Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Undangan Eksklusif
Adara menatap undangan berwarna keemasan di tangannya. Huruf-huruf yang terukir dengan tinta emas itu menonjolkan nama pengirimnya: Arga Pratama. Undangan eksklusif itu mengundangnya untuk menghadiri pesta perusahaan yang diadakan di sebuah hotel mewah di pusat kota. Adara masih tidak percaya bahwa dirinya diundang ke acara penting seperti ini, apalagi sebagai tamu kehormatan pribadi dari sang CEO.
Selama bekerja sebagai sekretaris Arga, Adara jarang terlibat dalam acara-acara eksklusif yang biasanya dihadiri oleh para petinggi dan kolega bisnis dari kalangan atas. Namun kali ini berbeda. Tertulis jelas pada undangan bahwa Arga ingin Adara hadir sebagai pendampingnya malam itu. Sebuah kejutan yang sama sekali tak pernah ia bayangkan. Bagi Adara, acara ini bukan sekadar pesta; ini adalah kesempatan langka untuk berada di sisi pria yang diam-diam sudah mengisi hatinya.
Malamnya, Adara berdiri di depan cermin. Gaun hitam yang membalut tubuhnya berpotongan elegan dan simpel, tetapi memberi kesan anggun. Rambutnya digelung sederhana, menampakkan lehernya yang jenjang. Meskipun merasa gugup, Adara berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanyalah acara biasa, hanya formalitas. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tidak bisa menampik bahwa ia ingin terlihat sempurna malam ini, setidaknya di mata Arga.
Ketika ia tiba di lobi hotel, suasana gemerlap pesta menyambutnya. Lantai dansa yang mewah, lampu-lampu kristal yang menggantung, dan alunan musik klasik menciptakan atmosfer yang megah. Tamu-tamu yang hadir mengenakan pakaian terbaik mereka, membuat Adara merasa sedikit canggung. Namun, seiring langkah kakinya mendekat ke aula utama, matanya menangkap sosok Arga yang berdiri di samping meja prasmanan, berbicara dengan rekan-rekan bisnisnya.
Dengan penampilan formal dalam setelan jas hitam yang elegan, Arga tampak begitu menawan. Tatapannya yang tajam dan postur tubuhnya yang tegap membuatnya mencuri perhatian banyak orang di ruangan itu. Ketika Arga melihat Adara berjalan mendekat, sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya. Ia meninggalkan sejenak percakapan dengan tamu lain dan berjalan menghampiri Adara.
"Selamat datang, Adara," ucap Arga dengan suara rendah, sembari mengulurkan tangannya.
Adara menerima uluran tangan itu, merasa seolah dirinya terseret ke dalam arus magnetis yang tidak dapat ia tolak. Sentuhan tangan Arga terasa hangat, berbeda dengan sikapnya yang biasa dingin.
“Terima kasih sudah mengundang saya, Pak,” jawab Adara sopan, berusaha menjaga sikap profesionalnya meskipun hatinya berdebar kencang.
"Jangan terlalu formal malam ini. Anggap saja ini pertemuan santai antara teman," jawab Arga, dengan sedikit senyum di sudut bibirnya. Kalimat itu membuat Adara sedikit terkejut, namun juga membuatnya merasa nyaman.
Arga kemudian mengajak Adara berkeliling, memperkenalkannya kepada beberapa tokoh penting di perusahaan dan rekan bisnisnya. Malam itu, Adara merasa dirinya bukan hanya seorang sekretaris, tetapi seorang wanita yang dihargai dan diperhatikan. Setiap kali ia menunduk karena gugup atau kehabisan kata, Arga selalu membantunya dengan sikap yang tenang dan kata-kata yang membuat suasana tetap nyaman.
Di tengah perkenalan, seorang wanita muda dengan gaun mewah menghampiri mereka. Adara mengenalinya sebagai salah satu investor besar perusahaan yang dikenal dekat dengan Arga. Wanita itu tersenyum manis pada Arga dan kemudian menatap Adara dengan tatapan menilai.
“Oh, jadi ini sekretaris yang sering diceritakan, ya?” kata wanita itu sambil tersenyum kecil, seolah menyiratkan sesuatu di balik kata-katanya.
Adara merasa sedikit canggung mendengar ucapan itu, namun Arga segera menanggapi dengan nada tegas, "Ya, dia adalah sekretarisku yang luar biasa. Saya tidak akan sampai di posisi sekarang tanpa bantuan Adara."
Pujian itu membuat Adara tersenyum, meskipun hatinya sedikit tertusuk oleh cara wanita itu memperhatikannya. Namun, Arga tidak tampak terganggu. Ia bahkan lebih sering berbicara dengan Adara, membiarkan wanita itu dan tamu lainnya melanjutkan pembicaraan mereka sendiri.
Saat malam semakin larut, Arga mengajak Adara menuju balkon hotel yang tenang dan jauh dari keramaian. Angin malam menyapa mereka, mengirimkan rasa sejuk yang menyegarkan. Mereka berdiri berdampingan, melihat pemandangan kota yang dipenuhi cahaya lampu.
“Adara, terima kasih sudah mau datang,” ucap Arga tiba-tiba, membuat Adara sedikit terkejut.
“Tidak perlu berterima kasih, Pak. Ini kehormatan bagi saya,” jawab Adara dengan tulus.
Arga menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya, Adara melihat sisi lembut dari pria yang selalu terlihat dingin itu. Tatapan mata Arga tak lagi penuh dengan kekakuan; kali ini, ia terlihat tulus dan mungkin sedikit rentan.
“Kadang-kadang... aku lupa caranya bersantai,” katanya, sambil tersenyum kecil. “Setiap hari, aku terus-menerus bekerja, menjalani rutinitas yang monoton, dan rasanya aku lupa bahwa ada dunia lain di luar pekerjaan.”
Adara hanya tersenyum mendengar pengakuan itu. Ia menyadari bahwa di balik sikap Arga yang dingin dan tegas, ada sisi manusiawi yang tersembunyi, sisi yang jarang ia tunjukkan kepada orang lain.
“Malam ini, aku ingin berterima kasih padamu. Kau telah menjadi seseorang yang membuatku merasa... normal, setidaknya untuk satu malam ini,” lanjut Arga, kali ini dengan tatapan yang lebih lembut.
Adara merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Ucapan Arga malam ini memberinya harapan, sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa dirinya bukan hanya sekadar sekretaris; ia merasa dihargai sebagai individu.
Mereka berdiri dalam keheningan yang nyaman, menikmati malam yang dipenuhi bintang di langit. Setelah beberapa saat, Arga kembali menatapnya.
“Adara, bagaimana jika setelah ini kita pergi makan malam di tempat yang lebih tenang?” tanyanya dengan suara yang nyaris berbisik.
Adara menatap Arga dengan mata berbinar, lalu mengangguk pelan. Malam itu berakhir dengan indah, namun meninggalkan jejak perasaan di hati mereka yang sulit untuk diabaikan. Bagi Adara, malam itu bukan hanya sekadar undangan eksklusif, melainkan sebuah langkah kecil menuju hubungan yang lebih dalam dengan pria yang telah lama ia kagumi. Dan bagi Arga, ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru yang mungkin dapat mengubah hidupnya untuk selamanya.