Malam itu, Ruri tak pernah berhasil menyampaikan rencananya tentang Carlos sebagai manajernya. Semua yang ingin ia katakan terlupakan dalam momen-momen kecil penuh cinta yang mereka bagi bersama di meja makan itu.
___
Malam semakin larut, dan akhirnya Ruri terlelap dalam kehangatan selimut yang Carlos tinggalkan untuknya. Sementara Ruri terbenam dalam mimpinya, Carlos bangkit perlahan dari tempatnya di lantai, di bawah tempat tidur Ruri. Selama ini, ia memang tidur di sana, seperti kucing yang setia, tak pernah ingin jauh dari majikannya.
Carlos melangkah pelan menuju atap rumah, mencari tempat sepi untuk meredam kesakitannya. Begitu sampai, tubuhnya langsung menegang. Rasa sakit yang menyerang tiba-tiba terasa seperti mengoyak jantungnya dengan kasar. Ia menahan napas, mencengkeram dada dengan kuat. Diam-diam ia merintih, bibirnya bergetar tanpa suara. Setiap denyut jantungnya bagai sebuah jarum yang menusuk, meninggalkan luka-luka dalam yang tak terlihat namun menyiksa.
Di tengah kegelapan, matanya melirik pada koin emas di jantungnya. Retakan kecil yang dulu hanya berupa garis halus, kini telah meluas, menciptakan guratan yang lebih dalam dan pecah-pecah di permukaannya. Perlahan, koin itu tampak rapuh, seperti dapat hancur hanya dengan satu sentuhan. Koin itu adalah satu-satunya yang menopang nyawanya—satu nyawa terakhir yang tersisa untuknya.
Carlos merasakan tubuhnya bergetar, seperti tertusuk ribuan pedang tajam yang tak henti-hentinya menyayat. Rasa perih mengalir di setiap pembuluh darah, membuatnya merasa seluruh tubuhnya sudah di ambang kehancuran. Namun di balik kesakitan yang terus menghantam, Carlos menggenggam koin itu lebih erat, matanya yang redup tetap penuh tekad.
Ia bertahan demi Ruri. Demi senyuman yang ia lihat di wajah Ruri setiap harinya, demi setiap tawa yang pernah mereka bagi. Dalam hati, Carlos bertekad, jika ia harus menahan rasa sakit ini hingga batas akhirnya, ia akan melakukannya. Setidaknya, ia ingin bertahan sampai saat-saat terakhir Ruri di sini. Ia ingin memastikan, saat Ruri berangkat ke Amerika Serikat, ia pergi dengan senyuman, membawa kenangan yang indah.
Carlos tahu, sebagai doppelganger seperti Arham, jika nyawanya lenyap, keberadaannya juga akan terlupakan—Ruri pun akan melupakannya. Tanpa jejak, tanpa memori. Namun, selama ia masih bernapas, meskipun hanya seutas tipis yang tersisa, Carlos ingin bertahan. Ia ingin meninggalkan kenangan manis untuk Ruri, meski ia sendiri takkan menjadi bagian dari ingatan itu.
Carlos memejamkan mata, menahan desakan air mata yang tak ia biarkan jatuh. Malam itu, dalam sunyi dan kesakitan yang tak terucap, ia bertahan, menggenggam harapan kecil untuk dapat menyaksikan Ruri pergi dengan penuh kebahagiaan.