Yaya_ gadis ceria dengan sejuta rahasia.
Ia selalu mengejar Gavin di sekolah,
tapi Gavin sangat dingin padanya.
Semua orang di sekolah mengenalnya sebagai gadis tidak tahu malu yang terus mengemis-ngemis cinta pada Gavin. Namun mereka tidak tahu kalau sebenarnya itu hanya topengnya untuk menutupi segala kepahitan dalam hidupnya.
Ketika dokter Laska memvonisnya kanker otak, semuanya memburuk.
Apakah Yaya akan terus bertahan hidup dengan semua masalah yang ia hadapi?
Bagaimana kalau Gavin ternyata
menyukainya juga tapi terlambat mengatakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Pagi-pagi sekali Yaya sudah setia berada di dalam kelas dan duduk manis dibangkunya. Ia ingin dirinya yang pertama kali melihat kedatangan Gavin dari balik pintu masuk kelas mereka.
Gadis itu terus mengarahkan pandangannya ke pintu tapi Gavin belum kelihatan juga. Malah teman-teman kelas lainnya yang nongol. Gadis itu memasang wajah cemberut. Kalau begini sih percuma sekali ia bela-belain datang pagi-pagi buta.
Gadis itu menopang dagu dengan siku bertumpu di atas meja, matanya terus menghadap pintu. Senyumnya mengembang ketika seseorang yang ditunggunya sejak tadi akhirnya muncul juga. Saat mata mereka bertemu ia melambai-lambai senang. Senyuman itu hilang ketika melihat Gavin malah berbalik keluar kelas.
"Gavin!" serunya keras.
Ia cepat-cepat berdiri dari bangku dan berlari mengejar Gavin. Gadis itu menggapai lengan pria tersebut seperti biasa ketika berhasil mengejarnya. Namun berbeda dengan kemaren-kemaren, kali ini ia tercengang dengan sikap Gavin yang tidak seperti biasanya. Pria itu menghempaskan tangannya kasar.
Sangat kasar. Itu hal pertama yang dipikirkan Yaya. Gadis itu tercenung karena biasanya Gavin tidak pernah sekasar itu. Untung koridor masih sepi jadi tidak ada yang melihat mereka. Tapi Yaya tetap menatap Gavin dengan ekspresi kaget.
"Gavin kenapa?" tanyanya berusaha menetralkan perasaannya. Gavin menatapnya sinis, cowok itu mendekat selangkah dengan badan dicondongkan di depan wajah gadis itu. Tak ada senyum sedikitpun di wajahnya.
"Lo jangan pernah ganggu hidup gue lagi, gue muak." ucapnya pelan namun amat menusuk di telinga gadis itu.
Entah kenapa kepalanya tiba-tiba terasa begitu berat. Rasa sakit menyerangnya. Ia memegangi kepalanya dan masih berusaha tersenyum ke Gavin. Ia ingin sekali menyembunyikan rasa sakitnya itu tapi sepertinya kali ini ia tidak bisa. Kepalanya terlalu sakit, ia tidak tahan lagi.
"Ng..G..Gav kepala aku s..sakit banget." ringisnya kesakitan.
Gavin menaikan alis sebelahnya menatap gadis itu sebentar lalu mendengus pelan.
"Lo akting?" katanya dengan senyum miring. Ia sulit untuk percaya pada gadis itu lagi. Saking banyaknya cara yang dipakai gadis itu buat cari perhatiannya. Pria itu malah pergi meninggalkan Yaya sendirian.
Yaya mundur selangkah. Ia tidak punya tenaga lagi untuk mengejar Gavin. Kepalanya terlalu sakit, seperti mau meledak. Beberapa siswa-siswi yang melewatinya menatapnya aneh.
Gadis itu berbalik, berusaha keras berjalan sampai ke toilet. Setidaknya di sana ia bisa mengunci diri dan tak ada orang yang akan melihat kondisi menyedihkannya itu.
Yaya terus menahan rasa sakitnya. Rasa nyerinya tak tertahan dan ia berkeringat dingin. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak mengeluarkan suara kesakitan.
Hampir tiga puluh menit barulah sakit yang menyerang kepalanya itu menghilang. Cukup lama ia terdiam di bilik toilet. Beginikah rasanya sakit? Ia merasa tidak bisa melakukan apa-apa seperti orang tolol, gadis itu tertawa hambar kemudian mengatur nafasnya dan keluar.
Tak ada senyum diwajahnya. Keceriaannya mendadak hilang. Ia mulai meratapi hidupnya yang menyedihkan. Gadis itu berjalan ke sembarang arah seperti orang bodoh, dengan tatapan kosong. Ia memilih tidak kembali ke kelas karena hari ini di sekolah mereka ada pertandingan persahabatan di aula basket. Tentu saja pertandingan basket. Para murid tidak belajar dan kebanyakan dari mereka berada di lapangan basket indoor sekolah itu.
Tiba-tiba gadis itu merasa tangannya digapai seseorang. Ketika ia menatap ke samping, Savaro sedang tersenyum kepadanya. Gadis itu balas tersenyum mencoba menyembunyikan kesedihannya.
"Mau nonton basket nggak? Bentar lagi aku main." tanya Savaro. Ekspresinya biasa saja namun dalam hati ia berharap Yaya akan mengiyakan. Senyumnya mengembang saat gadis itu mengangguk tanda setuju. Tanpa bertanya ia cepat-cepat menarik tangan Yaya masuk ke dalam aula.
Semua teman setim cowok itu menatap Savaro dan gadis yang dibawanya itu bergantian, ada juga timnya Sara.
"Sih Sava bawa cewek man, cantik pula." seru Dika salah satu sahabat Savaro. Suara kencangnya membuat semuanya menatap mereka, lebih tepatnya Savaro yang diledekin dan digodain teman-teman setimnya itu habis-habisan.
"Tuh cewek adek kelas kan? Kok bisa deket sama Sava?" kata Rina teman setim Sara di club basket perempuan. Yang ia tahu selama ini belum ada satu pun gadis yang dekat dengan pria beringas itu atau pun membuat Savaro tertarik.
"Angkatan kita aja nggak ada yang sedekat itu sama sih kapten basket." tambah teman disebelahnya heran. Mereka sama-sama menatap Yaya merasa heran. Menurut mereka gadis itu memang cantik, tapi mereka juga tahu Savaro bukanlah tipe cowok yang bisa tertarik pada seorang perempuan hanya karena ia cantik. Jadi apa yang berbeda dari gadis yang dibawanya itu dengan kebanyakan gadis cantik lainnya?
Sara yang berada di antara mereka mengepal tangannya kuat-kuat menahan emosi, brengsek. Ia tidak suka melihat kedekatan mereka.
Yaya sebenarnya tidak mempedulikan teman-teman Savaro yang asyik menggoda mereka. Ia terlalu sibuk memikirkan penyakitnya. Ketika ia memandang ke atas, orang-orang yang menonton dari tribun mulai penuh, pandangannya berhenti pada sosok Gavin yang duduk di bagian tengah.
Yaya berubah menjadi salah tingkah dan merasa senang ketika pria itu menatapnya dari atas. Gadis itu tersenyum melambai ke pria itu tapi Gavin malah membuang muka ke arah lain, membuat senyuman Yaya perlahan memudar. Ia mendesah pelan.
Gavin duduk bersama Bintang. Yaya kembali teringat perkataan pria itu tadi pagi dan tersenyum masam. Ini pertama kalinya ia tidak heboh seperti biasanya saat melihat sosok yang disukainya itu. Entahlah, mungkin pengaruh dirinya yang terlalu banyak pikiran hari ini jadinya tidak bersemangat.
"Lo duduk di sana, nanti selesai tanding gue ke sana." bisik Savaro ditelinga Yaya. Gadis itu mengangguk mengerti kemudian berjalan ke tempat yang ditunjuk kakak kelasnya itu. Beberapa siswi yang dilewatinya menatapnya tidak suka. Ada juga yang penasaran.
Dari jauh pandangan Bintang terus menerus tidak lepas dari Yaya. Ia berdecak pelan menggeleng-geleng kepala heran lalu menyikut Gavin pelan.
"Liat tuh, katanya cinta matinya lu doang. Tapi mesra sama cowok lain." Bintang berdecak kagum masih menatap Yaya dari tribun. Gavin di sebelahnya menunjukkan ekspresi tidak peduli. Sekalipun tidak dapat ia pungkiri perasaannya terganggu.