Rumah tangga Nada Almahira bersama sang suami Pandu Baskara yang harmonis berubah menjadi panas ketika ibu mertua Nada datang.
Semua yang dilakukan Nada selalu salah di mata sang mertua. Pandu selalu tutup mata, dia tidak pernah membela istrinya.
Setelah kelahiran putrinya, rumah tangga mereka semakin memanas. Hingga Nada ingin menyerah.
Akankah rumah tangga mereka langgeng? Atau justru akan berakhir di pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Tentu saja dia adik kandungku, kamu kenapa tanya hal seperti ini?" tanya Pandu bingung mendengar pertanyaan sang istri.
Nada tidak percaya Ayu itu hanya sekedar adik kandungnya. Perlakuan dia seperti mereka sedang pacaran.
"Kenapa kamu tanya hal seperti ini?" Pandu semakin heran dengan ekspresi wajah istrinya. Dia memberikan tatapan tidak percaya kepadanya.
"Tidak apa-apa," katanya dengan berusaha memejamkan mata setelah merasa puas melihat gestur wajah suaminya.
Menjadi istri Pandu sangat melelahkan, otaknya terus diajak berpikir negatif. Mentalnya terus digempur oleh cibiran, cemoohan mertuanya.
Untung saja bayinya sangat sehat, tidak terganggu karena Nada sering merasa stres.
"Jangan bilang kamu cemburu dengan Ayu?" tebak Pandu.
Siapa yang tidak akan cemburu? Ibu mertuanya saja bahkan merekomendasikan nama putrinya dengan nama adik iparnya.
"Sayang, dia itu adik kandungku yang lahir dari perut ibuku. Wajarkan kalau aku sangat dekat, seperti kamu sama Mbak Nora." Pandu mencoba menyamakan hubungan dia dengan Ayu sama dengan Nada dan Nora.
"Aku sama Mbak Nora itu kan sama-sama perempuan," jawab Nada dengan kesal.
Perbandingannya sangat jauh, Nada sering risih melihat Ayu dan Pandu berpelukan, ciuman dan gendong-gendongan.
Menurutnya, Ayu bukan anak kecil lagi. Rasanya tidak pantas melakukan seperti itu. Apa lagi di depan dirinya.
"Kamu ini, semakin hari semakin aneh saja. Cemburu sama adikku sendiri," gerutu Pandu, istrinya mulai tidak masuk akal, cemburu kepada orang yang tidak sepantasnya.
"Kalau aku tahu cemburu, kamu harusnya jaga jarak dengan adikmu," desis Nada, dia itu mau dibujuk bukan malah diajak berdebat.
"Kamu yang benar saja, mana mungkin aku jaga jarak. Ngaco kamu lama-lama." Pandu keluar meninggalkan Nada yang cemburu tidak jelas kepadanya.
Nada mengambil napas dalam-dalam, memejamkan matanya sejenak lalu turun menuju box putrinya.
"Shanum, apa mama salah cemburu sama tantemu?" ucapnya sembari mengelus pipi mungil Shanum.
Semenjak perdebatan itu Nada sama sekali tidak pernah berkomentar tentang kelakuan Suami dan adik perempuanya.
Nada berubah menjadi pendiam, dia melakukan apa melayani sebagaimana mestinya seorang istri.
Nada memutuskan untuk bekerja dari rumah, dia meminta sahabatnya menghandel pekerjaanya selama Shanum masih kecil.
Nada melirik menghentikan langkah kakinya sebentar saat melihat kemesraan Pandu dan Ayu. Ia menggelengkan kepala lalu melanjutkan jalannya.
Dia tak menyapa dua orang itu, meskipun melewatinya. Sikap Nada yang cuek itu dirasakan oleh Ayu.
"Mbak Nada kalau mau sarapan dulu, biar bibi gantiin jemur adiknya," kata Minah sembari duduk di samping Nada.
"Nanti saja Bik, belum lapar aku," kata Nada berbohong. Dia hanya tidak mau makan semeja dengan suami dan adik iparnya.
"Mbak Nada, akhir-akhir ini pasti kurang tidur. Kalau malam gantian jaga sama bibi aja Mbak." Minah menawarkan diri bergantian berjaga.
Selama ini Pandu bergantian menjaga Shanum bisa dihitung jari. Itu pun beberapa hari baru pulang dari rumah sakit.
Setelah itu, dia tak pernah bangun saat Shanum menangis keras.
"Makasih Bik, tapi kan bibi juga sudah capek mengurus rumah," kata Nada, dia takut kalau pembantunya itu kecapean.
"Mbak Nada, kalau memang belum lapar kalau mau tidur lagi boleh. Kerjaan bibi sudah selesai," suruh Minah, ia kasihan majikannya kurang tidur semenjak memiliki Shanum.
"Boleh deh Bik, Nada juga ngantuk banget. Sejak pukul 3 belum tidur sampai sekarang," curhatnya.
Pandu beranjak dari kursinya dia kembali mengabaikan dirinya dan Ayu. Dia tidak menjawab sapaan dari Ayu.
"Nada," panggil Pandu.
Nada sudah tidak menjawab karena rasa ngantuk yang teramat sangat membuat dia nempel kasur langsung tidur.
"Nada, sayang," panggil Pandu dengan suara lembut.
Nada hanya menggeliat sebentar lalu kembali tenang. Rasa kantuknya yang tak tertolong membuat dia tidak mendengar suara Pandu.
Pandu melihat wajah sang istri yang lelah, tidak tega untuk membangunkannya yang hanya akan membahas masalah tegur sapa.
"Nada! Kamu di mana?" teriak Wina di depan pintu kamarnya.
Pandu berlari ke luar meminta agar ibunya tidak berisik dan mengganggu istrinya yabg sedang istirahat.
"Ibu, ada apa sih pagi-pagi teriak-teriak?" tanya Pandu sembari menarik gagang pintu pelan.
"Di mana istrimu yang manja itu!" ketus Wina dengan emosi yang menggebu-gebu.
"Nada sedang istirahat, Buk, ada apa?" tanya Pandu sembari menarik ibunya menjauh dari kamarnya.
"Pagi-pagi istirahat, istri macam apa dia itu?" cibirnya sembari menggelengkan kepala. "Punya anak tidak diurusi malah tinggal tidur." Wina masih tidak berhenti mengomel saat tahu cucunya bersama Minah.
"Mbak Nada itu kelelahan, Buk, kasihan semalaman tidak tidur," bela Minah dengan menimang Shanum.
Minah selama ini hanya diam melihat majikannya terus di omeli oleh ibu mertuanya. Namun, kali ini dia benar-benar tidak tega.
Tubuh Nada semakin kurus, Minah menganggap dia terlalu banyak pikiran.
"Siapa suruh kamu ikut bicara, pergi sana!" usir Wina dia tidak senang Minah ikut campur urusan keluarganya.
Wina memang tidak mau melihat fakta, dia terus menyalahkan Nada.
"Ibu pikir, Nada itu bagus dijadikan istri nyatanya dia jahat," katanya sembari duduk di sofa ruang tamu.
"Ibu jangan sembarangan deh, Nada itu wanita baik-baik. Dari keluarga baik-baik juga." Pandu tidak terima ibunya menuduh sang istri.
"Pandu, kamu jangan dibutakan. Kalau dia baik, tidak mungkin memperlakukan adikmu itu secara kasar," ujar Wina dengan wajah muram.
"Memperlakukan apa sih Buk?" Pandu tidak mengerti selama ini Nada tidak pernah membentak atau pun memukul adik perempuanya.
"Yang Mas bilang benar, tapi pandangan Mbak Nada itu selalu tajam. Dia tidak suka aku ada di sini Mas," ujar Ayu.
Dia mengatakan jika sering dicuekin, bahkan kalau diajak bicara selalu saja menghindar.
"Mas, juga melihat kan tadi Mbak Nada seperti apa?" ujar Ayu dengan meruncingkan bibirnya.
"Kau masih mau membela istrimu?" ucap ibunya dengan suara lantang.
Pandu menghela napas panjang, dia paham selama ini Nada tidak memperdulikan Ayu. Dan dia tahu penyebabnya jadi dia membiarkan saja. Karena, hampir setiap hari dia berdebat masalah itu.
"Kamu itu harusnya bisa mengatur dia, agar dia nurut perkataan kamu. Bukan biarkan dia jadi pembangkang," omel Wina tidak berhenti-henti.
"Mas, aku mau pindah saja dari sini. Kos lebih enak," pinta Ayu, dia yang awalnya masa bodoh lama-lama muak juga didiamkan oleh Nada.
"Kenapa harus kos, Pandu belikan rumah untuk adikmu," kata Wina enteng seperti minta dibelikan permen.
"Iya,iya, nanti Pandu beli rumah buat ibu sama Ayu tinggal di kota ini," pandu menyanggupi permintaan ibunya.
Wina tersenyum lebar, anaknya sangat pengertian kepada keluarganya. "Ini baru anakku, lebih baik kamu ceraikan saja istrimu yang pemalas itu,"