NovelToon NovelToon
Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dokter Genius / Beda Usia / Roman-Angst Mafia
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.

Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.

Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 : Bodyguard atau pacar?

Jalan setapak menuju sekolah dipenuhi aroma embun dan dedaunan basah. Langit cerah setelah hujan semalam, dan suara langkah kaki Luna dan Amelia bergema di antara pepohonan. Amelia berjalan dengan riang, hampir melompat-lompat seperti anak kecil, senyum lebarnya tidak pernah pudar sejak keluar dari klinik.

"Dia benar-benar ganteng, kan?" tanya Amelia tiba-tiba, memutar tubuhnya untuk berjalan mundur menghadap Luna. "Aku yakin, kalau aku terus menunjukkan betapa berbakatnya aku, dia pasti akan jatuh cinta padaku!"

Luna melirik temannya dengan datar, lalu kembali memandang ke depan. "Kau ini aneh sekali, tahu?" gumamnya tanpa ekspresi.

"Aneh kenapa? Karena aku tahu apa yang kuinginkan?" Amelia menjawab dengan nada penuh percaya diri, memutar-mutar kuncir rambutnya. "Cinta itu seni, Luna. Dan aku sedang melukis masterpiece-ku."

Luna mendesah pelan, tangannya dimasukkan ke dalam saku seragam. Dia tidak pernah mengerti bagaimana Amelia bisa begitu bebas menunjukkan perasaan dan obsesinya. Bagi Luna, dunia seperti itu terlalu rumit dan tidak masuk akal.

Lagipula, dia sendiri tidak pernah punya waktu untuk memikirkan cinta. Sebagai gadis tomboy yang lebih suka memanjat pohon daripada berdandan, Luna terkenal di desa bukan karena pesonanya, tetapi karena keahliannya dalam bela diri. Anak-anak lelaki sering datang ke rumahnya, berusaha mengesankan Luna, tapi berakhir dengan wajah memar setelah kalah telak dalam sparing.

"Amelia, kau tahu, kalau saja mereka menang melawanku saat sparing, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk... ya, kau tahu," katanya santai, menyela lamunan Amelia.

"Pertimbangkan apa?" Amelia bertanya dengan penasaran.

"Mungkin pacaran," jawab Luna dengan nada biasa saja.

Amelia langsung terkejut, hampir tersandung batu kecil di jalan. "Apa?! Jadi alasanmu tidak pernah pacaran karena mereka kalah dalam sparing? Luna! kau tidak sedang melakukan audisi untuk memilih bodyguard!"

"Bagiku, cinta adalah tentang rasa hormat," jawab Luna santai. "Kalau mereka bahkan tidak bisa menang melawanku, bagaimana aku bisa menghormati mereka?"

Amelia berhenti, memandang Luna dengan tatapan tidak percaya. "Jadi kau mencari pacar atau bodyguard, Luna?"

"Keduanya," jawab Luna singkat, lalu berjalan mendahului Amelia.

Amelia hanya bisa menghela napas sambil mengejar Luna. "Astaga, kau benar-benar kasus spesial. Aku tidak tahu harus merasa kagum atau prihatin."

"Aku kasihan dengan calon kekasihmu nanti, paling tidak kurasa dia harus sekuat hulk untuk bisa menjinakkan hatimu" jawab Amelia lagi.

"Setidaknya aku tidak akan menjadi wanita bodoh hanya karena cinta yang tidak tepat" jawab Luna ringan.

Amelia terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Luna. Tatapannya perlahan melembut saat ia mengingat latar belakang sahabatnya itu—pengkhianatan yang dialami ibunya, perpisahan pahit yang menghancurkan keluarga Luna, dan kesepian yang diam-diam dirasakan Luna sejak kecil. Semua itu membuat Amelia memahami alasan di balik sikap keras dan sinis Luna terhadap cinta.

Ketika Luna masih berusia delapan tahun, dunianya berubah drastis. Ayahnya pergi, membawa serta wanita lain dan seorang anak perempuan yang seusia dengannya. Luna kecil, meskipun tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi, merasakan ada sesuatu yang salah. Namun, ia tidak mampu melawan atau berbicara. Semua perasaan itu terkubur dalam diam—terutama saat ibunya meninggal dunia, dihantam depresi yang tak tertahankan.

Luna mungkin tak pernah mengungkapkan luka itu, tetapi Amelia tahu, rasa sakit itu masih ada, tersembunyi di balik sikap kerasnya. Sebagai sahabat, Amelia bisa melihat betapa hati Luna terlindungi oleh tembok tinggi yang dibangun sejak lama.

Amelia menghentikan langkahnya, lalu dengan ringan menepuk bahu Luna. “Hei,” katanya, mencoba menghidupkan suasana. “Kalau kau terus menolak semua pria hanya karena mereka selalu kalah denganmu dalam sparing, kapan aku bisa menari di pernikahanmu nanti?”

Luna menatapnya dengan alis terangkat. “Aku tidak butuh pria, Amelia. Aku baik-baik saja sendiri.”

Amelia menghela napas panjang, lalu tersenyum, kali ini dengan lebih tulus. “Baiklah, kalau kau tidak mau repot memilih pria, biarkan aku yang melakukannya untukmu. Aku akan menyeleksi yang terbaik. Pria yang kuat, sabar, dan... tentu saja, yang bisa menang dalam sparing denganmu,” godanya sambil terkikik.

Luna hanya mendengus kecil, tetapi tidak bisa menahan senyumnya. “Terserah kau saja,” katanya singkat, meski dalam hatinya ia merasa sedikit lega. Amelia memang selalu punya cara untuk membuatnya merasa tidak terlalu sendirian.

“Percayakan padaku!” Amelia menepuk dadanya dengan bangga. “Aku ini pakar cinta, ingat? Bahkan Lucius saja hampir terpikat padaku tadi pagi.”

Luna memutar bola matanya sambil melangkah kembali. “Kau terlalu percaya diri.”

“Dan kau terlalu sinis. Kita seimbang, kan?” balas Amelia dengan nada riang, mengejar langkah Luna.

Di tengah canda dan tawa mereka, Amelia berjanji dalam hatinya untuk terus mendukung Luna, apa pun yang terjadi. Karena, meski Luna terkenal sebagai gadis kuat dan garang, Amelia tahu bahwa di balik semua itu, ada hati yang masih belajar untuk percaya lagi.

...****************...

Manor keluarga Lucius berdiri megah di tengah perkebunan luas yang seakan tidak berujung. Dikelilingi oleh pagar besi hitam yang menjulang, rumah besar itu tampak angkuh dengan dinding batu abu-abu yang kokoh, dihiasi jendela-jendela kaca besar dengan bingkai emas yang memantulkan sinar matahari pagi. Di bagian depan, sebuah air mancur besar dengan patung kuda meliuk di tengahnya mempertegas kemewahan tempat itu, sementara deretan pohon cemara di sepanjang jalan masuk menambah aura misteri dan keagungan.

Di dalam manor, ruang tamu utama terlihat seperti aula istana. Lantainya terbuat dari marmer hitam mengilap, sementara langit-langit tinggi dihiasi lampu gantung kristal yang gemerlap. Lukisan-lukisan klasik bergaya Renaisans tergantung di dinding, memberikan sentuhan seni pada atmosfer ruangan yang dingin dan tegang. Di tengah ruangan, Robert—kepala keluarga sekaligus ayah Lucius—berdiri dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Pria paruh baya itu memiliki postur tinggi tegap dan rambut hitam beruban yang tersisir rapi. Matanya yang tajam menyiratkan kekuatan dan otoritas, tetapi saat ini, ada bayangan kecemasan yang tidak bisa ia sembunyikan.

Angela, kakak perempuan Lucius, berjalan mondar-mandir di sekitar ruangan dengan sepatu hak tingginya yang berderak di atas marmer. Wanita elegan dengan rambut panjang berwarna cokelat gelap itu mengenakan gaun merah menyala yang menonjolkan aura berbahayanya. Wajah cantiknya terlihat serius, nyaris tanpa ekspresi, tetapi siapa pun yang mengenalnya tahu bahwa Angela sedang marah. Sang kakak terkenal sebagai wanita cerdas yang memegang kendali di beberapa cabang bisnis keluarga, namun malam ini, bahkan kecerdasannya tidak mampu menenangkan situasi.

"Sudah satu bulan, dan kita bahkan tidak tahu apakah Lucius masih hidup," suara Angela terdengar dingin, tetapi ada sedikit getaran yang menandakan kecemasannya. "Bagaimana mungkin seluruh jaringan kita tidak bisa menemukan satu orang?"

Di depannya, tiga pria berpakaian serba hitam dengan jas mahal berdiri diam seperti patung. Salah satu dari mereka, seorang pria dengan bekas luka di pipinya, memberanikan diri untuk berbicara. "Maafkan kami, Nona Angela. Kami sudah memeriksa semua tempat yang biasa dikunjungi tuan muda, tetapi hasilnya nihil. Informan terakhir kami melaporkan bahwa dia diserang oleh musuh bebuyutan keluarga di luar kota, namun kami tidak menemukan bukti yang jelas."

Robert menghela napas panjang, tangannya mengepal di belakang punggungnya. "Musuh bebuyutan, katamu?" suaranya rendah, tetapi penuh ancaman. "Kalau itu benar, maka ini bukan hanya serangan pada Lucius. Ini adalah penghinaan pada keluarga kita."

Angela berhenti berjalan, menatap langsung ke arah pria itu dengan mata yang menyipit. "Apa ada kemungkinan mereka menyembunyikan Lucius? Atau mungkin dia masih dalam pelarian?"

Pria itu hanya bisa menggeleng, wajahnya penuh ketegangan. "Kami belum bisa memastikan, Nona. Tapi kami terus mencari jejaknya."

Robert melangkah ke depan, menghentikan percakapan dengan gestur tangan. "Kita tidak punya waktu untuk menunggu. Gandakan pencarian. Sebarkan orang-orang ke seluruh wilayah, termasuk ke tempat-tempat yang tidak terpikirkan. Lucius harus ditemukan—hidup atau mati."

Ketiga pria itu menundukkan kepala seraya menjawab serempak, "Siap, Tuan!" Mereka segera pergi meninggalkan ruangan, suara sepatu mereka memantul di sepanjang koridor panjang.

Angela menatap ayahnya dengan alis terangkat. "Daddy, kau yakin dia masih hidup?"

Robert terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman belakang manor. Angin malam meniup tirai tipis yang menjuntai, membawa hawa dingin ke dalam ruangan. "Lucius bukan anak yang mudah ditaklukkan," jawabnya akhirnya, suaranya dipenuhi keyakinan. "Dia mungkin terluka, tapi aku yakin dia akan kembali. Dan ketika itu terjadi, dia akan memberi tahu kita siapa yang berani menyentuhnya."

Angela tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya berdiri di samping ayahnya, menatap ke luar jendela dengan tatapan penuh tekad. Di dalam hati, ia berjanji bahwa siapa pun yang melukai adiknya akan membayar mahal.

...****************...

1
dheey
bagussss luna!!!
Ratna Fika Ajah
Luar biasa
Nurwana
mo tanya thor... emang umur Luna dan Lucius berapa???
Seraphine: Perbedaan usia 8 tahun
Jadi waktu Luna masih SMA dia 18 tahun.
dan si Lucius ini ngempet dulu buat deketin Luna sampai si Luna lulus jadi dokter dulu, karena bab2 awal dia masih abege 🤣✌️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!