Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan
Mentari pagi perlahan muncul di balik bukit-bukit hijau yang membingkai pedesaan kecil itu. Kabut tipis masih menggantung rendah di atas hamparan ladang bunga liar, sementara udara segar yang bercampur aroma tanah basah dan embun pagi menyelimuti suasana. Jalan setapak berbatu yang membelah desa itu berhiaskan rumah-rumah batu bergaya klasik Eropa dengan atap miring dan cerobong asap yang mengepul tipis. Di kejauhan, lonceng kecil gereja desa berdentang lembut, menandai dimulainya hari.
Ayam-ayam berkokok dari kandang-kandang kecil di halaman rumah penduduk, seolah berlomba membangunkan desa dari tidurnya. Di sebuah rumah yang juga berfungsi sebagai klinik, seorang pria tua berusia sekitar tujuh puluhan, dengan tubuh tegap namun rambut memutih sepenuhnya, membuka jendela kayu bercat hijau tua. Udara pagi menyergap masuk, membawa dengungan lebah dan kicauan burung pipit.
“Luna, kau sudah bangun?” panggilnya dengan suara lembut namun tegas.
Dari dalam, seorang gadis muda muncul, mengenakan gaun sederhana dengan apron putih yang terikat rapi di pinggangnya. Rambut hitamnya yang panjang diikat ke belakang, memperlihatkan wajah bersih yang masih membawa jejak kantuk. Luna tersenyum kecil kepada kakeknya, Antonius, yang tengah mempersiapkan klinik kecil mereka untuk melayani warga desa.
“Kakek, aku sudah menyusun daftar pasien hari ini,” kata Luna sambil menyerahkan sebuah buku catatan.
Antonius mengangguk dengan bangga, menyeka kacamatanya yang sedikit buram sebelum memakainya. “Bagus, kau selalu rapi dalam hal ini. Ayo, kita buka klinik.”
Saat mereka keluar ke halaman, jalanan mulai hidup. Beberapa warga desa melintas, membawa keranjang roti atau susu segar di atas kepala mereka. Dua anak kecil berlari-lari sambil tertawa riang, menginjak genangan air kecil di pinggir jalan.
“Pagi, Dokter Antonius!” sapa seorang pria tua yang membawa keranjang penuh apel merah.
“Pagi juga, Tuan Rolf,” jawab Antonius, senyumnya hangat seperti mentari yang mulai memanjat langit.
Luna, berdiri di samping kakeknya, ikut membalas senyuman itu. Suasana hangat dan kekeluargaan khas pedesaan terasa begitu kental. Klinik kecil itu adalah jantung desa, dan bagi Luna, bekerja bersama kakeknya adalah kebahagiaan sederhana yang tak tergantikan.
Hari itu, suasana klinik berjalan santai seperti biasanya. Luna sedang memeriksa persediaan obat-obatan di lemari, sementara kakeknya, Dokter Antonius, duduk di meja kayu tua, memoles stetoskopnya yang sudah bertahun-tahun menemaninya bekerja. Namun, ketenangan itu terusik ketika seseorang tergesa-gesa mengetuk pintu depan klinik.
“Dokter Antonius! Tolong bantu kami!” suara itu penuh kegelisahan.
Antonius segera bangkit dari kursinya, diikuti oleh Luna yang refleks meletakkan catatan di tangannya. Di depan pintu berdiri seorang pria dengan wajah pucat, memapah temannya yang kesakitan. Kaki temannya itu terluka cukup parah, darah segar mengalir membasahi celana dan sepatu bututnya.
“Dia terluka di ladang, kakinya menginjak kayu tajam,” kata pria itu dengan napas tersengal-sengal.
“Masuklah,” kata Antonius dengan tenang, menunjuk ke ruang pemeriksaan. “Luna, bantu aku menyiapkan peralatan.”
Tanpa membuang waktu, Luna berlari mengambil perlengkapan yang diperlukan. Kakeknya mulai membersihkan luka pria itu dengan tangan terampilnya yang sudah terbiasa menangani berbagai keadaan darurat. Luna memegang lampu, memastikan pencahayaan cukup untuk membantu kakeknya menjahit luka dengan presisi. Dalam waktu singkat, kaki pria itu sudah terbalut rapi.
“Terima kasih, Dokter,” kata pria yang membantu temannya, mengeluarkan beberapa lembar uang dari kantongnya. “Ini pembayaran untuk perawatan tadi.”
Namun, Antonius mengangkat tangannya, menolak uang itu dengan lembut namun tegas. “Simpanlah uangmu. Aku tahu istrimu akan segera melahirkan. Gunakan ini untuk keperluan istrimu dan bayimu nanti.”
Pria itu tampak terkejut. “Tapi, Dokter—”
Antonius tersenyum hangat, menepuk bahunya. “Kesehatan lebih penting daripada uang. Pastikan kau ada di sisi istrimu saat ia membutuhkanmu.”
Pria itu terdiam, lalu mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih. Tuhan memberkati Anda.” Setelah itu, mereka pergi meninggalkan klinik dengan rasa syukur yang mendalam.
Begitu pintu tertutup, Luna yang sejak tadi diam akhirnya membuka suara. “Kenapa Kakek tidak menerima uang itu? Kita butuh uang untuk membeli obat-obatan, kan?”
Antonius tersenyum kecil, menatap cucunya dengan bijak. “Luna, menjadi seorang dokter bukan sekadar soal menyembuhkan luka atau menerima bayaran. Ini tentang menjadi penopang bagi mereka yang tak punya pilihan. Ketika kita menolong seseorang tanpa pamrih, kita sedang memberi mereka kekuatan untuk melanjutkan hidup. Hari ini, kita membantu seorang ayah mempersiapkan kelahiran anaknya. Itu lebih berharga daripada uang.”
Luna terdiam mendengar kata-kata itu. Meski hatinya masih sedikit keberatan, dia tidak bisa membantah perkataan kakeknya yang memang mematok tarif pemeriksaan seikhlasnya kepada siapapun warga yang berobat padanya.
...****************...
Setelah selesai membantu kakeknya di klinik, Luna segera sibuk mengatur botol-botol obat ke dalam rak. Tangannya yang cekatan dengan terampil menyusun kotak-kotak kecil sesuai kategori. Namun, langkah seseorang yang cepat terdengar dari luar, diikuti suara ceria memanggil.
“Luna! Cepat ganti baju, kita bisa terlambat ke sekolah!” seru Amelia, sahabatnya yang sudah menunggu di depan pintu klinik dengan ransel di punggungnya.
Luna tersenyum tipis, segera berganti pakaian setelah menyelesaikan pekerjaannya sebelum berpamitan kepada kakeknya. “Aku pergi dulu, Kek. Jangan lupa sarapan, aku sudah memasak omelet kesukaan kakek,” ucapnya sambil merapikan seragam sekolahnya.
Antonius hanya tersenyum lembut, melambai sambil kembali memeriksa catatan medisnya. “Hati-hati di jalan, Luna.”
Luna dan Amelia berjalan bersama menuju sekolah, melewati jalan setapak berbatu yang diteduhi pohon-pohon rindang. Sesampainya di gerbang sekolah, suasana terasa berbeda. Kerumunan siswa berkumpul di depan papan buletin besar di tengah lapangan, semua mata tertuju pada selembar kertas panjang yang terpajang di sana.
“Nilai ujian kenaikan kelas,” gumam Amelia. “Ayo lihat!”
Namun, langkah Luna melambat. Perasaan tak nyaman menjalar di hatinya. Ia tahu hasil ujian bukanlah hal yang ia pedulikan, tapi tetap saja ia merasa deg-degan. Amelia menyeretnya mendekat, hingga mereka bisa melihat daftar nilai tersebut.
Nama Luna berada di posisi paling bawah. Huruf-huruf itu terasa mencolok di antara nama-nama lain. Beberapa siswa berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya.
“Serius? Luna di urutan terakhir lagi?”
“Gimana sih dia bisa terus naik kelas?”
Bisikan itu semakin tajam di telinga Luna, tapi ia berusaha mengabaikannya. Tiba-tiba, seorang guru datang menghampirinya.
“Luna, ikut saya ke ruang guru,” suara lembut itu berasal dari Ibu Grace, wali kelasnya.
Amelia menatap Luna dengan khawatir, tapi Luna hanya mengangguk pelan sebelum mengikuti langkah Ibu Grace. Mereka berjalan menyusuri lorong sekolah yang sepi, hingga akhirnya masuk ke ruang guru yang nyaman dan penuh buku.
Ibu Grace mempersilakan Luna duduk di kursi di depannya. Senyumnya lembut, tapi sorot matanya penuh kekhawatiran.
“Luna, saya tidak ingin menekanmu, tapi saya ingin tahu, apa ada sesuatu yang terjadi? Kenapa nilaimu tidak ada peningkatan? Saya tahu kamu anak yang cerdas.”
Luna terdiam. Kata-kata itu seperti pedang bermata dua. Ia ingin mengatakan kebenaran, bahwa ia lebih peduli membantu kakeknya di klinik daripada soal ujian sekolah, tapi ia tahu itu bukan alasan yang akan diterima.
“Saya baik-baik saja, Bu,” jawabnya singkat, menunduk.
Ibu Grace menghela napas, lalu mencondongkan tubuh ke depan, mencoba menangkap tatapan Luna. “Kamu tahu, nilai itu penting untuk masa depanmu. Kalau kamu mau menjadi dokter, kamu harus perhatikan nilai sekolahmu, supaya kamu bisa lolos ujian masuk"
"Saya belum tahu, apa saya ingin menjadi dokter seperti kakek atau tidak, saya belum memutuskan untuk hal itu bu" jawab Luna.
"Ya sudah, tapi ingat, kalau kamu mengalami kesulitan, kamu bisa datang pada saya. Sebagai wali kelasmu, saya berkewajiban untuk membantumu" jawab Ibu Grace lagi.
Luna mengangkat wajahnya, sedikit terkejut oleh ketulusan itu. Ia hanya mengangguk pelan. “Terima kasih, Bu.”
Setelah pertemuan itu, Luna keluar dari ruang guru dengan pikiran yang berkecamuk. Ia tahu dirinya bukan anak bodoh, tapi apakah orang lain bisa memahami apa yang ia lakukan selama ini? Dengan langkah pelan, ia berjalan kembali ke kelas, mencoba mengabaikan tatapan-tatapan yang terus mengekor ke arahnya.
Sementara disisi lain, ibu Grace menatapnya dengan tatapan khawatir, "Padahal dia adalah anak dengan kecerdasan tinggi, yang membuatnya mendapat tawaran masuk fakultas kedokteran saat dia berusia 15 tahun, beberapa tahun yang lalu. Anak jenius memang sulit ditebak isi hatinya" senyumnya dalam hati.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments