Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04
“Ya Allah, Inna? Ini kamu? Kamu pulang? Mana suamimu? Apa kamu pulang sendiri?”
Baru saja Ina mau masuk ke dalam rumah, bibinya sudah keluar menyongsong kedatangannya. Tentu saja itu membuatnya terkejut mendapati pintu yang tiba-tiba terbuka dari dalam. Karena sebelumnya dia menitipkan Andri putranya di rumah bibi yang ada di desa sebelah. Sehingga dia pikir rumahnya dalam keadaan kosong.
“Iya Bi. Ini aku pulang. Bibi ada di sini?” Ina menjawab pertanyaan bibit dengan pertanyaan pula.
“Andri minta pulang ke sini. Dia bilang tidak bisa tidur kalau di rumah Bibi yang ada di sana, karena terus ingat kamu. Makanya Bibi turuti saja waktu tadi sore Andri minta pulang. Lagi pula Andri bilang kalau besok dia harus sekolah.” Bibinya menjelaskan kenapa dia bisa berada di sana.
“Aku benar-benar kaget tadi waktu pintu tiba-tiba terbuka dari dalam.” Ina berbicara sambil berjalan masuk mengikuti langkah Bibi. Tak lupa nenutup dan mengunci kembali pintu itu, sebelum akhirnya dia melangkah dan duduk di atas kursi usang di salah satu sudut rumahnya
“Kenapa Bibi belum tidur jam segini?” tanyanya.
Ina menoleh ke arah jam yang bergantung di dinding kayu rumahnya. Pukul 01.00 dini hari. Seharusnya adalah waktunya orang terlelap dalam mimpi. Tapi kini wanita tua itu masih sedia melayaninya, membuatnya kaget di malam buta. Ina lihat punggung ringkih bibinya yang berjalan menjauh menuju dapur. Entah si Bibi mendengar pertanyaannya atau tidak.
“Tadi sebenarnya Bibi sudah tidur. Tapi bibi kaget dan terbangun ketika ada suara mobil berhenti di depan rumah. Bibi tidak berani keluar makanya Bibi mengintip dari jendela. Bibi baru berani membuka pintu setelah tahu itu kamu yang datang. Mobil siapa yang tadi mengantarmu pulang? Kenapa Ranu tidak ikut pulang?”
Bibi duduk di salah satu kursi di hadapan Ina setelah kembali dari dapur dengan membawa segelas air putih yang kemudian diberikan kepada ponakannya.
“Itu tadi mobil travel, Bi.” Ina menjawab setelah menghabiskan segelas air putih yang dia sodorkan.
“Dan suamimu?” Wajah keriput dengan mata sayunya menatapku penuh pertanyaan.
Mengambil nafas dalam-dalam lalu dihembuskan kembali. Ina pun kemudian menceritakan apa yang dia temui di kota.
“Astagfirullah. Kurang ajar sekali si Ranu itu. Dulu dia yang merengek-rengek meminta agar kamu menerima lamarannya. Sekarang seenaknya saja dia berselingkuh dan menikah di belakangmu.”
Terlihat kilat kemarahan dari sorot merah mata Bibinya, dan juga dari tangannya yang terkepal. Ina bahkan melihat bibi berbicara sambil menahan gigi gerahamnya.
“Lalu setelah ini apa rencanamu kedepannya. Apa kamu akan diam saja? Apa kamu akan tetap pasrah seperti ini terus selamanya. Sejujurnya saja selama ini Bibi marah padamu. Kamu terlalu penurut, kamu bahkan membiarkan dirimu selalu diinjak-injak oleh mereka.”
Ina menggenggam tangan bibi agar kemarahan wanita tua itu mereda. “Aku masih belum tahu Bi. Akan aku pikirkan nanti. Sekarang lebih baik Bibi kembali tidur. Pasti Bibi lelah seharian bekerja sambil menjaga Andri,” ucap Ina.
“Andri bukan anak kecil yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Bibi di sini hanya menemaninya saja. Dan anakmu itu bukan anak yang merepotkan. Dia bahkan bisa membantu pekerjaan rumah tanpa bibi menyuruhnya.” tampaknya kemarahan masih belum hilang dari hati bibinya. Terbukti dari nada suaranya yang masih terdengar ketus..
“Iya tapi sekarang Bibi tidur dulu ya. Besok kita bicara lagi. Ina juga mengantuk, Ina juga mau tidur.”
Ina membantu bibi untuk berdiri dari kursi yang dia duduki. Lalu menggandeng perempuan tua itu untuk berjalan menuju kamar Andri.
Bibinya memang selalu tidur bersama dengan Andri jika sedang menginap di rumah Ina. Bibi menurut. Meskipun mungkin dengan setengah hati. Tampaknya dia masih ingin membahas tentang Mas Ranu.
***
“Ibu? Ibu sudah pulang? Kapan ibu pulang? Apa Ibu pulang tadi malam? Kenapa tidak membangunkan Andri Bu?” Hari masih pagi tapi suara Andri sudah begitu cempreng memenuhi seisi rumah.
“Iya nak ibu pulang tadi malam. Andri tidur pulas dan Ibu tidak tega membangunkan Andri.” Ina menjawab sambil mengusap pucuk kepala bocah yang sedang memeluk pinggangku itu.
“Ayah ikut pulang kan Bu? Ayah mana? Ayah di kamar ya.” Serta-merta Andri melepaskan belitan tangannya di pinggang ibunya kemudian berlari menjauh.
“Ayah… yah… Ayah…!” Ina memejamkan mata melihat Andri berlari menuju kamarnya sambil berteriak memanggil ayahnya. Jawaban apa yang akan dia berikan pada Andri setelah ini.
“Bu, Ayah ke mana? Apa Ayah sudah pergi ke sawah? Atau Ayah tidur di rumah nenek ya Bu?” Tanya Andri yang keluar dari kamar Ina dengan wajah lesu.
“Ayah tidak ikut pulang, Nak. Ayah masih ada kerjaan di kota.” Ina tidak tahu apa yang harus dia katakan kepada anaknya selain kebohongan untuk menutupi perbuatan ayahnya. Walaupun hatinya terasa sakit, tetapi Ina tidak ingin anaknya membenci ayahnya.
Ekspresi Andri yang semula penuh harap, seketika berubah muram. Ina lihat punggungnya yang perlahan menjauh, meninggalkannya yang sedang membuat sarapan di dapur. Ina dan Bibi yang sedang membantu memasak hanya bisa saling pandang, dan tanpa sadar menghela nafas secara bersamaan.
**
“Ayo segera habiskan sarapannya, Nak. Kalau tidak nanti kamu akan terlambat pergi ke sekolah,” ucapku Ina saat melihat anaknya hanya mengaduk-aduk saja makanannya tanpa menyendok dan menyuapkan ke dalam mulut.
“Jadi apa itu benar Bu, yang pernah dikatakan oleh Bibi Ratna, kalau sebenarnya Ayah sudah punya istri lagi di kota?”
“Astagfirullah…” Ina berucap dalam hati. terlihat putranya itu menunduk sedih. Ada mendung menggantung di wajahnya.
Kenapa tega sekali adik iparnya berbicara seperti itu kepada Andri. Andri masih kecil, seharusnya hal seperti itu tidak dibicarakan kepadanya. Kenapa mereka menyembunyikan semua itu darinya, tetapi malah berbicara kepada anaknya?
“Maafkan Ibu, Nak. Ibu juga tidak menyangka kalau ayah akan berbuat seperti itu. Tapi Andri jangan khawatir, meskipun Ayah tidak bersama kita, ada ibu di sini bersama Andri. Ibu yang akan menjadi Ibu sekaligus Ayah untuk Andri.” Ina menggenggam tangan kecil anaknya. Mencoba meyakinkan padanya bahwa semua akan baik-baik saja.
“Kenapa Ibu yang meminta maaf. Ayah yang melakukan kesalahan, tetapi ibu yang meminta maaf. Apakah itu pantas?” dengan tatapan dalamnya Ina melihat mata putranya yang berkaca-kaca. Ada kemarahan dan kebencian di sana itulah yang Ina takutkan.
“Ibu jangan khawatir. Aku akan cepat besar. Aku akan menjadi pria yang hebat, dan aku yang akan menjaga ibu. Kita akan berdua saja Bu, kita tidak butuh Ayah. Selama ini ibu juga bekerja sendiri. Nanti aku yang akan bekerja membantu ibu.” Entah pemikiran dari mana yang didapat oleh anaknya, tetapi jujur saja itu membuatnya merasa bahagia dan bangga memiliki Andri.
“Ibu percaya pada Andri. Andri akan besar dan menjadi orang hebat. Tetapi sebelum itu Andri harus banyak makan dulu, dan Andri juga harus sekolah dengan pintar.” Ina mencoba memberikan senyum terbaiknya. Mencoba membangun kembali semangatnya. Putranya tidak boleh terpuruk hanya karena memiliki seorang ayah yang selama ini tak pernah memperhatikan tubuh kembangnya.
***
“Nih, catatan buat belanja nanti seribu harinya Bapak.”
Ina yang sedang duduk mengikat kangkung yang akan dibawa ke pasar besok pagi begitu kaget, ketika ibu mertuanya datang tanpa salam dan tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya dengan mengulurkan selembar kertas.
Jika itu dulu, pasti Ina langsung menerimanya, lalu meneliti dengan seksama dan berpikir bagaimana caranya dia mendapatkan uang untuk berbelanja. Karena seperti biasa, ibu mertuanya itu hanya akan mengulurkan kertas yang penuh dengan catatan belanja yang harus dibeli, tapi tidak dengan uangnya.
Tetapi tidak untuk sekarang. Ina hanya memandangi saja kertas yang masih ada di tangan ibu mertuanya tanpa berniat untuk menerimanya. Lalu memilih kembali sibuk dengan kangkung-kangkung di tangannya.
Sudah 5 hari Ina mendengar berita kalau Ibu sudah pulang dari kota. Tetapi Ibu tidak pernah datang ke rumah itu sekedar untuk memberikan oleh-oleh bagi anaknya. Lalu sekarang enak saja dia tiba-tiba datang dengan membawa kertas belanjaan tanpa uang. Apa dia pikir uang bisa datang dengan sendirinya. Ataukah dia berpikir kalau Ina mesin pencetak uang.
“Kamu itu budek ya? Diajak bicara dari tadi cuma plonga-plongo saja. Ambil catatan ini dan sana belanja!” Tentang ibu mertuaku yang mungkin merasa kesal karena aku tidak menanggapinya.
Ina mendongak ke atas menatap wajahnya yang tinggi menjulang. “Uangnya mana?" Ina menadahkan tangan. "Iu hanya memberikan catatan. Memangnya bisa belanja dengan kertas saja tanpa uang?” tanya Ina.
“Ya kamu lah yang mikir, biasanya dari dulu juga gitu.”
Yang diucapkan ibu mertuanya memang benar. Dulu setiap kali beliau meminta Ina untuk berbelanja, selalu saja Ina yang berpikir bagaimana caranya agar dia bisa mendapatkan uang untuk berbelanja. Bahkan terkadang Ina mengorbankan uang yang seharusnya dia tabung untuk membayar sekolah Andri.
Ina menertawakan kebodohannya di masa lalu. Yang selalu menurut saja meskipun dia seperti diperbudak oleh keluarga mereka. Betapa naifnya Ina dulu, berpikir bahwa seiring berjalannya waktu maka mereka akan pelan-pelan menerima kehadirannya.
Mulai sekarang itu tidak akan berlaku lagi. Ina tidak membutuhkan pengakuan mereka. Lebih penting baginya untuk tetap fokus pada tumbuh kembang Andri putranya. Lebih penting baginya untuk perlahan-lahan memperbaiki kehidupan mereka.
Mereka, Ina dan anaknya. Hanya mereka berdua. Ina tidak memasukkan nama suaminya dalam daftar rencana masa depannya bersama Andri.