Melia menangis sejadi-jadinya saat terpaksa harus menerima perjodohan yang tak di inginkan. pasal nya melia sudah memilki kekasih yang begitu ia cintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspita.D, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Melia dan Arkan yang sedang berkunjung ke kampung ibunya, menjenguk Bu Winda yang ternyata sedang sakit sejak Rani menikah dan tak pernah memberikan kabar.
"Bu Winda apa yang ibu pikirkan, kenapa tubuh ibu sampai sekurus ini?" tanya Melia yang tak tega melihat tubuh Bu Winda yang dulu subur sekarang tunggal tulang terbungkus dengan kulit saja.
"Melia...kamu kan sekarang iparan sama Rani kalo boleh tau bagaimana kabar Rani, pasti sekarang dia sudah....melahirkan" lirih Bu Winda di ujung kalimat.
Melia dan Arkan saling melempar pandang tak tau harus jawab apa, pasalnya mereka sekarang tak tau kabar Rani sama sekali.
"Mmm i iya Rani baik-baik saja dia sudah melahirkan bayinya, jadi Bu Winda jangan cemaskan Rani. Di sana ada suaminya yang menjaganya" jawab Melia sedikit tergugup.
"Kenapa Radit tak pernah mengajak Rani mengunjungiku seperti kalian yang selalu mengunjungi Bu Indah" mata Bu Winda mulai berembun.
Tak kuasa melihat kesedihan wanita yang pernah menjadi bosnya dulu Arkan memilih untuk keluar ia duduk di kursi bambu di teras Bu Winda.
"Mungkin karna kondisi kak Radit yang tak memungkin kan jadi kak Radit tak bisa mengajak Rani kemari, tapi nanti sebisa mungkin aku kasih pengertian pada Rani untuk berkunjung kemari".
Melia berusaha membuat harapan untuk Bu Winda meski ia tak tau apakah harapan itu akan jadi nyata.
"Bu Winda aku pamit dulu ibuku pasti sudah kerepotan mengurus Juna, Bu Winda harus sembuh kalo ibu mau bertemu dengan Rani"
Melia dan Arkan meninggalkan rumah Bu Winda di perjalanan menuju rumah ibunya. Melia dan Arkan saling diam mereka sibuk dengan isi kepalanya masing-masing.
Hingga tanpa terasa mereka telah tiba di rumah Bu Indah.
"Loh duk ko cepet, gimana keadaan Bu Winda, pasti banyak pertanyaan yang di tanyakan tentang Rani" sapa Bu Indah.
"Iya bu rasanya aku nggak tega harus menyampaikan kabar buruknya" ucap Melia dengan lemah.
"Kabar buruk apa toh nduk?" tanya ibunya.
"Rani sudah tak tinggal bersama kak Radit lagi" jawab Melia penuh sesal.
"Loh kok bisa gitu?" Bu Indah begitu terkejut mendengar kabar dari putrinya.
"Ceritanya panjang bu" jawab Melia singkat.
"Ya sudah jangan di ceritain nggak baik juga terlalu ngomongin masalah orang lain" Melia mengangguk ia meraih Juna dalam gendongan ibunya.
"Duh anak ibu, gemesin banget sih pasti tadi ngerepotin nenek ya?" Melia mencium gemas pipi gembul Juna yang kini berusia 17 bulan.
"De' aku mau bicara" seru Arkan.
"Ngomong aja mas aku denger kok sambil nidurin Juna" ucap Melia.
"Tapi ini serius de'" ucap Arkan.
"Ya aku juga serius mas" seru Melia.
"Ya sudah tunggu lah Juna lelap dulu baru kita bicara" Arkan mengangguk setuju.
Setelah beberapa saat Juna akhirnya tertidur dengan lelapnya.
"Bicaralah mas kelihatannya penting" seru Melia.
Arkan mengumpulkan keberanian ia siap dengan segala konsekuen nya.
"Sebelum nya mas minta maaf de' karna nggak jujur sama kamu" ucap Arkan dengan helaan nafasnya yang berat.
"Memang mas nggak jujur pasal apa?" tanya Melia.
"Malam itu mas mengantar Rani ke kota sekalian mas beli ponsel untukmu" Arkan terdiam sejenak.
Mata melia sudah mulai memanas seolah bendungan air matanya akan jebol.
"Bukan mas sengaja menyembunyikan keberadaan Rani tapi mas tak punya keberanian untuk jujur sama kamu de'" ucap Arkan.
"Lalu apa saja yang sudah kalian lakukan mas sampai pulang selarut itu" seru Melia dengan suara bergetar, air mata yang semula ia tahan mengalir begitu saja di pipi mulusnya.
"Demi tuhan de' mas nggak melakukan apa-apa kamu kan tau dari kampung ke kota memakan waktu kurang lebih 2 jam" Arkan mencoba membela diri.
"Ya sudah mulai sekarang lakukan apa yang mas suka, aku nggak akan lagi ikut campur" Melia yang kecewa merasakan sesak dadanya.
"De' jangan ngomong gitu, mas tu cuma mau berkata jujur, kalo jujur selalu salah lebih baik besok-besok mas bohong aja terus" seru Arkan seolah tak mengerti akan kekecewaan istrinya.
"Baiklah kalo itu mau mu mas aku lelah ribut sama kamu lakukan saja yang menurutmu baik" Melia naik ke tempat tidur.
Arkan merasa frustasi lagi-lagi ia di abaikan istrinya karna hal sepele menurutnya.
Malam itu Arkan tak bisa tidur, ia terus berpikir bagaimana memperbaiki keadaan bersama istrinya.
Melia yang terlihat memejamkan mata pun sebenarnya ia tidak tidur hatinya dongkol karna Arkan sudah membohonginya.
Pagi hari Melia bangun lebih awal meski malam tak dapat tidur, Melia tetap harus mengurus Juna yang juga telah bangun.
"Nduk air panasnya sudah mendidih barangkali kamu mau buat kan kopi untuk suamimu" seru Bu Indah pada putri nya yang melamun saat menjaga Juna yang sedang bermain.
"Eh iya bu, mas Arkan masih tidur nampaknya" jawab Melia.
"Ya sudah ibu ke kebelakang dulu" ucap Bu Indah.
Melia tak menanggapi kembali ucapan ibunya.
Arkan yang baru bangun segera membersihkan diri ia berjalan mendekati istri dan anaknya.
"Anak bapak lagi main apa?" tanya Arkan berbasa-basi.
"De' kopi mas mana" kembali Arkan bertanya pada istrinya.
"Mas suruh saja Rani yang bikin, karna aku nggak lagi ada bagi mas" jawab Melia dengan nada ketus.
"Emang nya Rani ada disini" dengan bod*hnya Arka seolah menganggap serius ucapan istrinya.
"Mas cari saja kan cuma mas yang tau dimana dia, oh ya kabarkan juga kalo ibunya sedang sakit suruh dia untuk mengunjungi ibunya. Ayo sayang kita pergi saja sudah nggak nyaman bermain di sini"
Melia mengangkat tubuh Juna untuk pergi dari hadapan Arkan.
Arkan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Apalagi salahku" lirih Arkan.
"Loh nak Arkan sudah bangun, jok Melia belum buatin kopi" tanya Bu Indah yang di jawab dengan senyum kikuk Arkan.
"Sebentar ya ibu buatin kopi" Arkan merasa tak nyaman dengan ibu mertuanya itu.
"Biar Arkan bikin sendiri bu, tadi Melia sedang sibuk dengan Juna jadi tak sempat buatkan kopi" ujar Arkan berbohong.
"Bohong aja terus...." teriak Melia dari dalam kamar.
Bu Indah mengernyit, sedangkan Arkan cengengesan, menampak kan gigi-giginya.
"Hmm ya sudah ibu mau ke warung dulu, tapi bener bisa kan bikin kopi sendiri" tanya Bu Indah kurang yakin.
"Bisa bu bisa" setelah nya Bu Indah pergi.
Arkan membuat kopi, ia melirik Melia yang mengambil air putih di sampingnya.
"De' jangan diemin mas gini dong.." rengek Arkan seperti anak kecil.
"Makan nya jangan suka bohong" seru Melia lantas berlalu meninggalkan nya kembali.
"Bagaimana dengan mimpiku, Bu? Apa aku tak berhak untuk memiliki mimpi atau mewujudkannya?" Melia nelangsa, dengan derai air mata bla bla bla
semisal,
Di hadapan
Diduga
dan untuk nama menggunakan huruf kapital. Melia
dan untuk kata -nya itu digabung, bukan dipisah ya.