Aiden Valen, seorang CEO tampan yang ternyata vampir abadi, telah berabad-abad mencari darah suci untuk memperkuat kekuatannya. Saat terjebak kemacetan, dia mencium aroma yang telah lama ia buru "darah suci," yang merupakan milik seorang gadis muda bernama Elara Grey.
Tanpa ragu, Aiden mengejar Elara dan menawarkan pekerjaan di perusahaannya setelah melihatnya gagal dalam wawancara. Namun, semakin dekat mereka, Aiden dihadapkan pada pilihan sulit antara mengorbankan Elara demi keabadian dan melindungi dunia atau memilih melindungi gadis yang telah merebut hatinya dari dunia kelam yang mengincarnya.
Kini, takdir mereka terikat dalam sebuah cinta yang berbahaya...
Seperti apa akhir dari cerita nya? Stay tuned because the 'Bloodlines of Fate' story is far form over...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyerap Energi
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apapun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Elara membuka matanya perlahan, mengerjapkan pandangan yang masih samar. Cahaya pagi tidak mencapai kamar Aiden, membuat ruangan itu tetap redup, hampir gelap sepenuhnya. Saat menyadari bahwa ia ketiduran di samping Aiden semalam, Elara sedikit tersentak. Tapi sebelum ia bisa beranjak, sebuah tangan dingin menangkap pergelangan tangannya.
“Elara,” suara Aiden terdengar lembut namun penuh permohonan. “Bisakah… bisakah kamu memelukku sebentar saja?”
Elara menatap wajah Aiden yang pucat, dan tanpa berkata apa-apa, ia mendekat, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan vampir yang tubuhnya terasa semakin dingin. Seketika, kekhawatiran menyelimutinya.
“Aiden,” bisiknya sambil memperhatikan wajah Aiden yang terlihat lebih lemah dari biasanya. “Kenapa tubuhmu lebih dingin dari semalam? Apa ini tanda kalau keadaanmu semakin buruk?”
Aiden terdiam sejenak, matanya tak lepas dari Elara. Lalu, ia tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak menenangkan hati Elara. “Semua akan baik-baik saja,” katanya. “Cukup… cukup hangatkan aku sebentar.”
Elara merasakan keheningan di antara mereka. Pelukan ini, meski aneh dan dipenuhi ketegangan, juga membawa rasa hangat di hatinya. Namun, ia segera merasakan tubuhnya mulai melemah, seolah energinya terserap. Nafasnya pun mulai terasa berat.
Aiden memandangnya penuh penyesalan. “Maafkan aku, El,” ucapnya lembut. “Energi dari dirimu… membantu menguatkan ku. Itu bukan maksudku, tapi tubuhku memang bereaksi terhadap energimu.”
Elara mencoba tersenyum meski ia merasa lemas. “Jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik, aku tidak apa-apa.”
Aiden memegang pundak Elara dengan lembut, namun kali ini sorot matanya serius. “Elara, ada sesuatu yang harus kamu pahami,” katanya pelan.
“Energi positif darimu, terutama karena kamu memiliki darah suci, sangat berharga bagi vampir. Namun, kamu harus selalu mengenakan kalung dan cincin pelindungmu. Jika kamu melepasnya, energimu akan tersedot lebih kuat, bahkan olehku… aku mungkin akan kehilangan kendali.”
Elara mengangguk, mencoba memahami situasi yang Aiden jelaskan. “Aku mengerti, Aiden.”
“Dan itu bukan hanya tentangku,” lanjut Aiden. “Ada vampir lain di luar sana yang mungkin tidak bisa mengendalikan dirinya jika mencium energimu. Bahaya bisa datang dari mana saja.”
Setelah berkata begitu, Aiden melepaskan pelukannya, seolah berusaha menghindari resiko mengambil lebih banyak energi darinya. “Kembalilah ke kamarmu dan istirahatlah, Elara. Kamu butuh mengembalikan energimu.”
Dengan tubuh yang terasa lemas, Elara perlahan meninggalkan kamar Aiden. Saat sampai di kamarnya, tubuhnya terasa semakin berat, dan wajahnya tampak pucat. Tak lama kemudian, salah seorang asisten rumah datang, membantunya untuk berbaring di tempat tidur.
“Tuan Aiden meminta Anda untuk menghabiskan sarapan ini dan beristirahat sepenuhnya, Nona Elara,” kata asisten itu sambil meletakkan nampan berisi makanan bernutrisi di meja samping tempat tidur.
Elara mengangguk lemah, namun berterima kasih pada asistennya. “Terima kasih,” bisiknya.
Saat asisten pergi, Elara memandangi sarapan yang disiapkan khusus untuknya. Beragam makanan sehat yang penuh gizi tersaji, tampaknya memang dipilih untuk membantu memulihkan energinya. Sambil perlahan menyantap sarapan itu, pikiran Elara melayang pada penjelasan Aiden tentang energi positifnya. Selama ini, ia tidak pernah tahu bahwa vampir bisa menyerap energi semacam itu, apalagi darinya yang memiliki darah suci.
Namun, meskipun fakta itu mengejutkan, ia merasa tidak keberatan jika itu untuk Aiden. Vampir yang selama ini tidak hanya menjadi bosnya, tetapi juga pahlawan yang melindunginya dan orang-orang terkasihnya. Aiden selalu menjaga Elara, bahkan di saat-saat paling berbahaya. Pikirannya dipenuhi perasaan campur aduk; di satu sisi ia merasa khawatir, namun di sisi lain ada rasa hangat yang aneh di hatinya.
❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate
Di tengah lamunannya, ketukan pelan terdengar dari pintu. Pintu terbuka, dan Aiden muncul dengan senyum yang sudah kembali tampak lebih hidup. “Elara, bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut sambil berjalan mendekat.
Elara tersenyum, meski masih sedikit lemah. “Aku... sudah lebih baik,” jawabnya. Ia memperhatikan Aiden yang mendekat, tampak lebih sehat dari sebelumnya. "Sepertinya kondisimu sudah lebih baik," katanya sambil tersenyum lega.
Aiden mengangguk. “Berkat energimu, El. Sekarang giliranmu untuk makan dan memulihkan tenaga.” Tanpa ragu, Aiden duduk di samping Elara dan membantunya makan dengan lembut.
Elara menatap Aiden, tak kuasa menahan rasa penasaran yang mengusiknya. “Jika energiku bisa membuatmu lebih baik, kenapa tidak mengambil lebih banyak? Aku... aku tidak keberatan,” ucapnya pelan.
Aiden menatapnya serius, lalu tersenyum tipis. “Ini saja sudah lebih dari cukup, Elara. Jika aku mengambil lebih banyak… nyawamu bisa saja hilang.”
Elara tercengang mendengar hal itu. Ia tidak tahu betapa berbahayanya memberikan energinya terlalu banyak. Ia menunduk, merasa bodoh karena tidak menyadarinya.
“Maaf, aku tak bermaksud membuatmu cemas,” kata Aiden sambil menyuapi Elara hingga makanannya habis. Setelah selesai, Aiden berdiri. “Aku akan pergi ke hutan bersama Kevin untuk mencari penawar racun jamur purnama untuk ayah tirimu, Nate. Racun itu harus segera ditangani.”
Elara mengangguk, memahaminya. Namun, sebelum Aiden beranjak, ia mengulurkan tangan. “Aiden… bisakah aku memelukmu sekali lagi? Aku ingin memberimu sedikit energi lagi, agar kau kuat dalam perjalanan.”
Aiden menatap Elara, tampak sedikit ragu. Namun, ia akhirnya mendekat dan membiarkan gadis itu memeluknya. Pelukan itu terasa hangat, seperti mengalirkan kedamaian di dalam dirinya. Sesaat kemudian, ia melepaskan pelukan dengan senyum kecil, lalu berbalik untuk pergi.
“Jaga dirimu, El,” ujarnya sebelum menghilang di balik pintu.
❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate
Di tengah hutan yang sunyi, Aiden berjalan dengan langkah tegap bersama Kevin, seorang dhampir yang setia pada keluarga Aiden. Mereka berjalan menyusuri jalur setapak yang dipenuhi pepohonan tinggi dan rimbun, menembus kegelapan yang semakin pekat.
“Jamur purnama seharusnya tumbuh di sekitar sini,” ujar Aiden sambil mengamati sekeliling.
“Kita harus menemukannya secepatnya. Racun itu bisa semakin merusak tubuh Nate.” lanjut Aiden.
Kevin melirik Aiden dengan tatapan penuh pemahaman. “Kau peduli padanya, Tuan. Aku belum pernah melihatmu begitu memperhatikan seorang sebelumnya, apa itu karena Elara?”
Aiden tersenyum samar. “Elara berbeda. Energinya… itu ternyata bisa memberikan ketenangan sekaligus kekuatan untukku. Dia bukan sekadar dhampir biasa... dia mulai menunjukkan kekuatannya, sama seperti mu Kevin.”
Kevin hanya mengangguk, menyadari bahwa ucapan itu datang dari lubuk hati Aiden yang terdalam.
Mereka melanjutkan pencarian hingga menemukan sekelompok jamur purnama yang bercahaya di bawah sinar bulan. Aiden mengambil beberapa dengan hati-hati, memastikan agar jamur tersebut tidak rusak.
“Selesai,” kata Aiden. “Kita harus segera kembali sebelum pagi tiba.”