Rayan dan rai, sepasang suami-istri, pasangan muda yang sebenarnya tengah di karuniai anak. namun kebahagiaan mereka di rampas paksa oleh seorang wanita yang sialnya ibu kandung rai, Rai terpisah jauh dari suami dan anaknya. ibunya mengatakan kepadanya bahwa suami dan anaknya telah meninggal dunia. Rai histeris, dia kehilangan dua orang yang sangat dia cintai. perjuangan rai untuk bangkit sulit, hingga dia bisa menjadi penyanyi terkenal karena paksaan ibunya dengan alasan agar suami dan anaknya di alam sana bangga kepadanya. hingga di suatu hari, tuhan memberikannya sebuah hadiah, hadiah yang tak pernah dia duga dalam hidupnya dan hadiah itu akan selalu dia jaga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happypy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
empat
Setibanya di unit apartemen, Rai disambut oleh senyuman hangat dari ibunya yang telah menunggunya. Rai tersenyum kecil, rasa lelahnya sedikit sirna saat melihat ibunya. Dia segera mendekat, dan mereka berpelukan erat, merasakan kenyamanan dalam kehangatan satu sama lain.
"Mama kapan datang?" tanya rai dengan suara lembut, setelah mereka duduk di sofa. Ibunya membelai lembut rambut rai, senyuman tak pernah lepas dari wajahnya.
"Baru saja " jawab ibunya, suaranya tenang, penuh kasih sayang. Sementara itu, Dina yang telah mengantar rai kembali ke apartemen, pamit untuk pulang, melanjutkan pekerjaannya yang lain. Kini, hanya ada rai dan ibunya yang duduk bersama dalam hening sejenak, menikmati kebersamaan itu.
Ibunya menatap rai dengan penuh kebanggaan, matanya berbinar melihat anaknya yang kini dikenal oleh banyak orang. "Mama bangga padamu rai. Namamu ada di mana-mana sekarang, semuanya mengenal dirimu " katanya dengan penuh rasa bangga, suaranya mengandung kebahagiaan yang tak terbendung.
Rai tersenyum menanggapi pujian itu, namun di dalam hatinya, ada rasa yang tak tersampaikan. Ketenaran dan kesuksesan yang ia raih sekarang seakan tidak berarti apa-apa. Jauh di dalam hatinya, dia hanya ingin satu hal kembali bersama anak dan suaminya. Setiap sorot kebanggaan di mata ibunya hanya memperdalam luka hatinya, membuatnya sadar bahwa keinginannya tak pernah benar-benar dimengerti.
Dia menatap ibunya, ingin mengungkapkan perasaannya, namun bibirnya terkunci. Sepertinya, keinginan sederhana itu terlalu sulit untuk dipahami oleh ibunya, yang hanya melihat kesuksesan lahiriah tanpa menyadari kekosongan yang mendalam di hati rai.
"Maa..." tiba-tiba suara rai terdengar lembut namun penuh beban, tangannya meraih tangan ibunya, menggenggam erat. Ibunya sedikit terkejut, menoleh dengan tatapan khawatir.
"Iya rai, kamu kenapa?" tanya ibunya lembut, berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik wajahnya.
Dengan suara yang bergetar, Rai akhirnya membuka perasaannya. "Rai rindu suami dan anak rai maa..." ucapnya lirih, sementara air mata mulai menetes perlahan di pipinya. Tangis yang selama ini ia tahan akhirnya pecah, di hadapan ibunya yang selalu ia hormati. Rai menggigil, merasakan kehampaan dan kerinduan yang tak pernah bisa ia pendam lagi.
Ibunya berpura-pura ikut sedih, menarik napas dalam seolah mengerti kesedihan anaknya. "Oh rai..." katanya pelan, mengelus tangan anaknya dengan gerakan lembut. Namun, di dalam hatinya, ibunya merasa kesal, tidak bisa menerima kenyataan bahwa rai masih saja mengingat suami dan anaknya yang telah lama pergi. Baginya, sudah waktunya rai melupakan masa lalu dan fokus pada kesuksesan yang kini ada di depan mata.
Namun, Rai tak bisa mengabaikan rasa rindu yang terus menggerogoti hatinya. Baginya, kehilangan mereka adalah luka yang tak akan pernah sembuh, tidak peduli berapa banyak pujian atau popularitas yang ia dapatkan.
Rai menangis semakin keras, rasa rindu yang menyesakkan dadanya tak lagi bisa ia tahan. Dengan lemas, ia turun dari sofa, terpuruk di lantai, memegang dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri, seakan beratnya rindu itu menghantam fisiknya. Tubuhnya gemetar, dan di tengah tangisannya, ia merasakan sesuatu yang semakin membuatnya hancur, air susunya kembali bocor. Itu adalah pengingat paling menyakitkan bahwa tubuhnya masih berharap memberi makan anaknya yang sudah tiada.
"Mama... dimana bayiku? Kenapa dia meninggalkanku? Apa aku tak pantas menjadi ibunya?" tangis rai pecah dengan kepedihan yang dalam, suaranya bergetar di antara isakan.
Namun, ibunya hanya duduk di sofa, menatap tanpa kata. Ekspresinya datar, seolah tak ingin meresapi rasa sakit yang dirasakan anaknya. Bagi ibunya, tangisan ini adalah bagian dari kelemahan yang harus segera diatasi, bukan sesuatu yang perlu dipelihara. Tetapi bagi rai, itu adalah rasa kehilangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan atau lepaskan.
Sambil menatap rai yang masih terisak di lantai, ibunya bergeming. Dalam hatinya, pikiran yang tak pernah terucap berputar dengan dingin, "Anakmu masih hidup rai. Suami dan anakmu masih ada di dunia ini. Tapi maaf, mama tidak akan mengizinkan mereka kembali ke hidupmu. Mereka hanya benalu, menghalangi mu mencapai puncak. Rayan tak pantas untukmu, kamu seorang bintang sekarang, dan dia hanyalah orang biasa. Mama tak akan membiarkan reputasi mu hancur karena mereka. Semoga kamu segera melupakan mereka."
Sementara itu, Rai perlahan bangkit dari lantai, langkahnya gontai menuju kamar. Rasa sakit yang merajam di dadanya belum juga mereda. Setibanya di kamar, ia menyiapkan alat untuk menampung air susunya, yang selalu mengalir setiap kali kenangan tentang anaknya menghampiri. Rai sudah memutuskan, susu itu tak akan terbuang sia-sia. Ia akan menyedekahkannya ke panti asuhan, untuk anak-anak yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian, seperti anaknya yang tak pernah sempat ia peluk lebih lama. Itu satu-satunya cara bagi rai untuk menyalurkan cinta yang tak bisa ia berikan pada darah dagingnya sendiri.
Ibunya melangkah pelan memasuki kamar, melihat rai duduk diam dengan tatapan kosong menghadap balkon. Wanita itu mendekat, senyumnya tersungging tipis, namun hatinya tetap tertutup rapat.
"Rai, mama pamit pulang ya. Mama bawakan makanan untuk kamu. Kamu istirahat, jangan banyak menangis sayang " ucapnya sambil menepuk bahu rai dengan lembut, meskipun dalam hatinya, tak ada simpati yang tulus.
Rai hanya mengangguk pelan, tak berkata apa-apa. Setelah ibunya pergi, suara pintu tertutup bergema, menyisakan keheningan yang menusuk. Rai termenung, matanya tertuju pada balkon di depannya, namun pikirannya melayang jauh. Dengan satu tangan, ia memegang alat penampung susunya, membiarkan tetesan air susu yang tak terhenti mengalir, seolah menyimbolkan rasa kehilangan yang terus membanjiri hatinya. Di antara keheningan itu, hanya ada satu yang pasti, kerinduannya yang tak terjawab, kerinduan yang menyakitkan, pada anak dan suami yang ia yakini telah pergi untuk selamanya.
🦋🦋
Malam yang tenang menyelimuti rumah rayan setelah rahma, tio, dan anak mereka berpamitan pulang. Zeline, gadis kecil yang ceria, memeluk erat rahma dan tio sebelum melambaikan tangan kecilnya, melihat mereka masuk ke dalam mobil dan menghilang di jalanan gelap. Begitu tamu-tamu mereka pergi, keheningan kembali mengisi ruang-ruang rumah, meninggalkan zeline dengan raut wajah yang murung.
Pelan-pelan, Zeline menunduk dan berjalan masuk ke dalam rumah, merasa kehilangan teman bermain. Rayan, yang memperhatikan putrinya, menutup pintu lalu menghampiri gadis kecilnya.
"Adek kenapa bersedih?" tanyanya lembut, mencoba memahami perasaan putrinya. Zeline menoleh dengan mata sendu "Tidak ada teman adek main lagi " jawabnya polos.
Rayan tersenyum lembut, lalu mengangkat zeline ke dalam pelukannya, mencium pipi mungilnya dengan penuh kasih. "Yuk, bobok dulu, besok kita ketemu kakak-kakak lagi. Adek mau kan?" katanya sambil membawanya ke kamar. Mendengar kata-kata ayahnya, wajah zeline berubah cerah, dan tanpa ragu dia mengangguk dengan riang, menghapus rasa sedih yang sempat menyelimutinya. Rayan menidurkannya dengan lembut, berharap esok hari akan membawa kebahagiaan baru bagi putri kecilnya.
Sementara di malam yang sunyi, Rai melangkah keluar dari unit apartemennya, mencoba mencari udara segar di taman dekat tempat tinggalnya. Dengan hati-hati, ia memastikan untuk mengenakan hoodie, masker, dan kacamata hitam agar tidak ada yang mengenalinya. Meskipun berada di antara keramaian, hatinya terasa begitu sepi.
Rai duduk sendirian di bangku taman, pandangannya terarah ke langit malam yang dipenuhi bintang dan dihiasi bulan purnama. Udara malam menyelimuti tubuhnya, namun yang terasa hanyalah dinginnya kesepian. Perlahan, air mata mulai mengalir tanpa henti dari sudut matanya.
"Sayang, aku rindu " bisiknya pelan, suaranya bergetar oleh emosional yang tertahan. "Aku juga rindu anak kita," tambahnya, rasa hampa begitu nyata di dadanya. Di tengah suara tawa dan percakapan orang-orang di sekitar, Rai tetap merasa terasing, seperti berada di dunia yang berbeda, dunia di mana kenangan akan suami dan anaknya yang belum sempat ia lihat dan peluk terus menghantuinya, membuat malam semakin sunyi meski dikelilingi oleh kehidupan.
Rai terhenyak ketika mendengar suara "Bunda," panggil si si anak kecil dengan riang. Ia langsung menoleh, mencari-cari asal suara tersebut, berharap seolah itu adalah panggilan untuknya. Jantung rai berdetak lebih cepat, dan tanpa disadari, air mata mulai jatuh dari matanya.
Namun, ketika pandangannya tertuju pada anak perempuan yang sedang berlari, hatinya kembali terasa perih. Anak itu tidak berlari ke arahnya, melainkan ke seorang wanita di kejauhan, yang mungkin adalah ibunya. Tawa ceria mereka terdengar, memecah kesunyian malam di sekelilingnya.
Rai menunduk, menghapus air matanya, namun rasa sakit di dalam dadanya semakin kuat. Tanpa berpikir panjang, dia bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan taman dengan langkah yang semakin berat. Setiap langkah terasa seperti membawa beban kenangan yang terus mengikutinya. Tawa ibu dan anak itu masih terdengar di belakangnya, semakin menjauh, namun begitu jelas di telinganya, membuat perasaannya hancur semakin dalam.
Dia berjalan sambil menangis, air mata tak terbendung lagi, seolah-olah seluruh kesedihan yang selama ini dipendam keluar bersamaan.
"Kenapa aku tidak bisa seperti mereka?" pikirnya dalam hati. Kesenangan sederhana yang seharusnya ia rasakan bersama anaknya kini hanya tinggal angan, tertinggal di belakangnya seperti bayangan yang sulit dihilangkan.