Kirana tak pernah menyangka, bujukan sang suami pulang ke kampung halaman orang tuanya ternyata adalah misi terselubung untuk bisa menikahi wanita lain.
Sepuluh tahun Kirana menjadi istri, menemani dan menjadi pelengkap kekurangan suaminya.
Kirana tersakiti tetapi tidak lemah. Kirana dikhianati tetapi tetap bertahan.
Namun semuanya berubah saat dia dipertemukan dengan seorang pria yang menjadi tetangga sekaligus bosnya.
Aska Kendrick Rusady, pria yang diam-diam menyukai Kirana semenjak pertemuan pertama.
Dia pikir Kirana adalah wanita lajang, ternyata kenyataan buruknya adalah wanita itu adalah istri orang dengan dua anak.
Keadaan yang membuat mereka terus berdekatan membuat benih-benih itu timbul. Membakar jiwa mereka, melebur dalam sebuah hubungan terlarang yang begitu nikmat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei-Yin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belajar tanpamu
Kirana membeku mendengar penuturan yang keluar dari mertuanya.
Saat ini bukan hanya mereka berdua. Akibat raungan Ajeng yang keras beberapa tetangga terdekat ikut menghampiri tetapi tidak berkomentar nyinyir apa pun.
Mereka ada di tengah jalan, jelas akan menjadi tontonan.
“Kirana!”
Belum reda keterkejutan yang dialami, suara teriakan yang begitu dikenal membuatnya menoleh.
Zidan Pranadipa.
Sang suami berdiri dengan wajah merah menahan amarah, terlihat kedua tangannya mengepal kuat. Langkahnya lebar berjalan semakin dekat seolah ingin mencabik tubuhnya.
“Ibu kenapa? Ngapain datang udah tahu juga aku lagi di kantor. Udah dibilangin, jangan datang kalau nggak sama aku.”
“Ibu cuma kangen sama Kirana. Bukan sambutan yang ibu dapat melainkan kemarahan hanya karena kamu menginap di rumah ibu,” terang Ajeng dengan isak tangis yang mulai reda.
Jantung Kirana berdebar keras. Kenapa wanita paruh baya itu memutar fakta yang sebenarnya.
“Aku nggak ngelakuin itu, Mas!” bantah Kirana.
“Diam! Aku nggak tanya kamu,” sentak Zidan kasar tanpa menoleh.
Kembali dada Kirana terlihat sesak. Di depan semua orang pria ini membentak dan menunjukkan siapa dirinya.
“Ibu cuma ingetin yang baik malah Kirana nuduh ibu yang memaksamu ini dan itu. Apa wanita tua ini sejahat itu, Nak?” Ajeng berkata dengan wajah memelas.
Tegas Zidan menggeleng. “Ibu adalah yang terbaik dari sekadar baik saja.”
Hanya kedua tangan yang terkepal erat tanpa bisa melakukan apa pun. Kirana masih sangat menghargai suami dan mertuanya ... untuk saat ini, tetapi mungkin tidak untuk lain kali.
“Kamu benar-benar keterlaluan, Kira!” Setelah mengucapkan kalimat terakhirnya, Zidan segera membawa ibu dan adiknya pergi.
Terlihat napas Kirana naik turun. Dadanya benar-benar sesak seperti terhimpit beban berat.
Beberapa orang yang tadi melihat keributan, kini sudah kembali masuk ke rumah tanpa berkomentar. Tetangga di sini tidak kurang ajar dengan ingin tahu urusan orang lain. Mereka cukup melihat dan besok pasti akan dilupakan.
“Minum dulu, Bu Kirana.” Sentuhan pada bahu membuat wanita malang itu terkejut. Sama sekali tak menyadari keberadaan orang di dekatnya.
“Makasih, Bu Ayu.” Menerima gelas tersebut dan meneguknya perlahan.
Wanita yang dipanggil Ayu tersebut tersenyum ramah dan menepuk bahunya lembut.
“Sabar ya, Bu Kirana. Setiap rumah tangga itu pasti banyak cobaannya. Kalau enggak soal suami, mertua, ya wanita.” Hanya itu yang terlontar. Tak berniat menanyakan apa yang terjadi.
Kirana mengangguk, bibirnya mengulas senyum tipis.
“Kalau gitu saya masuk ya, Bu Kirana.”
“Sekali lagi makasih banyak Bu Ayu.” Saat kepalanya mendongak, Kirana sedikit terkejut mengetahui rumah di seberangnya terlihat ramai. “Eh, rumah depan sudah ada yang menempati ya?” tanya itu lolos tanpa perhitungan.
“Iya. Pagi-pagi tadi udah perkenalkan sama tetangga. Dia anaknya Pak Hanin dan Bu Dia.” Kirana ber-oh ria tanpa mengeluarkan suara.
Sebelum kembali melangkah, Kirana menoleh melihat rumah tetangga barunya. Jantung Kirana seperti ditikam belati tajam ketika tak sadar matanya bersitabrak dengan sosok pria tinggi yang berdiri dengan sorot misterius.
Pria itu berjalan mendekat dan membuat ibu dua anak ini terlihat gugup.
“Saya tetangga baru. Anaknya Pak Hanin dan Bu Dia. Pagi tadi kita belum sempat bertemu, nama saya Kendrick.” Pria itu mengulurkan sebuah bingkisan cantik.
“Oh, iya, saya malah baru tahu kalau ada tetangga baru.” Bibirnya mengulas senyum tipis, “nama saya Kirana.”
Pria itu tersenyum. “Kalau begitu saya pamit, mau beres-beres dulu.”
“Silakan. Makasih bingkisan cantiknya.”
Kirana masuk ke rumah, meletakkan bingkisan di atas meja tamu dan segera menuju dapur. Dia butuh air dingin untuk mendinginkan seluruh tubuhnya.
Bibirnya meneguk minuman diiringi air mata yang kembali memupuk, tetapi tak berani tumpah karena sang pemilik sudah berjanji tak akan menangis lagi.
Membayangkan kejadian tadi membuat pikiran itu kosong, tak tahu harus menanggapi apa. Tega sekali ibu dan anak itu mengatakan hal lain dan membuatnya terlihat buruk di mata suami dan tetangga. Kedua wanita itu seperti ingin mempermalukan dirinya.
Luka-luka yang dirasakan memang tak terlihat, tidak membekas, tetapi begitu dalam menghancurkan hatinya hingga remuk tak bersisa.
Tidak ada lagi sandaran yang bisa menguatkan selain kedua anaknya. Dua malaikat yang dititipkan Tuhan untuk melengkapi kehidupan pernikahannya.
Meskipun dulu kedua orang tua mereka menolak, tetapi ada Zidan yang selalu ada bersama baik susah maupun senang. Sekarang tidak ada lagi, dia harus berdiri seorang diri melihat sang suami bahkan ikut memusuhinya.
Kamu kuat, kamu wanita hebat, jangan biarkan air matamu turun sia-sia, batin Kirana.
...✿✿✿...
Ternyata melupakan memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Sudah seminggu Kirana mengobati diri untuk melupakan sosok pria yang saat ini tak tahu di mana keberadaannya. Entah masih sehat, sudah sekarat atau mungkin sudah di timbun dalam tanah. Pria itu tak pernah kembali semenjak keributan mereka yang terakhir.
Semenjak saat itu tutup sudah perasaan cintanya kepada sang suami. Ini bukan sekadar rasa cinta saja, tetapi juga logika yang harus tetap berjalan.
Pertanyaan tentang sang ayah yang tak kunjung pulang sering ditanyakan oleh sang anak, tetapi dengan penuh kelembutan Kirana selalu menjawab bahwa ayah mereka sedang ke luar kota. Apalagi yang bisa dijelaskan saat ini? Dia tak mau membuat anak-anaknya terluka, cukup dia saja yang merasakan.
Kirana mulai bangkit, dia tak bisa seperti ini terus.
Di suatu sore dia tengah menghabiskan waktu bersama kedua anaknya. Kirana ingin menyampaikan sesuatu kepada kedua anaknya tentang rencana yang sudah disusun.
“Rina, Lina, kalau mama kerja lagi, boleh nggak?”
“Hah?!” Mereka berdua terlihat terkejut.
“Kenapa Ma?” tanya Rina.
“Mama harus cari uang biar kalian bisa tetap lanjut sekolah.”
“Kan, ada papa.” Kirana memaksa senyum di bibirnya.
“Kalau kerja bersama nanti uang kami cepat banyak. Kalau papa yang kerja sendirian uangnya nggak banyak-banyak,” kilahnya sambil meringis.
Rina menganggukkan kepala tanda mengerti.
“Boleh nggak?”
“Boleh. Kalau uang mama banyak kita bisa liburan lagi ya?” Lina yang polos menyahut dengan mimik menggemaskan.
“Bener tuh, nanti kita bisa liburan lagi. Jalan-jalan ke manapun yang kalian mau.”
“Boleh, mama boleh kerja,” sahut Lina terlihat antusias.
Mau tak mau Kirana menyunggingkan senyum walau ada rasa pedih di hati. Sebenarnya dia masih memiliki tabungan yang lumayan banyak, tetapi hidup harus terus berjalan dia tak bisa menggantungkan hidupnya hanya pada tabungan yang akan habis jika terus dipakai tanpa ada pemasukan.
“Nanti kalian di rumah sama Mbak Win . Berangkat sama mama, pulangnya sama Mbak Win.”
“Iya, Ma.”
Satu masalah terselesaikan. Kirana segera menghubungi para sahabatnya untuk meminta info lowongan kerja dan pada saat itu Anita menyarankan dirinya kembali ke kantor lama.
Sebenarnya ingin, tetapi di kantor lama tentu dia akan bertemu dengan Zidan karena pria itu juga bekerja di sana. Kirana menolak karena tak mau jika masalah rumah tangganya diketahui banyak orang.
Sambil menunggu info dari sahabatnya, Kirana menyiapkan beberapa berkas yang diperlukan.
Derai air mata memang tak lagi keluar dari matanya, tetapi sakit hati yang dirasa semakin dalam dan begitu menyesakan.
To Be Continue ....