Aruna dan Nathan adalah dua sahabat yang udah saling kenal sejak kecil. Hubungan mereka simpel banget, selalu saling mendukung tanpa drama. Tapi, ada satu rahasia besar yang disimpan Aruna: dia udah naksir Nathan selama bertahun-tahun.
Waktu Nathan mulai pacaran sama orang lain, hati Aruna mulai goyah. Dia harus pilih, terus memendam perasaan atau nekat bilang dan mungkin merusak persahabatan mereka. Sementara itu, Nathan juga ngerasa ada yang aneh, tapi dia nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi.
Lama-lama, beberapa kejadian kecil mulai mengungkap perasaan mereka yang selama ini tertahan. Sampai suatu hari, di tengah hujan deras, momen itu datang dan semua jadi jelas. Tapi, apakah cinta yang lama dipendam ini bakal jadi awal yang baru, atau malah jadi akhir dari segalanya?
Sekeping Rasa yang Tersembunyi adalah cerita tentang berani menghadapi perasaan, kehilangan, dan keindahan cinta yang tumbuh diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyler Austin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendengarkan Tanpa Menjadi Terlalu Terlibat
Hari itu terasa biasa saja. Gue udah mulai bisa move on dari apa yang terjadi, tapi tetap ada rasa kosong yang nggak bisa gue hilangin sepenuhnya. Gue terus berusaha untuk ngelangkah maju, meskipun hati gue masih ada sedikit ruang yang belum terisi.
Pagi ini, gue bangun lebih pagi dari biasanya. Gue pengen ngejaga rutinitas gue, supaya nggak terlalu banyak mikirin hal-hal yang nggak perlu. Gue sempet ngobrol sama Ibu tadi pagi, dan dia bilang kalau terkadang lo perlu waktu untuk nemuin kebahagiaan lo sendiri.
“Jangan buru-buru, Nak,” kata Ibu sambil nyeduh teh hangat buat gue. “Cinta itu datang dengan cara yang nggak lo duga.”
Gue cuma nyengir. Ibu memang selalu punya cara buat bikin gue tenang, bahkan di saat-saat gue lagi bingung. “Makasih, Bu,” jawab gue singkat.
Saat gue melangkah keluar rumah, Reyhan udah nungguin di depan. Seperti biasa, dia dengan senyum lebar yang nggak pernah absen. “Lo kelihatan lebih fresh hari ini, nih,” katanya sambil melirik ke arah gue yang baru keluar.
Gue cuma angkat bahu. “Ya, gue coba. Semoga hari ini lebih baik aja.”
Dia ngelirik jam tangannya, terus balik lagi liat gue. “Ngomong-ngomong, lo denger kabar tentang Nathan?”
Gue berhenti sebentar, seolah nunggu kalimat berikutnya. “Apa? Ada apa sama Nathan?”
Reyhan keliatan agak serius. “Dia baru aja ngalamin sedikit masalah di kantor. Gak tau deh, katanya ada tekanan kerjaan yang bikin dia jadi agak nggak fokus. Tapi, dia nggak cerita banyak.”
Gue langsung ngerasa cemas. Nathan, yang biasanya tampak tegar, tiba-tiba ngebuat gue mikir kalau mungkin dia butuh bantuan. Gue nggak bisa tinggal diam. “Gue harus cari tahu, Reyhan.”
Dia cuman ngangguk. “Gue ngerti. Lo peduli sama dia, kan?”
Gue cuma diem, nggak jawab. Terkadang, ngomong tentang perasaan kayak gini jadi berat. Tapi, lo tahu kan, kalau sahabat itu memang harus ada untuk satu sama lain.
Siang itu, gue mutusin buat ke kantor Nathan. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue merasa kayak ini hal yang perlu gue lakuin. Gue butuh ngomong sama dia, terutama setelah pesannya yang kemarin.
Sesampainya di sana, gue langsung ngeliat Nathan lagi duduk di meja kerjanya. Wajahnya keliatan capek dan kayaknya nggak seenerjik biasanya.
“Nathan,” suara gue agak pelan, dan dia langsung ngangkat kepala.
“Aruna… lo ke sini buat apa?” Tanyanya dengan nada agak kaget, tapi ada senyum tipis yang muncul di bibirnya.
Gue duduk di samping mejanya, berusaha untuk nggak keliatan canggung. “Gue cuma pengen nanya, lo baik-baik aja?”
Nathan keliatan bingung. “Gue? Ya, gue baik-baik aja kok.”
Tapi matanya nggak bisa bohong. Ada sesuatu yang dia sembunyiin. “Nathan, kalau ada yang lagi lo pikirin, gue di sini. Lo tahu itu.”
Dia terdiam sejenak, kayak mikir apakah dia harus cerita atau enggak. “Lo emang baik, Aruna. Tapi gue nggak mau lo ikutan pusing dengan masalah gue.”
Gue menatapnya, ngelihat dia lebih dalam. “Kadang, kalau lo diem aja, lo malah nambahin beban sendiri. Gue cuma pengen lo tahu, kalau lo gak sendirian.”
Nathan menarik napas panjang dan akhirnya, dengan pelan, dia mulai cerita.
Nathan terlihat ragu sejenak, tetapi akhirnya dia mulai membuka sedikit demi sedikit. “Gue lagi ngerasa berat aja belakangan ini. Kayaknya semuanya berjalan begitu cepat dan nggak sesuai sama yang gue bayangin.”
Gue bisa lihat kalau dia sedang berjuang dengan pikirannya sendiri. “Lo nggak sendirian, Nathan. Semua orang pasti ngalamin masa-masa kayak gini,” jawab gue pelan, mencoba untuk menenangkannya.
Dia menggeleng, tampak bimbang. “Tapi ini beda, Aruna. Ini tentang Keira. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue merasa ada sesuatu yang berubah. Gue nggak tahu kalau hubungan ini akan berjalan seperti yang gue harapin.”
Gue sedikit terkejut dengan pengakuannya. Keira dan Nathan selalu keliatan baik-baik aja, bahkan meski hubungan mereka agak baru. “Lo nggak yakin sama dia?” tanya gue dengan hati-hati.
Dia menatap gue sejenak, kayak dia lagi mikir sebelum jawab. “Bukan itu, sih. Gue nggak tahu kalau tiba-tiba banyak hal yang nggak sesuai harapan gue. Keira tuh punya banyak masalah juga, dan gue jadi ngerasa kayak nggak bisa bantuin dia. Kadang gue malah ngerasa dia nggak butuh gue.”
Gue meremas tangannya dengan lembut. “Nathan, lo nggak bisa bertanggung jawab buat semua masalah dia. Setiap orang punya prosesnya sendiri-sendiri. Lo nggak bisa jadi superhero buat semua orang, apalagi kalau lo juga lagi butuh ruang buat diri lo sendiri.”
Nathan diam. Dia jelas ngertiin apa yang gue bilang, tapi kayaknya dia masih bingung dengan perasaannya sendiri. “Tapi gue sayang sama dia, Aruna. Gue nggak mau kehilangan Keira.”
Gue tarik napas, berusaha supaya nggak terlalu terbawa perasaan. Gue tau gue harus berhati-hati, karena aku bisa jadi cuma jadi pendengar di sini, bukan yang lainnya. “Sayang itu bukan alasan buat terus bertahan kalau lo merasa itu nggak sehat buat lo, Nathan. Kalau lo bener-bener sayang, lo harus berani ngelepasin kalau itu yang terbaik buat keduanya.”
Gue bisa lihat wajahnya agak berubah. Mungkin dia nggak nyangka gue akan bilang begitu. “Maksud lo, lo nggak mau gue sama Keira lagi?”
“Gue nggak ngomong gitu, Nathan. Gue cuma bilang, kadang hal terbaik buat dua orang itu adalah untuk nggak bersama kalau itu justru bikin mereka lebih bingung.”
Ada jeda sejenak, dan gue bisa merasakan ketegangan di udara. Gue nggak mau menghakimi pilihan Nathan, apalagi soal Keira. Tapi, gue merasa dia perlu ngambil keputusan yang lebih tegas.
Beberapa menit kemudian, suasana di ruang kantor itu jadi lebih tenang. Nathan ngelirik ke arah gue dengan senyum kecil. “Lo bener-bener temen yang baik, Aruna. Kadang gue nggak ngerti kenapa gue malah merasa lebih nyaman ngobrol sama lo.”
Gue tersenyum. “Karena gue nggak pernah bikin lo merasa kayak lo harus memikul semuanya sendirian.”
Dia mengangguk pelan, matanya masih penuh pertanyaan. “Gue bakal mikir lebih lanjut soal ini. Mungkin gue butuh waktu.”
“Ya, lo bisa ambil waktu lo, Nathan. Yang penting, lo jujur sama diri lo sendiri.”
Gue bangkit dari kursi, siap untuk pergi. “Jangan lupa, kalau lo butuh sesuatu, gue di sini. Lo nggak sendiri.”
Gue meninggalkan ruangannya, dan meskipun gue nggak tau apa yang akan terjadi selanjutnya, gue merasa lega bisa ada untuknya. Sering kali, yang dibutuhkan orang bukan cuma solusi, tapi juga seseorang yang mau mendengarkan.
Hari itu berjalan cukup panjang, tapi rasanya hati gue lebih tenang setelah ngobrol sama Nathan. Gue tahu kalau dia masih kebingungan, tapi setidaknya dia udah bisa sedikit berbagi. Gue sendiri, meski udah ngasih nasehat, nggak bisa menahan perasaan gue yang juga sering terombang-ambing.
Sesampainya di rumah, gue langsung menuju kamar dan lempar badan ke tempat tidur. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu kamar gue mengganggu ketenangan.
“Aruna, bisa bicara sebentar?” suara Ibu gue terdengar dari luar.
Gue bangkit dan membuka pintu. “Ada apa, Bu?”
Ibu gue masuk, dan duduk di sisi tempat tidur gue. Wajahnya terlihat serius. “Gue denger cerita lo sama Nathan. Apa lo yakin dengan keputusan lo ngomong kayak gitu ke dia?”
Gue menarik napas, sedikit terkejut Ibu tahu tentang obrolan itu. “Lo kan tahu, Bu. Gue cuma ngasih pendapat, nggak lebih.”
Ibu gue menatap gue dengan mata yang tajam, tapi penuh kasih sayang. “Aruna, gue tahu lo peduli sama Nathan. Tapi lo harus hati-hati. Kadang kita nggak bisa cuma mikirin orang lain, tapi juga diri kita sendiri. Lo nggak pernah merasa cemas? Kalau lo udah terlalu terlibat, bisa-bisa lo jadi bingung juga.”
Gue terdiam. Kata-kata Ibu memang masuk akal, tapi di sisi lain, gue juga nggak bisa membiarkan Nathan terjebak dengan perasaan yang nggak jelas. “Gue cuma nggak mau dia salah jalan, Bu.”
Ibu tersenyum lembut. “Terkadang, seseorang harus melalui jalan mereka sendiri, Aruna. Meskipun kita peduli, kita nggak bisa selalu memutuskan untuk mereka. Itu keputusan mereka.”
Gue meresapi kata-kata Ibu. “Iya, Bu. Gue ngerti.”
Ibu gue kemudian bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. “Lo cukup bijak untuk tahu apa yang terbaik, tapi jangan lupakan diri lo sendiri di tengah-tengah semua ini. Lo harus tetap setia sama diri lo.”
Setelah Ibu pergi, gue kembali duduk di tempat tidur. Semua yang dia bilang benar. Gue peduli sama Nathan, tapi gue juga harus berhati-hati supaya nggak kehilangan diri sendiri. Gue harus lebih pintar membedakan kapan gue harus jadi teman, dan kapan gue harus menjaga jarak.
Pagi berikutnya, gue terbangun lebih awal. Gue ambil kopi dari dapur, duduk di depan jendela, dan menatap pemandangan pagi yang cerah. Pikiran gue masih berputar tentang Nathan, Keira, dan perasaan yang seringkali nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tapi gue tahu satu hal, gue nggak bisa terus-terusan ngikutin perasaan orang lain tanpa memperhatikan perasaan gue sendiri.
Dan meski semuanya tampak rumit, hidup harus tetap berjalan.