Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Menghindar di Kantor
Hari ini, suasana di kantor terasa lebih berat daripada biasanya. Adara berjalan cepat menuju meja kerjanya, mencoba menghindari tatapan orang-orang di sekitarnya. Beberapa rekan kerja menatapnya dengan rasa ingin tahu, mungkin masih teringat pada insiden kecil kemarin di ruang rapat saat Arga tanpa sengaja menatapnya terlalu lama—tatapan yang tak luput dari perhatian banyak mata.
Adara mendesah pelan sambil menyalakan komputer di mejanya. Ia berusaha fokus pada tugas-tugas yang sudah menumpuk sejak pagi. Namun, pikirannya terus melayang pada satu hal: bagaimana ia harus menghadapi Arga hari ini. Setelah pertemuan intens beberapa malam lalu, di mana ia merasa terlalu dekat secara emosional dengan pria itu, Adara memutuskan untuk menjaga jarak. Tidak mudah, mengingat Arga adalah atasannya.
Ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Arga muncul di layar.
"Adara, temui saya di ruang kerja dalam 10 menit. Ada hal yang perlu dibahas."
Adara menatap pesan itu dengan jantung yang berdegup kencang. Ia tahu ini adalah perintah, bukan permintaan. Namun, keinginannya untuk menghindari Arga semakin kuat. Ia tak tahu harus menjelaskan perasaan rumit yang perlahan-lahan mulai tumbuh di hatinya. Apalagi, ia menyadari bahwa hubungan profesional mereka harus tetap terjaga.
"Adara, kamu baik-baik saja?" suara lembut Tika, rekan kerjanya, mengagetkan.
Adara tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa berat. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah."
Tika mengangguk sambil meletakkan beberapa dokumen di meja Adara. "Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kadang-kadang, istirahat juga penting."
Adara mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Setelah Tika pergi, ia menarik napas panjang, mencoba menguatkan dirinya untuk menghadapi Arga. Namun, dalam hati ia berharap ada alasan untuk menunda pertemuan itu.
Lima menit berlalu. Kemudian sepuluh. Adara tetap berada di mejanya, berpura-pura sibuk dengan dokumen yang sebenarnya tidak terlalu penting. Ia berharap Arga akan melupakannya atau menyerah menunggu.
Namun, harapannya pupus ketika seorang staf junior datang menghampirinya. "Adara, Pak Arga memintamu untuk segera ke ruangannya."
"Terima kasih," jawab Adara singkat. Setelah staf itu pergi, ia mendesah panjang. Tidak ada jalan keluar lagi.
Saat berdiri di depan pintu ruang kerja Arga, Adara menarik napas dalam-dalam. Ia mengetuk pintu dengan ragu.
"Masuk," suara Arga terdengar tegas dari dalam.
Adara membuka pintu dengan perlahan dan melangkah masuk. Ia melihat Arga duduk di kursinya dengan ekspresi serius. Ruangan itu terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara detik jam yang terdengar samar.
"Kenapa lama sekali?" tanya Arga tanpa basa-basi.
"Maaf, saya sedang menyelesaikan beberapa dokumen," jawab Adara, mencoba terdengar profesional.
Arga menatapnya tajam, seolah mencoba membaca apa yang sebenarnya terjadi. "Kamu menghindari saya, Adara."
Ucapan itu membuat Adara terkejut. Ia mencoba menyangkalnya, tetapi lidahnya terasa kaku.
"Saya tidak menghindar, Pak. Saya hanya—"
"Kamu hanya apa?" potong Arga, suaranya sedikit lebih lembut. "Adara, saya tahu ada sesuatu yang berubah sejak malam itu. Jika ada yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa memberitahu saya."
Adara menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang mulai muncul. Ia tahu Arga adalah orang yang perhatian, meskipun sering kali ia menunjukkan sisi dinginnya di depan orang lain. Namun, perhatian itu justru membuat Adara merasa semakin sulit menjaga jarak.
"Pak Arga," kata Adara akhirnya, "saya rasa kita perlu menetapkan batasan dalam hubungan kerja ini. Saya tidak ingin menjadi orang yang melanggar profesionalitas."
Arga terdiam sejenak, menatap Adara dengan mata yang penuh emosi. "Adara, saya tidak pernah berniat melanggar profesionalitas. Tapi saya tidak bisa berpura-pura bahwa saya tidak peduli padamu. Saya menghargaimu, lebih dari sekadar sebagai karyawan."
Kata-kata itu membuat Adara semakin bingung. Ia tidak tahu harus merasa tersanjung atau justru cemas. Hubungan ini sudah mulai keluar jalur, dan ia tahu bahwa jika dibiarkan, semuanya bisa menjadi lebih rumit.
"Saya menghargai kejujuran Anda, Pak," jawab Adara pelan. "Tapi saya pikir, demi kebaikan kita berdua, lebih baik kita menjaga jarak."
Arga menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk perlahan. "Kalau itu yang kamu inginkan, saya akan menghormatinya. Tapi ingat, Adara, saya tidak akan pernah memaksakan perasaan saya padamu."
Adara mengangguk cepat, merasa lega sekaligus sedih. Ia tahu keputusan ini adalah yang terbaik, tetapi perasaan di hatinya berkata lain. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berpamitan dan meninggalkan ruangan.
Saat kembali ke mejanya, Adara merasa seperti membawa beban berat. Ia tahu bahwa menghindar mungkin bukan solusi, tetapi itu adalah satu-satunya cara untuk melindungi dirinya dari perasaan yang semakin dalam terhadap Arga.
Namun, ia juga menyadari bahwa jarak tidak akan menghentikan rasa yang mulai tumbuh. Dan hari-hari berikutnya di kantor akan menjadi ujian besar baginya: ujian untuk tetap bersikap profesional di tengah perasaan yang semakin sulit diabaikan.