Celia adalah seorang ibu tunggal yang menjalani kehidupan sederhana di kota Bandung. Setiap hari, dia bekerja keras di toko perkakas milik ayahnya dan bekerja di bengkel milik seorang kenalan. Celia dikenal sebagai wanita tangguh, tapi ada sisi dirinya yang jarang diketahui orang, sebuah rahasia yang telah dia sembunyikan selama bertahun-tahun.
Suatu hari, teman dekatnya membawa kabar menarik bahwa seorang bintang basket terkenal akan datang ke kota mereka untuk diberi kehormatan oleh walikota dan menjalani terapi pemulihan setelah mengalami cedera kaki. Kehebohan mulai menyelimuti, tapi bagi Celia, kabar itu adalah awal dari kekhawatirannya. Sosok bintang basket tersebut, Ethan Aditya Pratama, bukan hanya seorang selebriti bagi Celia—dia adalah bagian dari masa lalu yang telah berusaha dia hindari.
Kedatangan Ethan mengancam untuk membuka rahasia yang selama ini Celia sembunyikan, rahasia yang dapat mengubah hidupnya dan hidup putra kecilnya yang telah dia besarkan seorang diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
YA TUHAN
Celia memasuki kedai kecil untuk makan siang. Saat dia hendak keluar, dia bertabrakan dengan Maria. Tenggorokannya langsung terasa kering.
"Kita perlu bicara," kata Maria sambil melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada yang melihat mereka.
"Iya," Celia berhasil menjawab sambil mengikuti Maria ke salah satu bilik di bagian belakang.
"Saya pesan kopi untuk diminum di sini, tolong," kata Maria kepada pelayan yang bekerja di balik meja.
Celia duduk dan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
"Aku tahu ada sesuatu tentangmu," kata Maria sambil duduk di bilik yang sama. "Kamu jarang muncul, kamu mengantarkan toples langsung ke rumahku supaya aku tidak perlu berjalan ke toko. Kupikir kamu hanya ingin berbuat baik." Maria berhenti sejenak dan meletakkan tangan di dagunya. "Aku akan berasumsi anakku sama sekali tidak tahu."
"Tidak, dia tidak tahu," jawab Celia, sambil memegang makan siangnya dan menghindari tatapan Maria.
"Silakan makan, tidak ada gunanya membiarkan dirimu kelaparan," kata Maria sambil meraih tas dari tangan Celia. Dia mengeluarkan isi tas itu dan menyusun makanan di depannya.
"Berapa usianya?"
"Sembilan, dua bulan lagi dia akan berusia sepuluh," jawab Celia dengan suara pelan, mengambil satu kentang goreng.
"Apakah dia sehat?" tanya Maria dengan suara bergetar.
Celia mengangkat wajahnya dan melihat rasa sakit di wajah Maria. Dia merasa telah membuat kesalahan besar.
"Sangat sehat. Dia makan semua sayurannya dan sangat baik di sekolah." Celia menatap kentang goreng di tangannya. "Maaf aku tidak pernah—"
"Tidak apa-apa. Aku mengerti beberapa hal tentang hidup," Maria tersenyum kepada pelayan yang membawakan kopinya, lalu menerimanya dengan rasa syukur.
"Semua ini pasti terjadi di tahun terakhirmu di sekolah, menjelang kelulusan, kan? Itu kira-kira saat kamu berhenti datang ke rumah untuk belajar bersama Ethan," katanya sambil kembali menatap Celia.
"Ya," jawab Celia dengan pelan, memasukkan kentang goreng ke mulutnya.
"Aku melihat caranya menatapmu, dan aku tahu kamu itu istimewa," kata Maria sambil menyeruput kopinya. "Dia sangat menyukaimu."
"Tapi ternyata tidak cukup," sahut Celia dengan helaan napas.
"Apa yang terjadi?" tanya Maria sambil meraih tangan Celia di atas meja.
Celia menatap Maria sejenak lalu mengangkat bahu. "Dia hanya ingin berteman. Dia dapat beasiswanya, semuanya sudah siap untuknya." Mata Celia mulai berkaca-kaca. "Aku tidak punya hati untuk menghentikannya."
"Lalu bagaimana dengan masa depanmu sendiri?" tanya Maria, tatapannya penuh perhatian. "Bukankah kamu punya rencana juga?"
Celia mengangkat bahu lagi sambil buru-buru menghapus air matanya. "Tentu saja aku punya, tapi apa pilihanku waktu itu? Aku harus mengurus ayah, Rion, dan toko." Celia berhenti sejenak, menatap makanan di depannya. "Seorang gadis tujuh belas tahun yang hamil tidak punya banyak pilihan."
Maria diam beberapa saat, tampak memikirkan sesuatu. "Apakah kamu berencana memberitahunya?"
Celia kembali mengangkat bahu. "Dia tidak menginginkanku waktu itu, apa yang membuatmu yakin dia akan menginginkanku sekarang? Apalagi kalau aku bilang sudah sembilan tahun aku menyembunyikan anaknya darinya."
Maria mengangkat cangkirnya lagi dan menyeruput kopinya. "Aku tidak tahu harus berpikir apa."
Celia mengambil sandwichnya dan mulai makan. Dia pun tidak tahu harus berpikir apa, apalagi harus mengatakan apa.
"Rion punya nama tengah?" tanya Maria.
Celia mengangguk. Setelah menelan makanannya, dia berdeham sebelum menjawab. "Arion Aditya Wiguna."
Maria tersenyum dan menggigit bibir bawahnya.
"Aku punya cucu," katanya sambil tertawa kecil, sementara Celia mengambil gigitan lain dari sandwich-nya. "Dan aku punya seorang putri."
Celia tersedak makanan yang baru saja dia telan sebelum berhasil menenangkan diri. "Putri?"
"Tentu saja kamu bagian dari keluarga kami. Kami tidak akan meninggalkanmu begitu saja," kata Maria dengan senyuman lembut. "Sayang, apa pun yang kamu butuhkan, kami ada di sini untukmu, karena kita keluarga."
"Aku tidak ingin merepotkan siapa pun, maksudku, Ayah, Rion, dan aku baik-baik saja," jawab Celia sambil memainkan makanannya. "Aku bekerja di bengkel, dan uangnya aku pakai untuk toko, untuk memenuhi kebutuhan Ayah dan rumah. Rion tidak pernah kekurangan apa pun yang dia butuhkan, dan aku selalu meluangkan waktu untuknya. Kami makan es krim setiap Minggu, menonton film bersama... Aku tidak mengharapkan apa-apa, sungguh."
"Celia," suara Maria menjadi lembut saat tangannya menutupi tangan Celia. Celia berhenti berbicara dan menatap wanita yang lebih tua itu di seberang meja. "Aku tahu kamu menjaga toko, bengkel, Rion, dan ayahmu. Tapi, sayang," Maria menarik tangannya kembali dan menghela napas panjang. "Siapa yang menjaga dirimu?"
Celia menunduk memandang piringnya. Adakalanya saat malam dia ingin disentuh, ingin di cium. Namun, dia memutuskan ini bukan saat yang tepat untuk menyebutkan hal itu. Sebagai gantinya, dia mengambil sepotong kentang goreng dan memasukkannya ke mulutnya.
"Kamu harus memberi tahu Ethan," kata Maria tegas.
Celia menghela napas panjang. "Aku tahu."
Maria menggelengkan kepala sambil menatap kopinya. "Semua akan baik-baik saja. Kita akan melewati ini bersama."
*****
Malam itu, Celia masuk ke rumah sambil menggandeng Rion. Dalam waktu setengah jam, dua harus kembali keluar untuk bertemu Ethan di depan kedai lama. Tubuhnya gemetar, kuku-kukunya hampir habis digigit. Celia memilah surat tagihan dan selebaran di tangannya. "Rion, mulai kerjakan PR-mu, ya."
"Ya, Mommy," jawab Rion patuh.
Celia memperhatikan anaknya berjalan ke kamar di ujung lorong, lalu dia menghela napas panjang dan mengusap lehernya dengan tangan yang bebas. Apa yang harus dia lakukan? Celia melangkah ke dapur dan meletakkan tumpukan surat di meja.
"Ayah?" panggilnya sambil berjalan ke ruang tamu. "Ayah?"
Celia melihat ayahnya duduk di kursi.
"Ya Tuhan, sudah kubilang berhenti tidur di kursi itu," gumamnya, lalu berjalan ke TV dan duduk di sofa di samping kursi ayahnya.
"Ayah?" panggil Celia lebih keras. Dia menoleh ke arah ayahnya, yang matanya setengah terbuka menatap layar televisi.
"Ayah?" Celia berdiri dari sofa, berjalan mendekat, dan menyentuh bahu ayahnya dengan lembut.
"Ayah, ini tidak lucu," katanya dengan suara pelan sambil berlutut di samping kursinya.
Celia memperhatikan ayahnya dengan cermat. Bibirnya tampak kebiruan, kulitnya pucat di area yang dulu berwarna sehat. Ruangan terasa mengecil di sekitarnya saat dia menyentuh leher ayahnya, mencari denyut nadi.
"Ayah?" sebuah air mata mengalir di pipinya.
"Mommy, apakah Kakek akan membantuku dengan tulisan tanganku?" suara Rion terdengar dari lorong.
"Rion, kembali ke kamarmu, Sayang," kata Celia sambil menghapus air matanya.
"Apakah Kakek baik-baik saja?" tanya Rion ragu, melangkah perlahan mendekat dan menatap kakeknya yang duduk di sofa.
Celia berdiri dengan cepat dan memblokir pandangan Rion dari kakeknya.
"Ibu butuh kamu menjadi anak yang sangat baik sekarang, ya? Tolong, Nak."
"Mommy?" Rion mencoba mengintip dari samping tubuhnya.
"Rion, tolong. Kembali ke kamarmu. Ibu janji akan ke sana dalam tiga menit, oke? Tolong, Sayang, pergi ke kamarmu sekarang," katanya sambil membimbingnya kembali ke lorong. Begitu Rion menghilang ke dalam kamarnya, Celia segera berlari kembali ke ruang tamu.
Ayahnya masih duduk dalam posisi yang sama seperti sebelumnya. Celia merasakan jari-jarinya mulai mati rasa karena dingin, tapi dia memaksa dirinya untuk mengangkat ponsel dan mengetik nomor sembilan satu satu. Suaranya bergetar, napasnya terengah-engah saat dia menjelaskan kepada operator bahwa dia membutuhkan ambulan segera.