Wanita mana yang sanggup hidup menjanda saat baru dua hari menikah? Di tinggalkan suami tercinta untuk selama-lamanya, membuat kehidupan Khaira Arandhita, gadis yang biasa dipanggil Aira, menjadi berubah seratus delapan puluh derajat. Ia harus menikah dengan adik iparnya sendiri karena wasiat dari mendiang suaminya.
"Jangan pernah berharap Aku akan menyentuhmu, karena Aku sudah mencintai wanita lain, pernikahan ini ku anggap hanya sebuah kesepakatan, bukan ikatan." ucap Martin kepada Aira di saat malam pengantin mereka.
Martin Nugroho, mantan adik ipar yang kini menjadi suami Aira, yang sudah memiliki kekasih yang di pacarinya sejak dua tahun, Martin memaksa tetap akan menikahi pacarnya meskipun dirinya sudah menikah dengan istri dari kakaknya.
Akankah kehidupan rumah tangga Aira berjalan mulus? Mampukah Aira meluluhkan hati suaminya?
Ikuti kisah romantis mereka ❤️❤️
Novel pertama author yang bertema religi, mohon dukungannya ya 😊🥰❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LichaLika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terserah
Martin terlihat salah tingkah melihat senyum Aira, ada sesuatu yang belum pernah Ia lihat sebelumnya, selama ini Martin tidak pernah berbicara kepada kakak iparnya itu, karena saat Panji dan Aira menikah, Martin berada di luar kota dan tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, hingga akhirnya setelah berita tentang kecelakaan yang menimpa mobil Panji dua hari setelah mereka resmi menjadi suami istri, membuat kisah baru untuk Aira. Panji mengalami kecelakaan tunggal yang mengakibatkan cidera kepala yang serius, sehingga nyawanya tidak tertolong.
Maka dari itu, Panji memberi wasiat terakhir untuk sang adik agar menjaga Aira, karena Panji merasa sang Adik lah yang mampu membuat Aira bahagia.
Aira tampak menghentikan tawa kecilnya, gadis itu sadar jika Martin tengah memperhatikannya. Ia pun segera membuatkan teh hangat untuk sang suami.
"Kenapa kamu tertawa? Kamu sengaja mengejekku?" ucap pria itu menyilangkan kedua tangannya.
"Mengejekmu? Siapa juga yang mengejek." jawabnya sembari mengaduk teh untuk Martin.
"Itu tadi, ngapain ketawa kalau kamu nggak mengejekku."
"Nih teh nya, kamu tuh aneh banget tahu nggak, mana mungkin Aku meracunimu, sejahat itu kah Aku?" tanyanya sembari meletakkan teh itu di atas meja. Martin tampak memalingkan wajahnya, kemudian pria itu terlihat pergi begitu saja tanpa bicara sedikitpun kepada Aira.
"Tunggu, Mas! Teh nya!" Aira memanggil kembali suaminya. Martin membalikkan badannya dan berkata, "Udah! Minum aja sendiri!"
Aira tampak menghela nafasnya, sungguh meluluhkan hati pria satu ini memang tidaklah mudah.
"Astaghfirullah! Ya Allah Mas Panji! Kok bisa sih karakter kalian itu beda banget, kamu sangat lembut dan kalem, tapi Adikmu! Huffftt ... benar-benar ujian." Aira menatap secangkir teh yang tidak diminum oleh suaminya, Ia pun membiarkan teh itu berada di atas meja, sementara dirinya sedang menyiapkan makanan untuk diletakkan di atas meja, dengan dibantu oleh beberapa pelayan.
Tiba-tiba saja, Aira mendapati telepon untuknya, seorang pelayan datang dengan memberikan telepon untuk Aira.
"Maaf Non Aira! Ada telepon untuk Non, dari Bu Fatimah." Aira terlihat gembira karena Ibu pantinya sedang menghubunginya. "Terima kasih!" jawabnya sembari menerima gagang telepon itu. Kemudian Ia beranjak keluar dapur untuk berbicara dengan Bu Fatimah.
Sementara itu Martin yang tiba-tiba lewat di depan ruang dapur, Ia mendapati Aira yang sedang tidak ada di dalam.
"Eh ... kemana gadis itu?" gumam Martin sembari menengok ke kanan dan ke kiri. Setelah Ia tidak mendapati istrinya di dalam dapur, Ia pun segera masuk kedalam dan dirinya menghampiri secangkir teh yang di buatkan Aira untuknya.
Tanpa basa-basi Martin mengambil cangkir teh itu dan meminumnya, sejenak Martin membulatkan matanya saat mencicipi teh buatan Aira.
"Hmm ... tidak buruk, rasanya enak!" ucapnya yang kemudian segera menghabiskan teh itu, tanpa sengaja seorang pelayan memergoki Martin yang sedang berada di dalam dapur dan meminum teh yang berada di atas meja.
Spontan Martin terkejut saat pelayan itu datang secara tiba-tiba, kemudian Martin dengan cepat meletakkan kembali cangkir teh itu di atas meja dan menutupnya seperti semula. Martin tampak pura-pura biasa di hadapan sang pelayan.
"Tuan Martin! Ada yang bisa Saya bantu?" tanya pelayan itu kepada Martin yang baru saja menghabiskan teh hangat buatan Aira.
"Enggak, nggak ada! Udah Aku mau ke kamar!" jawabnya dengan salah tingkah, kemudian Ia segera pergi dari tempat itu, sementara sang pelayan tampak mengerutkan keningnya melihat tingkah aneh Tuannya.
Kemudian Aira masuk ke dalam dapur, seusai dirinya menerima telepon dari ibu pantinya. Aira tampak menghampiri segelas teh hangat yang Ia buat untuk suaminya, karena suaminya tidak mau meminumnya, Aira pun berencana untuk meminum sendiri teh itu. Namun, saat dirinya tengah membuka tutup cangkir, betapa terkejutnya saat ia melihat cangkir kosong tanpa ada isinya.
"Loh! Kok nggak ada isinya? Masa iya bocor sih?" Aira mengangkat cangkir teh itu sembari mengamati bagian bawah cangkir, sementara sang pelayan yang tadi melihat Martin yang telah meminumnya, Ia pun segera mengatakan jika teh itu telah diminum oleh suami Aira sendiri.
"Maaf, Non! Tadi Tuan Martin yang sudah meminumnya!" ucapan sang pelayan membuat Aira sangat terkejut, rupanya Martin sendiri yang telah meminumnya.
"Mas Martin yang meminumnya?" Aira mencoba meyakinkan dirinya.
"Iya, Non! Saya lihat dengan mata kepala sendiri, Tuan Martin datang ke dapur dan meminum teh itu.
"Ya sudah! Terima kasih!"
Aira terlihat tersenyum, rupanya dibalik sikap dingin Martin, rupanya pria itu cukup menggemaskan untuk Aira.
"Dasar laki-laki, ngomongnya nggak mau, tapi diminum juga." Aira menggelengkan kepalanya, kemudian Ia pergi ke kamar untuk memanggil suaminya turun untuk sarapan bersama. Tampak Asri dan Burhan sudah berada di ruang makan.
Sementara itu Martin masih sibuk memasang dasi, tiba-tiba saja Aira masuk dan menghampiri Martin yang sedang memasang dasinya, dengan sigap Aira membantu suaminya untuk memasangkan dasi itu pada kerah kemejanya.
Tanpa berkata apa-apa, Aira segera mengambil alih dasi Martin sehingga membuat kedua tangan mereka saling bersentuhan, spontan Martin melepaskan tangannya dan memalingkan wajahnya. Aira tetap memasangkan dasi itu tak perduli jika Martin tidak menatapnya.
"Aku mau minta izin sama kamu!" ucap Aira yang tiba-tiba.
"Untuk apa?" tanyanya dengan ekspresi yang sama, tanpa menatap wajah Aira yang pastinya akan membuatnya tidak bisa konsentrasi.
"Tadi, Bu Fatimah meneleponku, dia bilang anak-anak panti ingin bertemu denganku, iya sudah cukup lama Aku tidak berkunjung pada mereka, sejak masa Iddah tiga bulan yang lalu, sampai hari pernikahan kita kemarin." ucap Aira sembari merapikan jas suaminya.
"Masa Iddah! Bukankan kamu belum tersentuh, kenapa harus pakai masa Iddah?" ucap Martin sembari menatap wajah Aira.
"Terus! Kalau Aku langsung menikah begitu saja dengan pria lain setelah kematian suamiku, apa itu pantas! Kamu sendiri belum tentu mau, kan? Kamu tidak tahu betapa perjuangan ku untuk melupakan Almarhum Mas Panji tidaklah mudah, Aku rasa tiga bulan tidak cukup untuk melupakan segala kebaikannya dan cintanya, pernah kamu berfikir seperti itu, Mas?" tanyanya balik kepada Martin. Pria itu tidak bisa berkata apa-apa, Ia kemudian segera beranjak pergi dan tiba-tiba saja Aira memanggil suaminya.
"Tunggu, Mas!" Martin menghentikan langkahnya dan berbalik arah kepada Aira.
"Apa Aku boleh pergi ke panti hari ini?" Aira tampak memohon kepada suaminya agar diizinkan untuk berkunjung ke panti tempat tinggalnya dulu.
"Terserah!" jawaban yang kurang berkenan di telinga, Aira segera menghadang langkah Martin dan berkata, "Jangan berkata seperti itu, Mas! Jawaban mu sangat ambigu sekali, Aku hanya butuh jawaban Iya atau tidak?"
"Kamu tidak dengar Aku bicara, Aku bilang terserah, terserah kamu mau kemana kek, Aku tidak perduli!" setelah mengatakan hal itu, Martin segera pergi dari hadapan Aira. Kemudian Ia pun ikut turun bersama Martin di belakangnya.
Sesampainya di meja makan, terlihat Asri dan Burhan tampak menyambut kedatangan anak dan menantunya. Burhan melihat wajah Aira yang sedikit bersedih, Ia pun menanyakan kepada sang menantu tentang apa yang terjadi.
"Aira! Kamu kenapa?"
"Eh ... nggak apa-apa kok, Pa!" Aira berusaha menyembunyikan suasana hatinya.
"Oh ya, tadi kata pelayan ada telepon dari Bu Fatimah, apa itu benar?" tanya Burhan menyelidik.
"I-iya, Pa! Bu Fatimah meminta Aira untuk datang ke panti, anak-anak panti pada kangen katanya."
"Ya sudah! Biar Martin saja yang mengantarkanmu."
Martin tampak protes dengan ucapan Burhan, tentu saja dirinya keberatan jika harus mengantarkan Aira ke panti. "Tapi, Pa! Hari ini Martin ada pertemuan penting." jawabnya berusaha menolak perintah Sang Ayah.
"Itu gampang! Papa bisa menyuruh orang lain untuk mewakilinya, kamu antarkan Aira ke panti, dia Istrimu. Papa tidak mau terjadi apa-apa dengan Aira, ini sudah tanggung jawab mu sebagai seorang suami,"
"Iya, Martin! Kasihan jika Aira harus pergi sendirian, kamu kan Suaminya, kamu harus bisa menjaga istrimu sesuai wasiat dari Panji!"
"Sial! Kok jadi kayak gini, sih! gumam Nya sembari tersenyum masam.
"Hehehe iya, Pa!" terpaksa Martin mengikuti perintah Burhan untuk mengantarkan Aira ke panti asuhan.
...BERSAMBUNG ...