Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Kepala Jian An terasa berat, pandangannya mulai kabur. Dunia di sekitarnya seakan berputar, membuatnya kehilangan keseimbangan. Dengan suara lirih, ia memanggil, “Banyu…” sebelum tubuhnya tiba-tiba melemas dan jatuh pingsan di hadapan Saka.
Saka yang semula berdiri dengan bingung langsung bergerak cepat menangkap tubuh Jian An sebelum menyentuh lantai. "Jian An! Hei, bangun!" panggil Saka dengan nada cemas, mengguncang tubuh wanita itu perlahan, tapi tak ada respon. Keringat dingin mulai mengalir di dahinya saat menyadari bahwa Jian An benar-benar tak sadarkan diri.
Dengan segera, Saka mengangkat tubuh Jian An dan membawanya ke sofa terdekat. Ia memanggil Pak Joyo, yang masih berada di sekitar hotel, melalui telepon. "Pak Joyo, segera hubungi dokter! Cepat!" ucapnya dengan nada tegas, meskipun hatinya diliputi kegelisahan.
Sementara menunggu bantuan, Saka memandangi wajah Jian An yang pucat. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan—siapa sebenarnya Jian An, dan mengapa ia terus menyebut nama Banyu? Ada sesuatu yang aneh dan tidak masuk akal tentang wanita ini, tapi ia merasa tidak bisa melepaskannya begitu saja.
Beberapa menit kemudian, dokter hotel tiba bersama Pak Joyo. Setelah memeriksa Jian An, dokter berkata, “Kemungkinan besar dia mengalami kelelahan parah, baik fisik maupun mental. Biarkan dia beristirahat dan hindari membuatnya terlalu cemas.” Kata-kata dokter itu membuat Saka semakin merasa bertanggung jawab. Ia hanya bisa mengangguk sambil memandangi Jian An yang masih terbaring lemah.
"Pak Joyo, siapkan kamar di rumahku. Aku ingin Jian An dirawat di rumah saja," perintah Saka dengan nada tegas, tatapannya tak lepas dari wajah pucat Jian An.
Pak Joyo yang berdiri di pintu langsung mengangguk. "Baik, Tuan Saka. Saya akan mengurus semuanya segera," jawabnya tanpa ragu, lalu bergegas keluar untuk menyiapkan segala kebutuhan.
Saka kembali memandangi Jian An yang masih terbaring lemah di sofa. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada wanita ini. Jian An terlihat begitu rapuh, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Saka merasa ia harus melindunginya, bahkan tanpa alasan yang jelas.
Ketika dokter memastikan kondisi Jian An cukup stabil untuk dipindahkan, Saka mengangkatnya dengan hati-hati. "Aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya, Jian An, tapi aku akan memastikan kamu baik-baik saja," gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Di perjalanan menuju rumah Saka, suasana terasa sunyi. Pak Joyo telah memastikan kamar tamu di rumah Saka siap dengan segala fasilitas. Begitu tiba, Saka sendiri yang meletakkan Jian An di tempat tidur. Saat melihat wanita itu tertidur pulas, ia menghela napas panjang. "Mungkin ini awal dari sesuatu yang lebih besar," pikirnya, sebelum melangkah keluar untuk memberi Jian An ruang istirahat.
***
Jian An terlelap, namun mimpinya membawa kembali kenangan yang begitu nyata. Dalam gelapnya mimpi itu, ia melihat dirinya sendiri sedang meronta-ronta, tangan dan kakinya terikat. Ia berteriak, memohon pertolongan, tapi suara itu seolah tak pernah keluar. Para penculik hanya tertawa sinis, membiarkan ketakutan menguasai dirinya.
Rasa sesak di dadanya semakin menjadi-jadi. Jian An bisa merasakan dinginnya air menyelimuti tubuhnya saat dilemparkan ke sumur tua. Ia berusaha berenang, tetapi udara semakin tipis, dan gelap semakin pekat. Rasa panik membuatnya bergerak liar, mencoba mencari pegangan, namun sia-sia.
Tiba-tiba, ia terbangun dengan napas terengah-engah. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar hebat. Ia memegang dadanya yang terasa nyeri, seolah masih berada di dasar sumur itu. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan pandangan matanya langsung menyapu ruangan asing yang kini ia tempati.
"Di mana aku?" gumamnya dengan suara gemetar. Bayangan mimpi itu masih terasa begitu nyata. Jian An mencoba mengatur napasnya, namun rasa trauma itu menolak untuk pergi. Ia memeluk lututnya erat-erat, tubuhnya menggigil, seolah mimpinya tadi bukan hanya kenangan, tapi juga peringatan akan bahaya yang terus mengintainya.
Langkah kaki terdengar mendekat. Pintu terbuka perlahan, dan wajah Saka muncul di baliknya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir. Jian An hanya menatapnya tanpa kata, matanya dipenuhi air mata yang tidak mampu ia tahan lagi.
Saka dengan cepat mendekat dan tanpa berpikir panjang, ia merangkul Jian An yang tubuhnya masih gemetar. Pelukan itu hangat dan penuh kepedulian, sesuatu yang Jian An butuhkan saat ini. Ia memejamkan matanya, air mata yang sudah tertahan pun akhirnya jatuh tanpa henti.
"Tenang, aku di sini. Kamu aman sekarang," ucap Saka dengan suara lembut, sambil mengusap punggung Jian An perlahan. Ia bisa merasakan betapa rapuhnya wanita ini, seolah seluruh dunia telah mengkhianatinya. Pelukan itu bukan sekadar untuk menenangkan Jian An, tetapi juga memberi keyakinan pada dirinya sendiri bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk membantu wanita ini.
Jian An menyandarkan kepalanya ke dada Saka, mendengar detak jantungnya yang teratur. "Aku... aku takut," katanya dengan suara bergetar. "Mereka... mereka melemparku ke sumur itu. Aku bisa merasakannya lagi..." Suaranya memudar menjadi isakan yang memilukan.
Saka mengeratkan pelukannya, mencoba mengalirkan kekuatan melalui sentuhannya. "Tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Aku janji," katanya mantap. "Kamu tidak perlu melawan ini sendirian. Aku akan memastikan kau baik-baik saja." Kata-kata itu terdengar tulus, meski dalam hatinya ia masih berusaha memahami kenapa ia merasa begitu bertanggung jawab atas Jian An.
Perlahan, isakan Jian An mereda. Ia mengangkat wajahnya, menatap Saka dengan mata yang masih basah. "Kenapa... kenapa kamu baik sekali padaku?" tanyanya pelan. Saka terdiam sesaat, mencoba mencari jawaban yang tepat. "Mungkin karena aku merasa... kamu adalah seseorang yang harus kulindungi," jawabnya akhirnya, membuat Jian An menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kebenaran di balik kata-kata itu.
***
Di masa lalu, di bawah bayang-bayang pohon besar dekat sumur tua, seorang wanita berdiri dengan tatapan penuh misteri. Kulitnya sawo matang, matanya biru cemerlang yang tampak tidak biasa, memancarkan kilau yang menyiratkan kekuatan besar. Namanya Ayu, seorang penjaga waktu, yang tugasnya menjaga keseimbangan takdir dan nasib. Ia adalah wanita yang mampu memutar roda waktu, maju atau mundur, sesuai kehendaknya.
Saat tubuh Jian An dilemparkan ke dalam sumur oleh para penjahat, Ayu mengamati dalam diam. Hatinya bergejolak melihat wanita muda itu kehilangan kesempatan untuk hidup. "Tidak, ini tidak seharusnya terjadi," gumamnya pelan. Dengan gerakan tangan yang anggun, ia mengeluarkan jam antik dari dalam lipatan kainnya. Jarum jam itu mulai bergerak cepat, memajukan waktu bagi Jian An, membawanya ke masa depan yang jauh, melintasi satu abad dari tempatnya berada.
"Aku memberimu kesempatan baru," bisik Ayu pelan, meski suaranya tak akan pernah didengar oleh Jian An. "Hidupmu terlalu berharga untuk berakhir di sini. Biarlah waktu membawa jawaban untuk semua luka yang kau alami."
Ketika tubuh Jian An lenyap dari air sumur, Ayu menghela napas panjang. Ia tahu bahwa memajukan waktu adalah keputusan yang berisiko. Jian An akan menghadapi dunia yang berbeda, penuh tantangan baru. Namun, itu lebih baik daripada membiarkannya mati tanpa perlawanan.
"Semoga kamu menemukan jalanmu, Jian An," Ayu berbisik, sebelum perlahan menghilang ke dalam bayangan hutan. Tugasnya selesai untuk saat ini, tetapi ia tahu bahwa waktu tidak pernah benar-benar berhenti. Jian An, yang kini berada di masa depan, membawa takdir baru yang mungkin akan mengubah segalanya.