Tutorial membuat jera pelakor? Gampang! Nikahi saja suaminya.
Tapi, niat awal Sarah yang hanya ingin membalas dendam pada Jeni yang sudah berani bermain api dengan suaminya, malah berakhir dengan jatuh cinta sungguhan pada Axel, suami dari Jeni yang di nikahinya. Bagaimana nasib Jeni setelah mengetahui kalau Sarah merebut suaminya sebagaimana dia merebut suami Sarah? Lalu akankah pernikahan Sarah dengan suami dari Jeni itu berakhir bahagia?
Ikuti kisahnya di dalam novel ini, bersiaplah untuk menghujat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lady ArgaLa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7.
"Cari pria pengecut ini, dan bawa ke hadapanku dengan suka rela ataupun terpaksa."
Para pria berjas mengangguk serentak, namun saat mereka hendak pergi melaksanakan tugas suara lirih Sarah mengalihkan perhatian mereka.
"Tunggu, Dad ...."
Sarah membuka matanya perlahan, dengan tangan terulur ke arah sang ayah.
"Sayang, kamu sudah sadar?" seru nyonya Ellen girang.
Tuan Bryan turut mendekat, begitu juga Bu Leha dan keluarga. Tak mempedulikan para pria berjas yang kini tampak kebingungan antara langsung pergi menjalankan tugas atau menunggu perintah gegas dari Tuan Bryan kembali.
"Apa yang kamu rasakan, Sayang? Apa badanmu sakit?" cecar Tuan Bryan lembut.
Sarah menatap mereka semua satu per satu.
"Momy, Dady, Bu Leha, Pak Hasan? Kenapa kita semua ada di sini?" tanya Sarah kebingungan.
Sarah hendak bangkit namun rasa sakit mendera kepalanya.
"Awww," lirih Sarah meringis.
Nyonya Ellen cepat meraih tubuh Sarah dan membantunya untuk duduk bersandar pada bantal di punggungnya.
"Jangan banyak bergerak dulu, Sarah. Badan kamu banyak luka," tukas Bu Leha mengelus bahu Sarah.
Setelah rasa sakitnya agak reda Sarah kembali menatap sang ayah dengan takut-takut.
"Kamu memang anak nakal! Bisa-bisanya kamu menyembunyikan hal sebesar ini dari Dady hm? Apa kamu pikir bisa mengatasinya sendiri? Lihatlah kondisimu sekarang, bukan hanya kamu tapi kami semua ikut menangis melihatnya," ujar Tuan Bryan sembari memeluk Sarah perlahan, karna takut akan membuat luka-luka dan lebam di tubuh putrinya semakin terasa sakit.
Pelukan yang sudah lama tak di rasakan Sarah setelah memutuskan menikah dengan Bima, walau di tentang ke dua orang tuanya namun Sarah tetap kekeh dan akhirnya keduanya harus mengalah. Bahkan mereka rela mengangkat posisi Bima yang sebelumnya hanya seorang OB menjadi seorang direktur hanya agar sang anak tidak merasa kekurangan hidup dengannya.
Tanpa mereka tau, kalau semua gaji Bima dari perusahaan mereka tidak ada yang di berikan pada Sarah namun meluncur mulus ke kantong si gundik, Jeni.
"Maafkan Sarah, Dad. Sarah hanya malu pada kalian," Isak Sarah di sela pelukan ayahnya.
Tuan Bryan melerai pelukannya dan mengusap jejak air mata di pipi tirus Sarah.
"No, sweetie. Kenapa harus malu? Kamu putri kesayangan kami, sejauh apapun kesalahan mu dalam melangkah. Saat kamu jatuh, maka pulanglah ... tangan kami terbuka untukmu," pungkasnya.
Nyonya Ellen mendekat dan menggantikan posisi Tuan Bryan di dekat Sarah, kemudian mengelus lbut rambut putrinya yang kini terasa kasar dan tidak terurus.
"Dadymu benar, Sayang. Pulanglah bersama kami, sudah cukup penderitaanmu selama ini. Tidak perlu malu, kami sangat mengerti perasaanmu, Honey. Dan kami sama sekali tidak mempermasalahkan soal itu lagi."
"Ooh, Mom." Air mata Sarah jatuh, begitu terharu dan sesaknya dadanya mendengar ketulusan cinta orang tuanya.
Menyesal, hanya kata itu yang kini ada di dadanya. Betapa dulu dia bahkan rela menghardik sang Momy hanya karna ingin segera menikah dengan Bima. Dan di saat terpuruknya, malah hanya orang tuanya yang ada, tidak dengan Bima.
"Orang tuamu benar, Sarah. Lebih baik kamu berpisah dari Bima, lihat badan kamu ... sudah cukup kamu di siksa olehnya, Sarah. Mau sampai kapan?" celetuk Bu Leha tak tega.
Lebam di tubuh Sarah sangat banyak, bahkan sampai bisa membuat begidik yang melihatnya. Beberapa ada yang berdarah namun sudah di tutup dengan perban.
"Kamu tenang saja, Sayang. Dady akan memberikan keadilan itu untukmu," sambung Tuan Bryan tegas.
Sarah merenung sesaat, dia memang sudah memegang banyak bukti akan perselingkuhan dan penyelewengan di perusahaannya karna suaminya. Tapi cerita masa lalu jua lah yang membuatnya malu untuk memperjuangkan haknya atau memberitahu polisi atau orang tuanya.
"Kalian!" Tuan Bryan menunjuk para pria berjas anak buahnya itu, "cepat pergi dan bawa pria brengs*k itu kemari!"
"Tidak, Dad?" sela Sarah cepat.
Tuan Bryan berbalik dan menatap heran pada Sarah.
"Why, honey? Ada apa?"
Sarah menggeleng lemah. "Biarkan aku selesaikan masalah ini sendiri, Dad. Aku lah yang memulai semua ini, dan biarkan aku juga yang mengakhirinya."
"Tapi bagaimana? Momy mengkhawatirkanmu, Sayang. Sudahlah, menurut saja dan biarkan Dady mu yang bekerja," bujuk Nyonya Ellen pada Sarah.
Lagi Sarah menggeleng. "No, Mom. Tolong kali ini saja, beri Sarah satu kesempatan untuk membalas sendiri perbuatan Mas Bima. Kalau nanti Sarah tidak sanggup, barulah Sarah akan minta bantuan Momy dan Dady."
Nyonya Ellen menatap suaminya. "Bagaimana pendapatmu, Dad?"
Tuan Bryan tampak berfikir.
"Tapi Dady mengkhawatirkan keselamatanmu, Sayang. Lihatlah kondisimu sekarang, Dady tidak sanggup kalau harus melihat yang lebih dari ini."
Bu Leha turut mendekat dan membujuk Sarah.
"Iya, Sarah. Nggak usah neko-neko. Lihat badan kamu, hanya kesalahan kecil saja si Bima itu sudah bisa bikin kamu kayak begini. Gimana kalau kamu masih meminta kesempatan tinggal sama dia lagi, Sarah? Lihat sekarang saja dia nggak ingat jenguk kamu di rumah sakit walau tadi dia lihat pas kami bawa kamu."
"Sebaiknya biarkan Dady saja yang melakukannya, Sayang," bujuk Nyonya Ellen lagi.
Hatinya turuf cemas mendengar penuturan Bu Leha.
Sarah meraih tangan Nyonya Ellen lembut. "Mom, please! Hanya satu kali kesempatan, selama ini Sarah sudah selalu diam saat di tindas oleh Mas Bima. Setidaknya, setelah ini Sarah juga ingin menikmati setiap momen pembalasan Sarah atas perbuatannya itu."
Tuan Bryan mendekati istrinya dan menyentuh pundaknya sambil mengangguk.
Nyonya Ellen mendesah berat. "Hah, baiklah, Sweetie. Tapi berjanjilah untuk selalu mengaktifkan ponselmu dan mengabari Momy atau Dady ya."
"Sure, Mom." angguk Sarah mantab.
****
Di kantornya tampak Bima tengah berjalan mondar-mandir di dalam ruangan direktur.
AC ruangan yang dingin nyatanya tak mampu mengusir semua titik keringat di tubuhnya, bahkan kini bagian atas kemeja kerjanya sudah basah oleh keringat.
"Aarrggghhh, bodoh! Bodoh! Bodoh! Kok bisa seceroboh itu sih gua?" geram Bima menarik rambutnya frustasi.
Brugh
Bima menghempas tubuhnya ke sofa empuk di ruang kerjanya.
"Astaga ... masa bisa gua lupa kalau Sarah bisa saja ngadu sama orang tuanya dan gua bisa di tendang sama mereka. Nggak cuma dari hidupnya Sarah, tapi pasti juga dari perusahaan ini. Duh bodoh banget sih gua!" umpat Bima pada dirinya sendiri.
Bima kembali bangkit, mengacak rambutnya kasar sambil memikirkan cara untuk menjawab pertanyaan kedua mertuanya nanti.
Kecemasan menguasai hatinya membuatnya tak bisa berfikir.
"Aarrrgghhhhh ini semua gara-gara lo, istri s*alan! Kenapa sih lo harus bikin gua marah setiap hari?" maki Bima sambil meninju dinding sampai tangannya berdarah.
Tapi sakit dan pedih di tangannya tak sesakit hatinya saat membayangkan akan kembali menjadi OB jika mertuanya tau kelakuannya pada Sarah selama ini. Keluarga Sarah sangat berkuasa, dan bisa-bisanya Bima melupakan semua itu saat dengan gelap mata malah menyiksanya.
Tok
Tok
Tok
Pintu ruangan Bima di ketuk dari luar, Bima yang tengah kalut menatap pintu itu dengan pandangan horor.
"Mati aku."
notes: "Hai pembaca semua, jangan lupa mampir juga ke cerita author yang lainnya. Ada di Noveltoon dengan judul TABIR(pelakor itu ternyata adikku) dan ISTRI UNTUK SUAMIKU, terima kasih untuk yang sudah membaca dan berkenan mampir."