Affair With CEO
“Kirana, kamu pulang dulu ya ke rumah orang tuamu. Mas ada pekerjaan yang nggak bisa ditunda, kurang lebih satu bulan. Mas nggak mau kamu sendirian di rumah, lebih baik temani ibu saja. Itung-itung menghabiskan waktu di sana supaya dekat sama orang tua.”
Masih teringat jelas di benak Kirana ketika sang suami memintanya pulang ke rumah orang tua. Tanpa protes dia menyetujui usulan sang suami, tetapi ternyata permintaan suaminya memiliki makna lain.
Setelah mendapatkan kabar yang kurang menyenangkan, dia segera menyambar tas dan kunci mobil kemudian segera bergegas dari rumah sederhana milik orang tuanya.
“Ma, aku titip anak-anak dulu ya. Aku pergi sebentar,” ucap Kirana yang berpapasan dengan sang ibu di halaman.
“Mau ke mana kamu? Baru juga sehari udah keluyuran aja.” Sang ibu menatapnya dengan kesal, tetapi wajah paruh baya tersebut tak menunjukkan kemarahan.
“Aku mau pulang ke rumah Mas Zidan. Ada urusan.” Tanpa mengatakan apa pun lagi, Kirana segera bergegas pergi dari rumah.
Mobil yang dikendarai melaju dengan kecepatan tinggi mengingat lalu lintas di siang hari tak terlalu padat.
Tiba di rumah, Kirana tak melihat apa pun. Rumah tinggalnya terlihat sepi. Akhirnya Kirana memutuskan menuju rumah mertuanya yang ada di perumahan sebelah.
Seratus meter dari rumah mertuanya, dia bisa melihat rumah tersebut begitu ramai seperti sedang ada acara. Kirana menyunggingkan senyum sinis, matanya berkaca-kaca dengan bibir yang bergetar menahan tangis.
Sebelum turun, dia kembali merapikan penampilan dan riasannya supaya tak terlihat menyedihkan.
“Mas Zidan!” teriak Kirana keras ketika melihat sang suami menggandeng wanita lain yang lebih muda. Senyumnya mengembang dengan penuh kebahagiaan.
Mendengar suara teriakan, bukan hanya sang suami yang menoleh, semua orang ikut menoleh ke arahnya yang berdiri kaku sambil menatap mereka semua.
Terlihat Zidan terkejut dengan kedatangannya. Pria itu segera menghampiri istrinya bersama dengan wanita paruh baya dengan dandanan hedon.
“Kamu ngapain di sini, Kira?” tanya Zidan pelan.
Belum sempat Kirana menjawab, wanita paruh baya tersebut menarik Kirana menjauh sambil mencengkeram pergelangan tangannya.
“Ngapain kamu di sini? Jangan ganggu pernikahan anakku!” teriak wanita paruh baya tersebut di depan wajah Kirana.
“Anak ibu itu suamiku. Ayah dari anak-anakku!” balas Kirana ikut berteriak.
“Diam! Jangan keras-keras,” teriak wanita paruh baya tersebut sambil melotot marah.
“Kenapa harus diam Bu? Mas Zidan ini suamiku, ayah dari anak-anakku. Ibu kenapa tega melakukan ini.” Tangis Kirana seketika pecah, apalagi melihat sang suami yang diam saja tak mengatakan apa pun. Tidak melakukan pembelaan atau penjelasan.
“Tapi Zidan nggak bahagia sama kamu yang nggak bisa kasih dia anak laki-laki.”
Apa bedanya?
Anak laki-laki atau perempuan itu sama saja. Tidak ada bedanya, toh dikasihnya memang seperti itu.
Kalau memang Zidan tidak bahagia hidup bersamanya, kenapa pria itu tak menceraikannya saja baru menikah lagi dengan wanita yang diinginkan.
Kenapa harus mendua?
Kenapa harus berbuat curang seperti ini?
Kirana menoleh, menatap pria yang menjadi suaminya. Mata pria tersebut berkaca-kaca siap menumpahkan tangis, tetapi dengan cepat segera memalingkan wajah enggan menatapnya.
Lagi dan lagi, Kirana harus menelan kecewa melihat respons yang diberikan sang suami.
“Zidan, lebih baik kamu ceraikan saja wanita ini. Dia jadi wanita juga nggak guna!” Wanita paruh baya tersebut terus memprovokasi anaknya.
“Aku nggak akan menceraikan Kirana, Bu.” Zidan menjawab dengan pelan.
Belum sempat perdebatan yang dilakukan ketiga orang tersebut usai, datang sosok pengantin wanita menghampiri dengan wajah kesal.
“Kenapa malah di sini. Ini pernikahan kita loh, Mas. Ibu juga ngapain sih?” Wanita dengan kebaya pengantin tersebut mengomel sebelum matanya melirik ke arah Kirana sinis. “Ini lagi, istrimu ngapain ke sini. Katanya udah diungsikan, kok masih ganggu acara kita sih, Mas.” Wanita itu menatap Zidan dan mertuanya dengan kesal.
Kirana hanya bisa mengepalkan tangan. Ketiga orang di hadapannya ini benar-benar tega. Membicarakan sesuatu tanpa peduli dengan perasaannya yang saat ini hancur berkeping-keping.
Ibu mertua, tidakkah kau sebagai sesama wanita memiliki sedikit empati?
Sebegitu tak punya perasaan kah mereka?
“Kirana, kamu pulang aja dulu. Kita bisa bicarakan ini di rumah,” ucap Zidan menatap Kirana singkat. Pria itu segera mengandeng pengantin wanita tersebut untuk masuk kembali ke dalam tenda acara.
Sebelum pergi, wanita yang menjadi mertuanya itu menatap Kirana dengan tatapan menghina. “Lihat, kan! Suamimu itu udah nggak mau sama kamu lagi. Jadi lebih baik kamu pulang aja, jangan ganggu di sini.” Setelah mengatakan kalimat yang menyakitkan, wanita paruh baya itu berjalan pergi meninggalkan Kirana yang hanya menatap datar.
Kirana memejamkan mata sejenak sambil mengatur emosinya. Setelah perasannya sedikit mereda, dengan cepat kakinya melangkah ke arah rumah mertuanya lagi.
Kirana mengangkat kursi plastik yang ada di sana dan melemparkannya asal hingga menimbulkan keributan.
Semua orang terkejut, mata mereka melebar dan bisik-bisik tetangga mulai menggema, tapi Kirana tak peduli. Matanya menatap tajam ke arah pelaminan di mana keluarga dari pengantin sedang ada di sana dengan pose yang siap dijepret kamera.
Kirana menggila, dia melemparkan kursi plastik tersebut ke arah pelaminan. Kakinya bahkan tak segan menendang meja hingga terbalik. Apa yang dilakukan menimbulkan kekacauan hingga menyebabkan mereka yang ada di sana bergidik takut melihatnya.
Suara pekikan ibu mertua dan mempelai wanita tersebut terdengar begitu histeris meneriaki Kirana dengan sebutan wanita gila. Apa pedulinya.
“Kirana!” pekik Zidan segera menghampiri dan mencekal tangannya, tapi Kirana segera menyentak pegangan tangan sang suami dengan kasar.
“Jangan sentuh aku Zidan Pranadipa!” teriak Kirana keras sambil mendorong pria itu mundur.
Kekacauan yang dibuat oleh Kirana disaksikan semua orang. Dia bukan hanya mengacaukan acara yang dibuat oleh mertuanya, tetapi juga menakuti para tamu yang hadir.
Emosi menguasai hingga membuatnya kalap menghancurkan pesta pernikahan suaminya.
Tak ada yang berani mendekat, tak ada yang berani menghentikan aksi gila Kirana, bahkan Zidan sendiri hanya melihat dengan kedua tangan yang mengepal.
Kirana dengan emosi yang membumbung tinggi, melemparkan kursi-kursi plastik, kakinya menendang meja hingga terbalik. Matanya menyorot tajam namun air matanya meleleh deras membasahi kedua pipinya. Tanpa diucapkan, cukup matanya saja sudah membuktikan banyak hal.
Kirana terluka.
“Cepat usir wanita gila ini!” teriak sang pengantin wanita membuat Kirana menoleh.
Kirana tersenyum tipis dengan bibir yang bergetar. Langkah kakinya menuju pelaminan hingga membuat beberapa orang yang ada di sana segera berhambur karena ketakutan.
“Wanita gila ini adalah istri sah dari suamimu. Istri pertamanya!” sahut Kirana dengan penuh penekanan.
Kirana berdiri di depan sang pengantin baru yang menatapnya dengan tatapan menghina. Kepalanya menoleh kembali ke arah kumpulan tamu yang menatap dengan takut.
“Kalian semua yang ada di sini tahu nggak kalau pria ini, dia adalah suamiku, ayah dari dua anakku. Bahkan sampai saat ini statusnya masih sah menjadi suamiku. Tapi bisa-bisanya dia menikahi wanita lain tanpa seizin istrinya, apalagi dengan tidak tahu malu mereka mengadakan pesta besar seperti ini,” ucap Kirana lantang membuat beberapa orang yang tidak tahu, menampakkan wajah terkejut. “Dan seharusnya, yang menjadi pertanyaan adalah ... bagaimana caranya mereka bisa menikah secara sah sementara saya sebagai istri pertama saja tidak mengetahui?”
“Kamu sudah menandatangani surat persetujuan, Kira!” teriak Zidan menyangkal.
“Kapan? Aku tidak pernah sekali pun menandatangani persetujuan pernikahan keduamu,” sahut Kirana.
“Tapi aku punya bukti kamu telah menyetujui pernikahan ini dengan persetujuan di atas materai.” Senyum tersungging di bibir pengantin wanita mendengar ucapan Zidan.
Kirana mencoba mengingat. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Tawanya pecah dengan keras sembari menggeleng pelan. Jika benar dugaannya, maka suaminya itu memang menipu, karena tanda tangan yang diberikan untuk surat persetujuan Zidan tugas ke luar kota.
“Kamu menipuku. Kamu memanipulasi isinya.”
“Apa pun yang kamu katakan itu nggak akan mengubah apa pun, Kira. Mereka sudah resmi menikah secara sah hukum dan agama,” sahut wanita paruh baya yang tak lain adalah ibunya Zidan.
“Kalian lihat? Suami dan mertuaku mendukung pernikahan yang jelas-jelas tanpa persetujuan istri pertama.” Bisik-bisik mulai terdengar dari para tetangga.
“Hentikan, Kira! Lebih baik kamu pulang!” bentak Zidan sambil menyeret Kirana turun dari atas pelaminan.
Sebelum benar-benar keluar dari tenda hajatan, Kirana menoleh ke belakang menatap semua orang yang saat ini tengah menatapnya. Ada yang menatap iba, ada pula yang menatap sinis.
“Nggak apa-apa ibu perlakukan aku kayak gini. Ingat Bu, Anda masih punya anak perempuan. Semoga anak ibu tidak akan mengalami hal kayak gini,” ucap Kirana pelan kemudian menyentak tangan suaminya hingga genggaman terlepas. Matanya menatap tajam suaminya sebelum kembali melanjutkan, “Dan semoga kamu nggak menyesal dengan apa yang telah kamu lakukan, Mas.” Setelah mengatakan kalimat terakhirnya, Kirana segera bergegas pergi.
To Be Continue ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Dwisur
langsung like yaa...catat
2024-11-14
0
Anonymous
k
2024-10-14
0
Anonymous
j
2024-10-11
0