Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 - Tidak Seburuk Dugaanmu!!
"Di dunia ini kita tidak perlu merasakannya lebih dulu baru dijadikan pelajaran, Ganeeta."
Begitu jawab Faaz atas tuduhan berkedok pertanyaan yang Ganeeta layangkan padanya. Hanya karena Faaz membuka kedok beberapa badjingan di luar sana, seketika justru terkena imbasnya.
Mendengar jawaban Faaz, Ganeeta mengangguk seraya menghela napas lega. Meski sadar bahwa dirinya adalah wanita yang jauh dari kata sempurna, tapi andai benar Faaz memiliki masa lalu serumit itu Ganeeta tidak siap.
Terkesan sangat egois, tapi begitulah hati kecil Ganeeta yang dia akui tak sadar diri, persis seperti ucapan Alifah tentangnya.
Akan tetapi, ketakutan itu terbantahkan dengan jawaban Faaz yang super elegan tanpa perlu pembelaan.
Tak ingin terus membahas hal yang serius, Ganeeta mencari kegiatan lain dan membangun istana pasir demi memenuhi inner child dalam dirinya.
Setelah dipikir-pikir, rasanya lebih baik dia melakukan hal itu dibanding membahas yang berat-berat, waktunya tidak tepat.
Dia datang kemari untuk menghilangkan rasa jengah, bukan semakin sakit kepala. Karena itulah, Ganeeta melampiaskan semua kekecewaan dan kekesalan yang membelenggu hari ini dengan bermain sepuasnya.
Sudah tentu masih dalam pengawasan Faaz. Perbedaan energi keduanya tampak jelas di sana, Faaz yang memang sudah berumur tidak lagi tertarik untuk melakukan hal sama.
Paling juga hanya memantau, sampai Ganeeta bosan akan dia temani sebagai bentuk menebus kesalahan karena telah menipunya sejauh ini.
Hingga, menjelang sore barulah Faaz mengajak pulang karena memang sudah waktunya. Tak ubahnya bak anak kecil yang ikut kedua orang tuanya berlibur, Ganeeta masih merasa kurang karena memang sudah lama tidak menyenangkan diri sendiri di sela kesibukannya.
"Kok pulang? Perasaan baru sebentar."
"Sebentar apanya? Lihat matahari sudah hampir tenggelam ... memang sudah waktunya pulang, Sayang."
"Lima menit lagi deh," tawar Ganeeta seakan benar-benar berat untuk pulang.
Jika ditanya kenapa, tentu bukan karena terlalu betah di pantai alasannya. Akan tetapi, kehadiran Alifah di rumah sang mertua adalah alasan kenapa Ganeeta enggan pulang.
Bahkan, jika boleh meminta dia ingin pulang larut malam agar tidak berjumpa nantinya. Sedikit rumit, tapi beginilah sikap Ganeeta.
Sedari dahulu prinsipnya sama, akan lebih baik menjauh dibanding jadi petaka. Tak heran, temannya makin lama makin sedikit karena memang Ganeeta yang menarik diri agar tidak saling bertatap muka.
Kendati demikian, setelah berkeluarga agaknya Ganeeta tidak lagi bisa bersikap demikian. Faaz juga tak tinggal diam karena tidak mungkin jika harus menunggu larut malam baru berencana untuk pulang.
"Matahari akan terbenam, Mas takut umi sama abi khawatir ... belum lagi, jarak antara tempat ini dan rumah kita lumayan, khawatir sewaktu magrib kita masih di jalan, Net."
"Kan bisa shalat di masjid, tinggal berhenti dulu, Mas."
Faaz berdecak, tapi pelan. Dia menatap Ganeeta dari atas sampai bawah, sungguh membingungkan bagaimana sang istri dengan begitu santainya mencetuskan ide semacam itu.
"Iya 'kan?"
"Tubuhmu pasir semua, kotor, Ganeeta."
"Mana ada kotor? Ini kan bisa diusap-usap, tuh bersih, 'kan?" Ganeeta memperlihatkan tubuhnya yang dia yakini bersih dan sama sekali tidak ternoda.
Padahal, bagian bo-kongnya sampai berubah warna karena sedari dari duduk di atas pasir pantai dan sibuk membangun istana pasir yang tak seberapa itu.
Benar-benar keras kepala sampai Faaz menyerah pada akhirnya. Dia enggan berdebat, tapi mengambil langkah untuk angkat kaki dari sana hingga Ganeeta mengekor pada akhirnya.
"Ih Mas Faaz nyebelin banget sih, aku pakai ditinggal gitu gimana ceritanya?"
"Tidak ditinggal, ini kita tetap sama-sama," ucap Faaz seraya menghela napas panjang.
Hanya karena tidak berjalan berdampingan, Ganeeta sudah merasa wanita terbuang yang tidak lagi disayang.
Faaz yang tak ingin menciptakan petaka segera menggenggam erat jemari Ganeeta dan berjalan di sampingnya.
Hal itu berhasil, setelah digenggam Ganeeta tidak seli-ar awalnya. Sewaktu dipakaikan helm juga menurut dan tidak banyak protes yang Faaz terima.
.
.
Berbeda dengan sewaktu pergi, kali ini mereka bergantian dan Ganeeta yang duduk di belakang.
Jika tadi Faaz tampak seperti dibonceng anak TK, kali ini Ganeeta yang tenggelam dan tidak terlihat dari arah depan karena tertutup tubuh tinggi suaminya.
"Mas jangan ngebut-ngebut, aku agak mual!"
"Hah?"
"Jangan ngebut-ngebut!!"
"Hah?"
"Ah!! Hah hoh hah hoh, tuli banget sih ... jangan ngebut aku bilang!!" ulang Ganeeta sembari membuka kaca pelindung yang dirasa menjadi penghalang suaranya hingga tidak terdengar dengan jelas.
Alih-alih mengiyakan, Faaz justru tergelak karena merasa hal semacam ini terlalu mengocok perutnya.
Sedari tadi sebenarnya Faaz sadar, hanya saja dia sengaja bertingkah demi menguji kesabaran Ganeeta. Selama ini Faaz yang kerap diuji kesabarannya, sesekali bertukar posisi seru juga.
"Malah ketawa, orang serius juga."
"Iya-iya, ini sudah pelan," ucap Faaz seraya mengurangi sedikit kecepatannya.
"Tapi kok rasanya masih cepet, Mas kenapa? Malu ya bonceng aku?"
Tak segera menjawab, Faaz menatap pantulan wajah sang istri lewat kaca spion.
Untuk beberapa saat Faaz menjadi pakar ekspresi sesaat, berusaha menelaah seorang Ganeeta adalah orang yang seperti apa.
Selain emosian, istri kecilnya itu juga termasuk wanita yang kerap menarik kesimpulan seenaknya.
"Ada-ada saja, kamu mikirnya kejauhan."
"Mikirnya kejauhan gimana? Jelas-jelas Mas tadi sengaja ngebut pas di depan Univ A tadi ... mentang-mentang di sana rame para ukhti sholehah, pasti khawatir ada yang sadar kalau bonceng aku ya?"
"Astaghfirullah, Ganeeta, namanya di jalan kadang ngebut kadang pelan ... Mas sesuaikan sama kendaraan di depan," jelas Faaz masih berusaha bersabar menghadapi prasangka buruk dari sang istri.
Padahal sejak mulai perjalanan sampai detik ini, Faaz bahkan tidak sadar dengan orang-orang yang Ganeeta sebutkan.
Sebelum ini mereka memang melewati gerbang sebuah universitas swasta di sana. Namun, tak sedikit pun Faaz memerhatikan siapa yang berada di sana, bukan pula sengaja lewat tempat itu.
Tiba di kediaman utama, Ganeeta segera turun dan berlari ke samping garasi demi memuntahkan isi perutnya.
Sedikit pun dia tidak berbohong tentang rasa mual yang tadi dikeluhkan di jalan.
"Sayang? Kamu kenapa?" tanya Faaz khawatir lantaran sadar mata Ganeeta sampai berair.
Tak segera menjawab, Ganeeta mengusap kasar wajahnya. Sejenak dia menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian dia embuskan perlahan.
"Sudah aku bilang jangan ngebut, gini kan akhirnya."
"Maaf, Mas tadi cuma mau ngejar waktu ... tapi kam_"
"Uweeeek."
Belum selesai Faaz bicara, Ganeeta kembali merasakan mual dan kali ini tidak sampai muntah.
Sadar bahwa tubuhnya tidak sedang baik-baik saja, Ganeeta bergegas masuk segera. Diikuti Faaz yang juga ikut masuk, tapi memang tidak bersamaan mengingat Faaz harus mengambil sandal Ganeeta yang tertinggal di motornya.
Baru juga melewati ambang pintu, langkah Faaz terhenti pasca mendengar suara adiknya.
"Susah kukatakan sejak awal, ada baiknya Mas pikir-pikir dulu ... kenapa malah ngebet melamar gadis rusak itu?"
"Alifah, sudah berapa kali Mas bilang Ganeeta gadis baik-baik, dia tidak seburuk dugaanmu."
"Kalau baik-baik yang tadi apa? Baru nikah satu minggu sudah mual dan muntah ... apa sih yang dilakukan orangtua gadis itu sampai Mas mau menutupi aibnya?"
.
.
- To Be Continued -
Papa Evan : Jumi... kurang romantis apa hahhh Aku selama ini... Aku penggal kepala Pass klo km macam² ma Pass
Password : Uncle.,, Aku lo gak ngapa²in ma Onty Jum...
Kornet : Onty sadar diri lh udah tua jg pun...
Otor : sokoriiinnnn
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
punya istri dianggurin aja....😁😁🤭