Kerajaan Avaris yang dipimpin oleh Raja Darius telah menjadi kekuatan besar di benua Estherya. Namun, ancaman datang dari Kekaisaran Zorath yang dipimpin oleh Kaisar Ignatius, seorang jenderal yang haus kekuasaan. Di tengah konflik ini, seorang prajurit muda bernama Kael, yang berasal dari desa terpencil, mendapati dirinya terjebak di antara intrik politik dan peperangan besar. Dengan bakat taktisnya yang luar biasa, Kael perlahan naik pangkat, tetapi ia harus menghadapi dilema moral: apakah kemenangan layak dicapai dengan cara apa pun?
Novel ini akan memuat konflik epik, strategi perang yang mendetail, dan dinamika karakter yang mendalam. Setiap bab akan menghadirkan pertempuran sengit, perencanaan taktis, serta perkembangan karakter yang realistis dan emosional.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekosongan yang Menghantui
Bab 32: Kekosongan yang Menghantui
Setelah pertarungan yang panjang dan melelahkan, Kael dan timnya berdiri dalam diam. Debu tebal masih menggantung di udara, dan medan pertempuran yang telah mengubah rupa dunia kini terasa sepi, seolah-olah kegelapan yang mereka lawan meninggalkan jejaknya di setiap sudut. Meski mereka berhasil memukul mundur makhluk penjaga kegelapan itu, ada rasa kehilangan yang mendalam yang menyelimuti mereka. Kekosongan.
Kael menghela napas panjang, memandangi reruntuhan yang mengelilinginya. Mereka baru saja melawan salah satu ancaman terbesar yang pernah ada, tetapi pada saat yang sama, dia merasa ada sesuatu yang lebih besar yang masih mengintai. Sesuatu yang lebih kuat dari yang mereka bayangkan. "Apa yang sebenarnya kita hadapi?" Kael bertanya pada dirinya sendiri, suara penuh keraguan yang sulit dia sembunyikan.
Aria berjalan mendekat, dan matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam. "Kami berhasil melawan makhluk itu, Kael. Tapi... apakah kita benar-benar menang?" Suaranya begitu tenang, seolah-olah bertanya pada dunia yang lebih besar tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Kegelapan itu masih ada, Kael. Kita mungkin hanya mengusirnya untuk sementara waktu, tapi... apakah kita bisa menghentikannya selamanya?"
Kael menatap Aria dengan penuh perhatian. Dia tahu bahwa perasaan yang mereka rasakan bukan hanya milik Aria, tetapi juga milik semua anggota timnya. Mereka semua sudah mengorbankan begitu banyak dalam perjalanan ini. Tidak hanya fisik, tetapi juga emosi dan mental mereka yang telah dibentuk oleh pertarungan tanpa akhir ini. "Aku tahu," jawab Kael dengan suara berat. "Tapi kita harus terus melangkah. Jika kita berhenti sekarang, kita akan membiarkan kegelapan itu menang."
Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, meskipun berat. Setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka semakin dalam ke wilayah yang belum dipetakan, ke tempat yang penuh dengan misteri yang tak terungkap. Dunia yang mereka kenal sudah hancur, dan sekarang mereka menghadapi dunia baru yang penuh dengan ketidakpastian.
Malam tiba dengan cepat, dan mereka mendirikan perkemahan di suatu tempat yang relatif aman. Namun, meskipun mereka beristirahat, pikiran mereka tidak bisa lepas dari kenyataan bahwa pertarungan mereka baru saja dimulai. Setiap suara di malam hari terasa lebih menakutkan dari biasanya, setiap bayangan yang bergerak di antara pepohonan seolah membawa ancaman yang lebih besar.
Keesokan harinya, Kael terbangun dengan perasaan tertekan. Bahkan ketika matahari terbit, rasanya seperti dunia yang mereka coba selamatkan sudah kehilangan warnanya. Dalam perjalanan mereka, mereka bertemu dengan lebih banyak makhluk yang terdistorsi oleh kegelapan, seolah-olah dunia ini semakin terbelah. Keberadaan entitas gelap yang lebih tua mulai menunjukkan pengaruhnya lebih nyata, dan Kael merasakan ketegangan yang terus meningkat di dalam dirinya. Kekuatannya sendiri, yang dulu menjadi pedang tajam yang dapat mengalahkan musuh, kini terasa seperti beban yang semakin berat.
Aria memperhatikan Kael, dan dia tahu bahwa Kael sedang berjuang melawan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada hanya pertempuran fisik. "Kael," katanya dengan lembut, "kamu tahu bahwa kita semua ada di sini, bukan? Kami tidak akan membiarkanmu menghadapinya sendirian."
Kael mengangguk perlahan, tetapi perasaan kesepian tetap menghantuinya. "Terima kasih, Aria," jawabnya, namun kata-kata itu terasa kosong. Dia tahu bahwa meskipun mereka berjuang bersama, setiap langkah mereka semakin membawa mereka pada sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap.
Ketegangan antara mereka semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Setiap pertemuan dengan makhluk-makhluk yang lebih kuat dan lebih terdistorsi membuat mereka bertanya-tanya apakah mereka benar-benar siap untuk apa yang akan datang. Apa yang sebenarnya mereka hadapi? Dan yang lebih penting lagi, siapa yang akan tetap berdiri ketika semuanya berakhir?
Dalam perjalanan berikutnya, Kael merasakan sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu yang menggetarkan jiwanya. Sesuatu yang memanggilnya. Tanpa sadar, dia mempercepat langkahnya, diikuti oleh Aria dan yang lainnya. Mereka menuju ke sebuah tempat yang sepertinya sudah dikenal oleh Kael, meskipun dia belum pernah mengunjunginya sebelumnya. Suatu tempat yang terasa familiar, namun aneh.
Di depan mereka, ada sebuah kuil yang tampaknya terlupakan oleh waktu. Bangunannya hampir hancur, tertutup oleh tanaman merambat, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang menarik perhatian Kael. Sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan.
"Mungkin kita harus memeriksa itu," Aria berkata, membaca perasaan Kael tanpa kata-kata. "Mungkin itu adalah petunjuk yang kita butuhkan."
Tanpa ragu, Kael melangkah maju, memasuki kuil yang sepi itu. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada kekuatan yang mencoba menahannya. Begitu mereka memasuki dalamnya, mereka disambut oleh bayangan yang berputar-putar di dinding-dinding kuil, seolah-olah menceritakan kisah lama yang terlupakan.
Di tengah kuil, ada sebuah altar besar yang terbuat dari batu hitam yang mengkilap. Di atasnya, ada sebuah batu kecil yang tampaknya berkilau dengan cahaya yang aneh. Kael mendekat, merasakan tarikan yang kuat dari batu itu. Tiba-tiba, suara dalam pikirannya bergema, mengingatkannya pada kata-kata makhluk penjaga kegelapan yang baru saja mereka hadapi.
"Ini bukan akhir," suara itu berkata, penuh dengan kebencian. "Ini baru permulaan."
Dengan rasa takut yang mendalam, Kael menyentuh batu itu, dan dunia di sekitarnya tiba-tiba berputar. Semua yang ada di sekelilingnya tampak kabur, dan dia merasakan dirinya terhubung dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya. Kegelapan, yang sebelumnya tampak seperti ancaman, kini tampak seperti sebuah kekuatan yang lebih dalam, lebih tua, dan lebih tak terjangkau.
Kael tahu, dia baru saja membuka pintu menuju sesuatu yang jauh lebih mengerikan.