Jasmine D'Orland, seorang duchess yang terkenal dengan karakter jahat, dituduh berselingkuh dan dihukum mati di tempat pemenggalan di depan raja, ratu, putra mahkota, bangsawan, dan rakyat Kerajaan Velmord.
Suaminya, Louise, yang sangat membencinya, memenggal kepala Jasmine dengan pedang tajamnya.
Sebelum kematiannya, Jasmine mengutuk mereka yang menyakitinya. Keluarganya yang terlambat hanya bisa menangisi kematiannya, sementara sebagian bersorak lega.
Namun, enam bulan sebelum kematian itu, Jasmine terlahir kembali, diberi kesempatan kedua untuk mengubah nasibnya yang tragis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kau Memang Bodoh Jasmine
Setelah tangis haru dan pelukan panjang yang melelahkan emosional, Jasmine, bersama ayah, ibu, dan kakaknya, akhirnya masuk ke dalam kediaman megah keluarga D'Orland. Markus dan James diminta untuk menunggu di gazebo taman, sementara Lianne tetap setia mengikuti Jasmine. Pelayan-pelayan lain berjajar rapi di sepanjang lorong, membungkuk hormat ketika keluarga itu melewati mereka. Jasmine, dengan langkah perlahan, menatap dinding-dinding megah yang penuh dengan kenangan masa kecilnya.
Setibanya di ruang keluarga, mereka semua duduk di sofa yang besar dan nyaman. Jasmine memilih duduk di tengah, diapit oleh ayah dan ibunya. Lord Victor duduk di seberang mereka, matanya tak lepas memandang adiknya yang akhirnya kembali ke rumah setelah bertahun-tahun. Lianne berdiri diam di sudut ruangan, bergabung dengan pelayan lainnya, namun perhatiannya tertuju sepenuhnya pada majikannya.
Hening menyelimuti ruangan untuk beberapa saat. Jasmine merasa tenggorokannya kering. Ia menundukkan kepala, merasa campuran emosi yang sulit dijelaskan, bahagia, sedih, sekaligus malu atas apa yang telah ia lakukan di masa lalu.
“Putriku... Jasmine...” Ayahnya, Duke Edgar D’Orland, memecah keheningan dengan suara berat namun penuh kasih. “Ayah senang akhirnya kamu ada disini putriku.”
Jasmine mengangkat wajahnya perlahan, matanya memerah, menatap ayahnya dengan tatapan penuh penyesalan. Ia membuka mulut, namun tak ada kata yang keluar. Hanya air mata yang kembali mengalir di pipinya.
“Ayah... Ibu... Kak Victor... Aku... Aku minta maaf...” Akhirnya, suaranya terdengar, bergetar oleh emosi.
Ayah Edgar menatap Jasmine dengan lembut, meskipun ada jejak luka yang tampak di wajahnya. Suaranya bergetar ketika akhirnya ia berbicara. “Jasmine, putriku, kau tak perlu meminta maaf, Nak. Tidak peduli seberapa jauh kau pergi, hati kami selalu ada bersamamu.”
Jasmine mengangkat wajahnya, air mata mengalir lagi. “Tapi, Ayah... Aku salah, aku mengecewakan kalian... Aku juga telah banyak mengabaikan kalian... Aku bahkan tak pernah menulis surat atau memberi kabar bertahun-tahun.. Aku tidak tahu apakah kalian masih mau menerimaku...”
Lord Victor langsung berseru, memotong ucapan adiknya. “Dasar bodoh! Tentu saja kami masih menerimamu! Kau ini adikku, Jasmine! Darah daging keluarga D'Orland!” suaranya keras, namun ada nada kasih sayang yang begitu kuat di dalamnya.
Duchess Elise, ibunya, mengangguk cepat sambil menggenggam tangan Jasmine dengan erat. “Benar kata kakakmu, Jasmine. Kau adalah putri kami satu-satunya. Bagaimana mungkin kami tidak menerima anak kami kembali? Jangan pernah meragukan itu lagi, Nak.”
Duke Edgar tersenyum kecil, mengusap lembut kepala putrinya. “Anakku, kau adalah bagian dari keluarga ini. Tak ada orang tua yang tidak memaafkan anaknya. Apa yang terjadi sudah terjadi. Tidak peduli apa yang terjadi di masa lalu, yang penting adalah kau di sini sekarang, bersama kami. Jangan pernah merasa malu atau takut untuk kembali ke rumah ini. Kau akan selalu diterima dengan tangan terbuka.”
Jasmine terisak, rasa bersalah dan kerinduan bercampur menjadi satu. Ia menggeleng lemah, merasa tidak layak menerima kasih sayang sebesar itu setelah semua yang ia lakukan. “Aku tidak pantas... Aku telah membuat kalian malu... Aku tidak cukup kuat untuk bertahan di sana... Aku terlalu lemah untuk melawan...”
Lord Victor mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap adiknya dengan serius. “Jasmine, dengar baik-baik. Tidak ada yang memandangmu lemah. Apa yang terjadi di luar sana bukan salahmu. Kau adalah Jasmine D'Orland, dan itu lebih dari cukup untuk membuat kami bangga.”
Duchess Elise menghapus air mata Jasmine dengan ibu jarinya. “Nak, jangan menyiksa dirimu sendiri dengan pikiran-pikiran seperti itu. Semua orang membuat kesalahan, tapi keluarga selalu ada untuk saling mendukung. Kau tidak sendirian lagi sekarang.”
Jasmine menggigit bibir bawahnya, menahan isakannya. “Tapi... Apa kalian benar-benar tidak marah? Tidak kecewa padaku?”
Duke Edgar tertawa kecil, tawa yang penuh kehangatan seorang ayah. “Tentu saja kami marah. Tentu saja kami kecewa. Kami adalah orang tua, Jasmine, dan wajar jika kami merasa begitu. Tapi lebih dari itu, kami bersyukur kau kembali. Itu yang terpenting.”
Victor mengangguk, menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Dan soal kecewa? Sudahlah, itu sudah berlalu. Kau di sini, itu sudah lebih dari cukup, adik.”
Jasmine tidak dapat menahan dirinya lagi. Ia kembali memeluk kedua orang tuanya, air matanya membasahi bahu mereka. Duchess Elise mengusap punggung putrinya dengan lembut, sementara Duke Edgar memeluknya erat seolah tak ingin melepasnya lagi.
“Terima kasih... Terima kasih sudah tetap mencintaiku... Aku janji, aku tidak akan pernah pergi lagi... Aku akan menebus semua kesalahanku...” Jasmine berbisik di tengah tangisnya.
Jasmine menggigit bibirnya, merasa emosinya membanjiri dirinya lagi. Ia mengalihkan pandangannya ke Victor, kakaknya, yang duduk dengan tangan menyilang di dada. Mata Victor penuh dengan kehangatan, meskipun bibirnya tersenyum tipis.
“Jangan pernah menghadapi sesuatu sendirian, Kau masih punya aku, adik,” kata Victor dengan nada bercanda, tapi penuh kasih. “Aku mungkin sering memarahimu, tapi aku tidak pernah berhenti menjadi kakakmu. Kau ini terlalu bodoh kalau berpikir kami akan meninggalkanmu hanya karena keputusan burukmu di masa lalu.”
Jasmine terisak kecil sambil tersenyum. “Kak Victor... Kau selalu suka mengataiku bodoh...”
Victor mengangkat bahu, senyum lebarnya terlihat. “Ya, karena itu fakta. Tapi tidak apa-apa, aku tetap menyayangimu meskipun kau bodoh.”
Semua orang di ruangan itu tertawa kecil mendengar komentar Victor, suasana perlahan menjadi lebih ringan. Jasmine merasa beban yang ia pikul selama bertahun-tahun mulai menghilang sedikit demi sedikit.
Setelah tawa mereka mereda, Jasmine kembali menundukkan wajahnya. “Tapi, Ibu, Ayah, Kak Victor... Apakah aku masih pantas menjadi bagian dari keluarga ini? Setelah semua rumor buruk yang menyebar tentangku, aku merasa aku telah mencoreng nama baik keluarga kita.”
Edgar menghela napas panjang, lalu menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. “Putriku, tidak ada yang bisa mencoreng nama baik keluarga D’Orland kecuali jika kami sendiri yang melakukannya. Kau masih bagian dari keluarga ini, dan tidak ada yang bisa mengubah itu. Rumor hanyalah kata-kata kosong. Kami tahu siapa kau sebenarnya, dan itu yang paling penting.”
Ibu Elise menambahkan dengan nada tegas, “Orang-orang di wilayah D’Orland juga tahu siapa dirimu. Ibu tahu pasti rakyat D'Orland masih menyambutmu kedatanganmu dengan tangan terbuka. Kau adalah putri yang mereka banggakan, Jasmine. Kami bangga padamu.”
Victor mengangguk. “Dan siapa pun yang berani bicara buruk tentang adikku, mereka akan berhadapan denganku.”
Jasmine menggeleng pelan sambil tersenyum. “Kak Victor, kau tak perlu mengancam siapa pun. Aku akan membuktikan sendiri siapa aku kepada dunia.”
Victor tersenyum bangga. “Itu semangat yang aku kenal dari adikku.”
Di pojok ruangan, Lianne, yang diam-diam memperhatikan, merasa matanya mulai memanas. Melihat Jasmine bersama keluarganya yang menerima dan mencintainya apa adanya membuat hatinya hangat sekaligus sedih. Namun, ia tetap berdiri tegak, menjaga profesionalismenya sebagai pelayan.
Edgar memegang bahu putrinya dengan kedua tangannya, menatap dalam ke matanya. “Jasmine, Nak, kau adalah darah dagingku, dan aku akan selalu menjadi ayahmu. Tidak peduli apa yang telah terjadi, aku selalu bangga padamu. Ayah, Ibumu dan kakakmu selalu mencintaimu.”
Air mata Jasmine kembali jatuh. Ia mengangguk kecil, kemudian memeluk ayahnya erat-erat. Suasana kembali haru, namun kali ini dipenuhi kehangatan.
Setelah beberapa saat, Ibu Elise tersenyum. “Sekarang, cukup sudah menangisnya.”
Victor menambahkan dengan nada menggoda, “Dan kau juga harus makan. Aku yakin makanan di rumah ini jauh lebih baik daripada apa pun yang kau dapatkan di Clair.”
Jasmine tersenyum kecil sambil menghapus air matanya. “Terima kasih, semuanya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa membalas semua cinta dan pengertian kalian.”
Edgar menjawab dengan lembut, “Kau tidak perlu membalas apa pun, Nak. Kehadiranmu di sini sudah cukup bagi kami.”
Lianne, yang berdiri di sudut ruangan, merasa dadanya sesak oleh emosi. Ia bahagia melihat majikannya akhirnya menemukan kedamaian di tengah keluarganya, namun ia juga merasa bersedih mengingat semua yang telah dilalui Duchess Jasmine selama bertahun-tahun di kediaman Clair. Pelayan-pelayan lain juga tampak mengusap air mata mereka secara diam-diam.
“Anne,” suara Duchess Elise memanggil lembut, membuat gadis itu tersentak. “Mendekatlah. Kau juga bagian dari keluarga ini, bukan?”
Lianne terkejut, namun segera melangkah maju dengan kepala tertunduk. “Yang Mulia, saya hanya pelayan. Tidak layak bagi saya untuk—”
“Anne,” potong Jasmine, yang kini telah melepaskan pelukan orang tuanya. Ia berdiri dan mendekati Lianne, memegang tangannya dengan erat. “Kau lebih dari seorang pelayan bagiku. Kau adalah sahabatku, penopangku di saat aku lemah. Aku tidak akan berada di sini tanpa dirimu. Jadi, kau juga harus ikut duduk bersama kami.”
Lianne terdiam, matanya membesar karena terharu. Ia tidak mampu berkata apa-apa selain mengangguk pelan. Jasmine menariknya ke sofa, memintanya duduk di sebelahnya, di antara dirinya dan Victor.
Victor tersenyum kecil pada Lianne. “Anne, kami berhutang budi padamu. Kau telah menjaga adikku selama ini. Jika ada yang bisa kami lakukan untuk membalas jasamu, katakan saja.”
Lianne menggeleng cepat, wajahnya memerah. “Tuan, tidak perlu... Saya hanya melakukan tugas saya...”
Namun Duchess Elise menambahkan dengan lembut. “Tidak ada yang hanya di sini, Anne. Terima Kasih karena selalu berada di sisi putriku. Kau adalah bagian dari keluarga kami, sekarang dan selamanya.”
Jasmine tersenyum, hatinya terasa lebih ringan daripada sebelumnya.