"Kamu serius Jas? Kamu merestui mama pacaran sama Arjuna? Temen kamu?" tanya Cahaya tak percaya. Senyum lebar mengembang di bibirnya.
"Lo nggak bohong kan Jas? Lo beneran bolehin gue pacaran sama nyokap Lo kan?" tanya Arjuna. Meskipun merasa aneh, tapi dia juga cukup senang. Berharap jika Jasmine tidak mengecewakan mereka.
Jasmine melihat sorot kebahagiaan dari mamanya dan Arjuna. Hatinya terasa sesak, benci. Sulit baginya menerima kenyataan bahwa Mamanya bahagia bersama Arjuna.
*
*
*
Hmm, penasaran dengan kelanjutannya? baca sekarang, dijamin bakal suka deh:)))
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Tunangan
Tak lama setelah itu bibi Jasmine atau yang dikenal dengan nama Kate datang menghampiri Jasmine di teras. Dia duduk di samping Jasmine, di anak tangga keramik.
"Lagi mikirin apa sih, Jas? Kok bengong gitu?" tanya Kate, tangannya lembut menyentuh pundak Jasmine. Jasmine tersentak, masih sedikit linglung. Ia butuh beberapa saat untuk mencerna situasi, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan bibinya.
"Tiba-tiba perasaanku nggak enak, Bi. Kira-kira kenapa ya? Kayak ada yang nggak beres, tapi aku nggak tahu apa," ujar Jasmine, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
Bibinya tersenyum lembut, "Mungkin cuma perasaanmu aja, Sayang. Jangan dipikirkan terlalu dalam. Ehm, Papa kamu lagi ngapain sekarang? Dia kerja apa?" tanyanya, mencoba mengalihkan perhatian Jasmine.
"Papa kerja kantoran, Bi. Lagi kerja, atau mungkin udah pulang," jawab Jasmine santai.
Sang bibi pun menimpali. "Oh, masih aktif kerja kantoran dia? nggak mau menekuni bakatnya lagi?" tanya bibinya.
Jasmine menggelengkan kepalanya. "Papa udah mutusin buat nggak nerusin bakatnya itu. Meskipun Papa bisa dibilang jago dan passionnya ada di sana, tapi papa nggak bisa ke sana. Bibi tau kan gimana papa dulu waktu jadi dokter?
Mama selalu ngeremehin, ngejek pekerjaan papa. Sampai akhirnya, Papa ngalamin musibah waktu kerja. Sejak itu, Papa trauma dan nggak mau jadi dokter lagi.
Bi, kayaknya ini udah sore banget. Aku pulang dulu ya, jarak dari sini ke rumah lumayan jauh. Takut kemaleman," kata Jasmine, sambil bangkit dari duduknya. Bibinya pun ikut berdiri.
Jasmine meraih tangan bibinya dan men-ci-um punggung tangannya.
"Ya udah kamu hati-hati ya pulangnya, kapan-kapan main ke sini lagi sama papa kamu. Bibi juga udah kangen banget sama papa kamu. Oh iya, kamu catat nomor bibi gih, biar bibi bisa hubungin kamu," kata Kate sambil merogoh saku bajunya dan mengeluarkan ponselnya. Dia membuka kontak dan memberikan ponselnya kepada Jasmine.
Jasmine menerima ponsel Kate dan mulai memasukkan nomornya. "Aku catat ya Bi,"
Setelah beberapa saat Jasmine selesai memasukkan nomornya di ponsel bibinya. Dia menyerahkan ponsel bibinya kembali kepadanya. "Jasmine pamit ya Bi," kata Jasmine
"Hati-hati," jawab Kate sembari melambaikan tangannya kepada Jasmine.
Jasmine pun berbalik, sembari berjalan dia memesan taksi untuk pulang, dan tak lama kemudian, kendaraan berwarna kuning itu sudah menanti di depan rumah bibinya.
Dengan senyum kecil, Jasmine menaiki taksi dan melaju meninggalkan rumah bibinya, menuju pulang ke rumahnya.
************
Jasmine baru saja sampai di depan rumahnya, ponselnya berdering. Dia mengira itu Bibi Kate, tapi ternyata nomor asing yang tertera di layar. Jasmine mengerutkan kening, sedikit ragu.
"Halo?" sahutnya.
"Dengan keluarga bapak Bima?" suara di seberang terdengar formal.
"Iya, saya putrinya, ini siapa ya?" tanya Jasmine, makin penasaran.
"Kami dari Rumah Sakit Sejahtera Medika. Bapak Bima baru saja mengalami kecelakaan dan saat ini sedang kritis di rumah sakit."
Kalimat itu membuat Jasmine terpaku. Matanya membulat sempurna.
"Kecelakaan? Baik, saya akan segera ke sana."
Dengan panik, Jasmine langsung mematikan telepon dan bergegas memesan taksi. Dia ingin segera melihat kondisi Papanya. Rasa takut dan khawatir memenuhi hatinya.
Saat taksi akhirnya datang, Jasmine langsung melompat masuk. "Ke Rumah Sakit Sejahtera Medika, Pak," ujarnya dengan suara sedikit gemetar.
Sepanjang perjalanan, Jasmine tak henti-hentinya berdoa. Dia berharap Papanya baik-baik saja. Dia berharap semua ini hanya mimpi buruk.
Saat taksi berhenti di depan rumah sakit. Jasmine merasakan jantungnya berdebar kencang, seakan ingin meloncat keluar dari dadanya. Dia langsung melangkah keluar, berlari secepat kilat menuju pintu masuk rumah sakit.
"Permisi, saya mencari Bapak Bima, pasien yang baru saja mengalami kecelakaan," ucapnya terengah-engah kepada petugas di meja informasi.
Petugas itu menunjuk ke arah ruangan di ujung lorong. "Oh, Bapak Bima dirawat di ruang ICU, Mbak," jawabnya.
Jasmine langsung berlari menuju ruangan ICU. Kakinya terasa berat, setiap langkahnya diiringi rasa takut yang merayap di hatinya. Dia membayangkan yang terburuk, tapi tetap berharap Papanya baik-baik saja.
Sampai di depan pintu ruangan, Jasmine menarik napas dalam-dalam. Jantungnya berdebar kencang, air mata tak henti-hentinya menetes, membasahi pipinya.
Dia menunggu dengan cemas, pikirannya dipenuhi dengan rasa khawatir. Dokter di dalam sedang menangani Papanya.
"Papa, jangan tinggalin Jasmine," racaunya, suaranya bercampur isak tangis.
********
Keesokan harinya Arjuna berangkat bekerja seperti biasa. Hari ini seperti hari sebelumnya dia mendapatkan kelas sore hingga malam.
Tapi karena bosnya akan mengajaknya ke Gardenia apartemen malam nanti, akhirnya ia pun memutuskan untuk izin tidak masuk kuliah. Saat ini, ia tengah melangkah memasuki gedung kantor, menuju ke bagian belakang.
Tiba-tiba, saat hendak berbelok, matanya menangkap sosok bosnya berdiri di dekat pintu belakang yang menjadi tujuannya. Bosnya terlihat bersandar santai ke tembok, kakinya mengetuk-ngetuk lantai, sementara tangannya terlipat di depan dada.
"Bu," sapa Arjuna ketika dia tiba di dekat bosnya. Bosnya yang semula menunduk, langsung mendongak, matanya bertemu dengan tatapan Arjuna.
Senyum tipis mengembang di bibirnya sejenak, sebelum kembali tergantikan oleh ekspresi wajahnya yang datar dan dingin.
Cahaya mengalihkan pandangannya, "Nanti kamu jangan lupa ya setelah jam kantor selesai kamu ikut saya ke Gardenia apartemen. Kamu pakai apa yang saya kasih kemarin dan datang ke taman yang gak jauh dari kantor. Saya akan tunggu kamu di sana," kata bosnya.
Arjuna hanya menatap bosnya, tak langsung menjawab. "Oh baik Bu," jawabnya singkat.
Keduanya terdiam sesaat, canggung.
Cahaya menoleh ke arah Arjuna. "Oke, itu saja yang ingin saya bicarakan. Kamu bisa kembali bekerja," ucapnya tegas. Selesai bicara, Cahaya berbalik dan kembali ke ruangannya. Arjuna pun kembali melanjutkan langkahnya, menuju ke bagian belakang untuk berganti pakaian seragamnya.
Malam harinya seperti yang sudah dijanjikan, Arjuna pergi ke parkiran untuk mengambil tas yang kemarin bosnya berikan kepadanya dari dalam jok motor. Begitu tas itu ada di tangan, ia kembali memasuki kantor, menuju kamar mandi karyawan di belakang.
Di dalam kamar mandi, Arjuna membuka tas itu. Di dalamnya, tersimpan pakaian dan aksesoris yang terlihat mewah dan elegan. Arjuna terkesima, matanya tak lepas dari setiap detailnya.
Tanpa ragu, ia langsung berganti pakaian. Sepatu dan aksesoris yang ada di dalam tas pun ikut menghiasi penampilannya.
Setelah berganti pakaian, Arjuna memasukkan baju-baju lamanya kembali ke dalam tas. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, senyum lebar terukir di wajahnya.
"Wuih, keren juga gue pakai baju mahal gini! Udah mirip Ferrel Bramasta, malah kayaknya gue lebih ganteng!" ujar Arjuna sambil memegang dagu, matanya berbinar-binar. Dia tersenyum puas, menatap pantulan dirinya di cermin.
Merasa sudah terlalu lama berlama-lama di kamar mandi, dan khawatir bosnya sudah menunggu, Arjuna buru-buru keluar dari kamar mandi. Dia bergegas meninggalkan kantor, berjalan kaki menuju taman yang tak jauh dari sana.
Motornya ditinggal di parkiran, tas dan baju-baju tadi dimasukkan ke jok motor.
Beberapa saat kemudian, Arjuna sampai di taman. Matanya langsung tertuju pada seorang wanita yang duduk di tengah taman. Cantik banget!
Wanita itu mengenakan gaun putih panjang, sobek sedikit di bagian bawah, memperlihatkan paha mulusnya saat dia menyilangkan kaki. Rambutnya terurai indah, riasan tipis tapi elegan, semakin mempertegas kecantikannya.
Arjuna tersenyum, terpesona. Dia berjalan mendekati wanita itu. Saat sudah dekat, Arjuna berdehem.
Wanita itu menoleh, matanya juga tertuju pada Arjuna. Mereka saling menatap, tak berkedip, sama-sama terpesona.
"Kenapa hari ini Arjuna ganteng banget ya?" Puji Cahaya di dalam hati. Tanpa sadar dia tersenyum, senyum yang disadari oleh Arjuna. Cahaya pun bangkit berdiri, dia dan Arjuna saling menatap tanpa berkedip.
"Bu Cahaya...cantik banget." Arjuna pun juga turut memuji Cahaya di dalam hati. Senyuman di bibirnya pun terbit, membuat Cahaya terkejut.
Tak lama setelah itu mereka pun sadar dan merasa canggung. Cahaya mengalihkan pandangan, begitu pula Arjuna.
"Kamu udah siap, Jun? Kalau udah, kita bisa berangkat sekarang," ucap Cahaya, raut wajahnya kembali datar dan tegas seperti biasanya. Suaranya pun terdengar lebih berwibawa.
Arjuna menoleh ke arah bosnya. "Sudah Bu," jawab Arjuna singkat.
Cahaya pun mengajak Arjuna ke mobilnya. "Masuk, Jun," katanya sambil membuka pintu belakang. Arjuna sedikit ragu, tapi akhirnya masuk dan duduk di samping bosnya.
Setelah keduanya duduk, sopir Cahaya langsung menyalakan mesin dan melajukan mobil. Cahaya menekan tombol di mobilnya, dan seketika sebuah pembatas muncul, seperti tembok yang memisahkan mereka dari dunia luar.
Dia juga menekan tombol lain untuk meredam suara dan menggelapkan kaca mobil. "Gini baru nyaman ngobrol," ucapnya di dalam hati.
"Jun, kamu mau uang kan?" tanya Cahaya tiba-tiba.
Arjuna menoleh, keningnya berkerut. "Mau Bu," jawabnya ragu-ragu.
Cahaya tersenyum miring, menunduk sebentar lalu kembali menatap Arjuna. Dia menyilangkan tangan di depan dada, membuat kedua gunung Fuji miliknya sedikit menonjol.
"Kita ke Gardenia apartemen hari ini untuk menghadiri ulang tahun rekan bisnis saya dan saya mengajak kamu Karena saya rasa kamu cocok untuk saya ajak ke sana," kata Cahaya. Matanya seperti menyiratkan banyak hal. Tajam tapi bukan marah. Seperti merencanakan banyak hal. Tapi tidak tahu itu apa.
Arjuna terkejut, sedikit heran dengan kata-kata bosnya. Dia pun menyahut. "Ulang tahun? Bukankah itu acara besar ya Bu? Saya kan cuma OB di kantor ibu, Kenapa harus saya yang diajak?
Kan ada karyawan lain yang lebih cocok, salah satunya Mbak Citra, dia kan cantik dan sekretaris ibu ya. Pasti lebih cocok jika Ibu ajak ke acara ini. Mas Bayu juga--" Arjuna tidak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba Cahaya memotong ucapannya.
Wajahnya terlihat marah. Atau tidak suka dengan kata-kata Arjuna. "Saya nggak minta kamu untuk berkomentar ya Jun! Saya cuma minta kamu untuk ikut dan menuruti kata-kata saya.
Setelah acara ini selesai saya juga akan kasih kamu uang kok, atau kalau kamu minta lebih saya juga bisa kasih. Jadi kamu diem aja dan nggak usah banyak komentar!" Cerocosan Cahaya membuat Arjuna terdiam mematung. Bosnya yang galak kembali hadir.
"Maaf Bu," kata Arjuna sembari memalingkan wajahnya ke arah lain, menghindari tatapan tajam bosnya.
Lalu Cahaya yang teringat sesuatupun segera menarik napas panjang, berusaha menenangkan amarahnya yang masih berkobar. "Kamu nanti kenalin diri kamu sebagai tunangan saya ya," ucap Cahaya, matanya masih tertuju pada Arjuna.
"Di sana, saya akan kenalin kamu ke semua rekan bisnis saya sebagai tunangan saya."
Arjuna tercengang. "Tunangan? Maksudnya, Bu?" tanyanya, wajahnya penuh tanda tanya. Dia masih belum mengerti maksud Cahaya.
Cahaya kembali menghela nafas, menggeleng pelan sambil menempelkan tangannya ke kening. "Kamu nanti tunangan saya Jun. Saya akan bersikap sedikit manis ke kamu, manja dan pegang tangan kamu.
Kamu jangan ngomong aneh-aneh di sana ya, diem aja. Jangan bikin saya malu!"
Arjuna mengerutkan kening, "Tapi saya kan jauh lebih muda dari Ibu, seumuran anak Ibu. Saya juga cuma OB, nggak ganteng-ganteng amat. Ibu nggak malu ngenalin saya ke mereka sebagai tunangan Ibu? Kenapa Ibu nggak cari orang lain aja?"
Arjuna mulai terbawa arus rencana Cahaya. Hari ini dia banyak bicara, membuat Cahaya senang sekaligus bingung menjawab semua pertanyaannya.
Di dalam hati, dia menggerutu. "Etdah, nih bocah bawel bener! Dari tadi nanya mulu! Diem aja kenapa sih!"
Cahaya menatap Arjuna tajam, sedikit mengangkat dagunya. "Inti dari pertanyaan kamu kenapa kamu yang saya ajak ke sana, daripada orang lain kan?" tanyanya, matanya menyipit.
Arjuna terkekeh, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Hehe, iya Bu," jawabnya.
Cahaya terlihat sedikit gugup. "Saya ngajak kamu karena... ah, udahlah. Nggak usah dibahas. Pokoknya nanti di sana, kamu tunangan saya, titik!" Cahaya menolak menjawab, membuat Arjuna mengerutkan kening curiga.
Bersambung ...