Aruna dan Nathan adalah dua sahabat yang udah saling kenal sejak kecil. Hubungan mereka simpel banget, selalu saling mendukung tanpa drama. Tapi, ada satu rahasia besar yang disimpan Aruna: dia udah naksir Nathan selama bertahun-tahun.
Waktu Nathan mulai pacaran sama orang lain, hati Aruna mulai goyah. Dia harus pilih, terus memendam perasaan atau nekat bilang dan mungkin merusak persahabatan mereka. Sementara itu, Nathan juga ngerasa ada yang aneh, tapi dia nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi.
Lama-lama, beberapa kejadian kecil mulai mengungkap perasaan mereka yang selama ini tertahan. Sampai suatu hari, di tengah hujan deras, momen itu datang dan semua jadi jelas. Tapi, apakah cinta yang lama dipendam ini bakal jadi awal yang baru, atau malah jadi akhir dari segalanya?
Sekeping Rasa yang Tersembunyi adalah cerita tentang berani menghadapi perasaan, kehilangan, dan keindahan cinta yang tumbuh diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Skyler Austin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antar Sahabat Dan Cinta
Hari itu hujan deras banget. Gue baru aja selesai rapat di kantor, dan mood gue langsung turun drastis. Gue butuh waktu buat nyendiri, jadi gue memutuskan buat ke kafe langganan. Kafe ini udah jadi tempat yang cukup nyaman buat gue sejak dulu, tempat di mana gue bisa ngerasa bebas tanpa gangguan dari siapa pun.
Saat gue masuk ke kafe, gue langsung disambut sama Anya, barista yang sering banget ngelayanin gue. “Pagi, Aruna. Mau pesen apa hari ini?” tanyanya sambil senyum.
“Air putih aja dulu, Anya. Gue lagi nggak mood buat kopi,” jawab gue sambil duduk di meja pojok, yang emang udah jadi tempat favorit gue.
Anya cuma angguk, terus langsung siapin pesanan gue. Gue lagi mikir keras, memikirkan apa yang terjadi belakangan ini. Perasaan gue campur aduk antara cemas, bingung, dan sedikit lega karena akhirnya gue bisa ngomongin perasaan gue ke Nathan.
Tapi, yang bikin gue bingung adalah, Keira. Gue nggak tahu harus gimana ngadepin kenyataan kalau Nathan udah punya hubungan sama dia. Apakah gue cuma bisa jadi sahabat, atau ada kemungkinan buat jadi lebih dari itu? Gue nggak mau ngerebut, tapi perasaan gue nggak bisa bohong.
Gue tiba-tiba denger suara langkah kaki yang mendekat, dan nggak lama, Nathan muncul di depan gue. Gue kaget. “Nathan? Lo ke sini?” gue tanya, meskipun sebenernya gue udah bisa nebak dia bakal datang.
Dia senyum, duduk di depan gue. “Iya, gue ngerasa kangen sama tempat ini,” jawabnya, sambil ngelirik meja yang penuh sama berbagai jenis kopi dan pastry.
“Gue baru aja ngomong sama Keira,” lanjut Nathan, matanya menatap gue dengan serius. “Dan… gue nggak tahu harus ngomong apa lagi, Aruna.”
Gue cuma ngelirik Nathan, merasa perasaan gue campur aduk. “Nathan, lo tahu kan, gue nggak pernah mau ganggu hubungan lo sama Keira. Gue cuma… pengen lo bahagia,” jawab gue sambil mencoba menahan perasaan yang mulai mengguncang hati gue.
Tapi, Nathan kelihatan nggak yakin. “Gue nggak tahu apa yang gue rasain sekarang, Aruna. Tapi satu hal yang pasti, gue nggak bisa terus pura-pura nggak ada yang salah di antara kita.”
Gue diem sejenak, mencoba mikir. “Apa lo serius, Nathan? Lo beneran merasa ada yang nggak beres?” tanya gue, suara gue bergetar sedikit.
Dia mengangguk. “Iya, gue merasa aneh banget. Gue nggak bisa nanggung perasaan gue yang belum selesai ini. Kita berdua udah lama saling mengenal, Aruna. Gue nggak bisa terus ngelihat lo cuma sebagai sahabat, sementara perasaan gue bilang lain.”
Perasaan gue tiba-tiba jadi makin berat. Gue tahu apa yang Nathan maksud, dan itu yang bikin gue bingung. Gue nggak bisa jawab apa-apa, cuma bisa diam dan mikir.
“Aruna, gue nggak ingin kehilangan lo, tapi gue juga nggak bisa ngelawan apa yang gue rasain,” Nathan melanjutkan, kali ini suaranya lebih lembut, kayak ada penyesalan.
Gue cuma bisa tarik napas panjang. Gue tahu, ini nggak gampang. “Gue juga nggak tahu, Nathan. Gue bingung, antara ngejaga perasaan gue atau ngeliat lo bahagia sama Keira.”
Di tengah-tengah obrolan itu, gue ngerasa ada yang berubah. Satu hal yang gue tahu pasti, perasaan yang gue simpen selama ini udah mulai terungkap, tapi entah nanti apa yang bakal terjadi, gue nggak bisa nentuin sekarang.
Anya datang bawa air putih gue, dan gue cuma bisa senyum canggung. “Makasih, Anya.”
Setelah itu, suasana antara gue dan Nathan cuma diem. Kedua perasaan kita udah keluar, tapi belum ada jawaban pasti. Gue ngerasa bingung, tapi mungkin, inilah jalan yang harus ditempuh.
Setelah beberapa saat diam, Nathan akhirnya membuka mulut lagi. “Aruna, lo tahu kan, gue nggak pernah mau bikin lo merasa nggak nyaman. Cuma aja, gue nggak bisa lagi ngelawan perasaan gue,” katanya pelan, seolah nggak yakin dengan apa yang dia ucapin.
Gue ngelihatnya, bingung dan galau. “Lo… Lo bener-bener serius, Nathan? Lo tahu kan, kita udah lama banget jadi sahabat. Gue nggak mau semuanya jadi berantakan,” jawab gue, suara gue agak bergetar, nggak bisa bohong kalau hati gue juga bingung.
Nathan menunduk, tangan digenggamnya erat. “Gue ngerti, Aruna. Gue ngerti banget kalo ini bakal jadi masalah besar, dan mungkin gue salah. Tapi gue juga nggak bisa terus pura-pura nggak ngerasain apa-apa,” katanya dengan tatapan yang penuh kebingungan dan penyesalan.
Gue pengen ngomong sesuatu, tapi kata-kata itu nggak keluar. Gue cuma bisa diam, berusaha mengendalikan perasaan yang bertarung dalam diri gue. Gue tau, kalo gue nyatain perasaan gue sekarang, semuanya bakal berubah. Tapi, apapun yang gue lakuin, perasaan ini nggak bisa lagi disembunyiin.
Lalu, suara tawa dari meja sebelah terdengar, dan gue melihat Keira, kekasih Nathan, masuk ke dalam kafe dengan senyum lebar. Matanya langsung nyari Nathan, dan pas dia ngeliat kita duduk bareng, ekspresinya langsung berubah, meskipun cuma sedikit.
Keira mendekat, “Oh, kalian lagi ngobrol ya?” tanyanya, suaranya terdengar agak dingin, meskipun dia berusaha kelihatan biasa saja.
Nathan langsung berdiri, “Keira, gue… Gue cuma lagi ngobrol sama Aruna. Nggak ada yang aneh kok,” ujarnya, terlihat agak canggung.
Gue bisa merasakan ketegangan itu, dan gue tahu Keira pasti ngerasa aneh. Gue buru-buru berdiri, ngambil tas gue, dan berkata, “Gue pamit dulu, ya. Jangan khawatir, Keira. Semua baik-baik aja.”
Keira cuma angguk pelan, tapi gue bisa lihat matanya yang nggak bisa bohong. Gue ngelirik Nathan, tapi dia cuma menggeleng pelan, mungkin nggak tahu harus ngomong apa lagi. Gue nggak mau bikin suasana jadi lebih awkward, jadi gue memilih untuk pergi.
Di luar kafe, hujan masih turun dengan deras. Gue jalan gontai di bawah hujan, mikir keras tentang apa yang baru aja terjadi. Keira ada di sana, dan gue nggak mau jadi orang ketiga. Tapi, perasaan gue yang udah lama terpendam itu nggak bisa lagi dipendam. Apa yang harus gue lakukan sekarang?
Tiba-tiba, ada seseorang yang nyamperin gue. Gue ngangkat muka, dan ternyata Reyhan, sahabat baru gue, yang kebetulan juga ada di kafe barusan.
“Aruna, lo kenapa? Kok buru-buru banget?” tanya Reyhan sambil melangkah cepat, ngikutin gue.
Gue cuma geleng-geleng kepala. “Nggak apa-apa, Reyhan. Cuma lagi… bingung aja,” jawab gue, tapi gue merasa capek banget.
Reyhan berhenti di depan gue, dan dia ngelihat gue dengan serius. “Lo nggak bisa terus kayak gini, Aruna. Gue bisa lihat dari cara lo ngomong dan ekspresi lo, ada sesuatu yang nggak beres. Lo harus ngadepin ini, bukan lari dari kenyataan,” katanya, suara Reyhan penuh keprihatinan.
Gue diem sejenak, ngeliat Reyhan. Gue nggak tahu kenapa, tapi sepertinya dia ngerti perasaan gue lebih dalam daripada yang gue kira. “Gue cuma nggak tahu harus gimana, Reyhan. Gue nggak mau ngerusak semuanya, tapi gue juga nggak bisa nahan perasaan gue lagi,” jawab gue, suara gue pelan.
Reyhan ngelirik gue, kayak ngasih kesempatan buat gue ngomong lebih banyak. “Kalau lo terus diam, lo cuma bakal nyakitin diri sendiri, Aruna. Kadang kita harus ngambil keputusan, walaupun itu berat.”
Gue menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Iya, gue tahu. Gue cuma nggak mau nyakitin Nathan atau Keira, dan gue nggak tahu apa yang harus gue pilih.”
Reyhan cuma tersenyum, tapi senyum itu penuh pengertian. “Lo nggak sendirian, Aruna. Gue yakin lo bisa nentuin jalan yang terbaik, lo cuma butuh waktu buat mikir.”
Gue cuma bisa angguk pelan, merasa sedikit lebih ringan setelah obrolan itu. Mungkin Reyhan benar, gue harus berani ngadepin kenyataan, walaupun itu nggak mudah.
Malam itu, gue merasa lebih tenang setelah ngobrol sama Reyhan. Walaupun pikiran gue masih campur aduk, setidaknya ada satu orang yang ngerti keadaan gue. Tapi, saat gue pulang ke rumah, semuanya kembali kacau.
Setiba di rumah, gue langsung disambut sama Ibu Aruna yang lagi duduk di ruang tamu, dengan mata yang tampak lebih waspada. “Aruna, lo baru aja pulang? Kok kelihatannya nggak enak?” tanyanya sambil menyandingkan teh hangat di meja.
Gue cuma senyum tipis. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma capek aja,” jawab gue sambil duduk di sebelah Ibu. Gue ngambil cangkir teh itu, berusaha untuk tenang.
Tapi Ibu Aruna kayaknya udah tau kalau ada yang nggak beres. “Jangan cuma bilang nggak apa-apa, nak. Gue bisa lihat dari wajah lo. Ada yang lo sembunyiin, kan?” tanya Ibu, suaranya lembut tapi pasti.
Gue menghela napas panjang. Gue nggak bisa bohong. Ibu Aruna selalu bisa tahu kalau ada yang nggak beres. Gue menatap cangkir teh gue, lalu mengalihkan pandangan ke Ibu. “Gue… lagi bingung, Bu. Ada yang salah dengan perasaan gue,” ucap gue akhirnya, suara gue hampir hilang di ujung kalimat.
Ibu Aruna mengangguk pelan. “Lo lagi ngerasain apa yang lo rasa itu nggak gampang, Aruna. Tapi lo harus bisa ngadepin itu. Nggak ada yang salah dengan perasaan, yang penting lo nggak bikin pilihan yang salah,” katanya dengan suara yang penuh ketenangan, seperti dia udah berpengalaman ngadepin masalah yang jauh lebih besar.
Gue diem, nggak tahu harus ngomong apa lagi. Ibu Aruna selalu tahu cara ngomong yang bikin gue merasa lebih baik, tapi kadang-kadang, jawaban yang dia kasih malah bikin gue semakin bingung.
“Aruna,” lanjut Ibu, “gue tahu lo baik-baik aja sama Keira, tapi lo juga nggak bisa pura-pura nggak ngerasain sesuatu yang udah jelas. Lo harus siap buat ngambil langkah, entah itu langkah yang lo pilih atau langkah yang orang lain pilih untuk lo.”
Gue menunduk, mencoba mencerna semua kata-kata Ibu. Gue tahu Ibu nggak bisa langsung ngasih jawaban, tapi dia selalu ngajarin gue buat melihat segala sesuatu dengan hati yang jernih.
Setelah beberapa lama, gue akhirnya angkat suara. “Gue nggak tahu, Bu. Gue nggak mau bikin Keira sakit hati, dan gue juga nggak mau Nathan merasa kehilangan gue sebagai sahabat. Tapi perasaan gue ke Nathan… lebih dari itu,” jawab gue, suara gue terdengar ragu-ragu.
Ibu Aruna cuma mengelus rambut gue pelan. “Aruna, perasaan itu nggak bisa dipaksain untuk hilang. Dan lo nggak bisa terus-terusan ngelawan itu. Gue cuma bisa bilang, jangan pernah pilih buat hidup dengan penyesalan. Pilih yang menurut lo bisa bikin lo tenang dan bahagia, itu yang paling penting.”
Gue mengangguk, merasa sedikit lebih ringan. Mungkin gue memang harus berani ngambil keputusan, walaupun itu berat.
Beberapa hari kemudian, gue memutuskan untuk ketemu Nathan. Gue udah nggak bisa lagi nahan perasaan ini. Gue udah harus ngomong, harus ngasih tahu dia tentang semua yang gue rasain. Keira juga pasti udah tahu kalau ada yang aneh, dan gue nggak mau hidup dengan kebohongan.
Gue duduk di kafe tempat biasa kita nongkrong. Gue nunggu Nathan datang, hati gue berdegup kencang. Gue nggak tahu apa yang bakal terjadi setelah ini, tapi yang jelas, gue udah nggak bisa lagi nyembunyiin perasaan ini.
Gue melihat Nathan masuk, matanya langsung nyari gue. Pas dia ngeliat gue, ekspresinya agak kaku, tapi dia langsung duduk di depan gue tanpa bilang apa-apa.
“Kita ngomongin ini?” tanya gue, suara gue sedikit tegang.
Nathan cuma mengangguk pelan. “Iya, Aruna. Gue nggak mau ini berlarut-larut,” jawabnya, suaranya serius.
Gue menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk nggak kelihatan terlalu gugup. “Nathan… gue… Gue cuma mau jujur. Selama ini gue suka sama lo. Gue nggak tahu mulai dari kapan, tapi perasaan ini nggak bisa lagi gue tahan,” ucap gue akhirnya, menatapnya dengan mata yang penuh harap.
Nathan diam, matanya nggak bergerak dari gue. Lalu dia membuka mulut, “Aruna, gue juga ngerasain hal yang sama. Cuma aja… gue nggak tahu harus gimana. Lo sahabat gue, dan gue nggak mau kehilangan itu.”
Gue menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. “Tapi, lo udah punya Keira,” jawab gue, suara gue hampir hilang.
Nathan menghela napas, seperti berat banget ngomongin ini. “Iya, gue tahu. Tapi, hati gue nggak bisa bohong. Gue bingung banget, Aruna.”
Gue cuma bisa diam, nggak tahu harus ngomong apa. Gue tahu, ini nggak akan mudah. Tapi, setidaknya, gue udah ngomong.