“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 04
“Dan engkau, Yasir. Nirma bukanlah gadis yatim piatu, dia masih memiliki seorang Ibu. Lancang sekali kau membawanya tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada kami. Atau, memang begini kah caranya orang berpendidikan dalam memperlakukan wanita? Sangat tidak sopan!” cemooh nya.
Mala mengayunkan kakinya, tak sedikitpun dia menundukkan pandangan. Gesture tubuhnya tetap tegak dengan tatapan mata tegas.
Deg.
Bola mata Yasir terbuka lebar. Dia sama sekali tidak menyangka, gadis yang sebelumnya selalu bertutur lembut, sangat menghormati dirinya, ternyata memiliki lidah tajam.
Nirma menatap nanar punggung kakaknya, air mata pun kembali berderai. Dia yang dulu begitu dimanja, dibanggakan, disayangi, sekarang merasa dibuang.
Dhien menyalahkan mesin motornya, setelah memastikan sang sahabat duduk nyaman. Dia melajukan kendaraan keluar dari halaman rumah tetangga orang tua Yasir. Dhien sama sekali tidak menyangka, kalau hari ini begitu suram seperti langit hitam yang siap menumpahkan air hujan.
Saat akan mendaki bukit kecil, tiba-tiba motor Dhien sedikit oleng. Mala bergegas turun.
“Dhien, ban motornya kempes,” beritahu Mala.
Dhien pun ikut turun, satu tangannya senantiasa menekan rem tangan, “Sepertinya bukan bocor halus, Mala!” seru Dhien, sebab ban itu benar-benar tidak berangin lagi.
“Ayo! Kita dorong sampai ke jalan utama!”
Bersama mereka mendorong motor, begitu sampai di jalan utama yang lebar dan dikelilingi oleh pohon karet, napas mereka terengah-engah.
“Capek ya,” keluh Dhien.
“Sedikit,” balas Amala, “Duduk di rumput itu dulu, yuk!”
“Mala, kau tembus?” Dhien yang berjalan dibelakang sang sahabat, melihat noda merah pada bagian belakang baju Mala.
Amala menarik sedikit baju panjang berwarna biru muda, bola matanya bergetar, bahunya berguncang hebat. Dia menjatuhkan diri di atas hamparan rumput.
Hiks hiks hiks.
Tangis yang tadi dia tahan sedemikian rupa, kini meledak jua. Kecewa, malu, sakit hati, sedih, marah, semua menjadi satu. Dadanya terasa begitu sesak. Dia tidaklah sekokoh batu karang, hanya saja berusaha sekuat tenaga menutupi kelemahannya didepan orang-orang yang memang tidak layak mendapatkan penghormatan darinya.
Dhien membiarkan motornya terparkir di pinggir jalan bertanah liat. Sudut matanya berembun kala menatap nanar sang sahabat rasa saudara, yang sedang menangis hebat.
Dhien membiarkan Amala menumpahkan sesak di dadanya. Dia tahu betul kalau wanita yang duduk sambil menekuk lututnya itu sudah sedari tadi menahan tangis. Tidak juga Dhien mengucapkan kata-kata penenang, karena semua itu tidaklah berguna disaat seperti ini.
Siapa yang tidak kecewa bila diperlakukan begitu kejam seperti apa yang dialami oleh Amala, direndahkan, dicaci maki, ditipu, bahkan ibunya tidak dihargai. Andai itu terjadi pada Dhien, sudah pasti dia akan bersikap kasar demi membalas rasa sakit hatinya.
Namun, Amala bukanlah Dhien. Wanita itu lebih memilih menahan diri agar tidak berlaku anarkis yang mungkin akan disesalinya kemudian hari.
Dhien mendekati Amala, mengusap-usap pelan punggung wanita yang menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangan.
“Hati ku sakit, Dhien! Mereka berlaku semaunya, sama sekali tidak menghormati Mamak dan mendiang Bapak. Padahal dulu mereka yang bersikeras meminang, tetapi sekarang memperlakukan diri ini seperti ‘Habis manis sepah dibuang’.” Amala meraup kasar wajahnya, menghapus buliran bening yang tidak mau berhenti menetes.
“Yang paling menyakitkan sampai aku sulit bernapas, pelaku utama pemberi luka itu tidak lain adik kandung ku sendiri! Bagaimana mungkin Nirma sampai hati, menusukkan belati tajam tepat di jantung ini. Ya Rabbi ….” Amala kembali tergugu.
“Bagaimana cara menjelaskan ke Mamak?” tanyanya frustasi.
Dhien membingkai wajah sang sahabat, perlahan dia hapus air matanya menggunakan sapu tangan. Wajahnya sendiri pun sudah bersimbah air mata.
“Nanti pelan-pelan kita kasih pengertian ke Mamak ya,” hibur Dhien, Amala mengangguk.
Amala menghela napas panjang. Dadanya sudah tidak begitu sesak, dia dan Dhien selonjor kaki. Sekarang tinggal memikirkan bagaimana caranya mereka pulang. Kebetulan hari ini hari Jumat, hari libur bagi para pekerja penyadap karet. Jadi, jalanan sangat sepi dari lalu lalang kendaraan maupun pejalan kaki.
“Lihatlah! Kita sudah seperti orang terlantar,” Dhien terkekeh geli melihat kondisi mereka. Duduk bersisian di bahu jalan, celana penuh debu, wajah tampak memerah dan berkeringat, “Kurang mangkoknya saja, agar rupa kita sama persis seperti pengemis jalanan!”
“Dhien!” Mala mendorong pelan bahu temannya, tak pelak dia ikut tersenyum masam.
“Dhien, kau pulanglah dulu! Biarkan aku disini, nanti tolong kembali lagi kesini sama bawakan gamis hitam,” pinta Mala.
“Jangan asal bicara! Mana mungkin aku tega meninggalkan dirimu sendirian di hutan ini!” Dhien menatap tajam pupil Mala. Walaupun wilayah mereka aman dan minim kejahatan, bukan berarti tidak ada bahaya sama sekali. Mereka tetap harus waspada.
“Tidak perlu khawatir, Dhien. Aku bisa bersembunyi di semak-semak itu!” Jari telunjuk Amala menunjuk semak belukar di bawah rimbunnya pepohonan. “Kita tidak mungkin disini terus. Hari sudah beranjak sore.”
“Kau ikat jilbabku ini di pinggangmu! Ayo kita sama-sama jalan sambil menuntun motor!” Dhien mulai menarik hijab yang dia kenakan. Namun, tangannya dicekal oleh Amala.
“Jangan, Dhien! Tidak boleh seperti itu! Rambut indah mu ini sangat berharga, tidak sepatutnya kau perlihatkan mahkota mu begitu saja.”
Amala tidak akan membiarkan seseorang memperlihatkan auratnya demi menyelamatkan dirinya dari rasa malu. Walaupun sehari-hari Dhien tidak berhijab, bukan berarti Amala memaklumi tindakan temannya.
Dhien tidak jadi melepas hijabnya, tiba-tiba raut lelahnya terlihat berbinar.
“Mala! Sepertinya Dewa penyelamat kita telah datang.”
Netra Amala melihat mobil pickup yang melaju ke arah mereka. Jaraknya sekarang masih lumayan jauh, tetapi Amala tahu betul mobil berwarna hitam itu milik siapa.
“Dhien! Aku mau bersembunyi di balik semak-semak saja!” seru Amala panik.
Amala sudah bersiap-siap mau berdiri, tepati pergerakannya ditahan oleh Dhien. “Percuma kau berlari dan bersembunyi, mereka sudah pasti melihat kita! Yang ada nanti kau bertambah malu, Mala.”
“Rasanya aku ingin menangis lagi!” Amala membenturkan keningnya di pundak Dhien.
“Sabar, sabar, perbanyak sabar ya sahabatku.” Dhien menepuk-nepuk pelan sisi kepala Amala, dia tertawa pelan melihat teman sebayanya terlihat begitu frustasi.
“Kak Dhien! Kak Amala! Sedang apa kalian disini?!” teriak serempak tiga orang anak berseragam merah putih. Anak-anak itu penduduk desa Jamur Lubok, mereka baru pulang sekolah. Di Perjalanan berpapasan dengan mobil yang dikendarai oleh Agam dan bawahannya. Setelah dipersilakan, langsung saja mereka naik ke dalam bak terbuka.
“Lagi liburan,” jawab Dhien sekenanya.
“Seru kelihatannya, liburan di pinggir jalan seperti ini,” Zikri menimpali sambil tersenyum menyebalkan, dia sudah berdiri tak jauh dari dua orang wanita yang penampilannya terlihat memprihatinkan, “Apalagi ditemani motor yang bocor ban,”
“Anggap saja di pinggir pantai,” ketus Dhien. Dia sangat tidak menyukai Zikri, yang selalu mencari perkara bila bertemu dengan dirinya.
“Bisa ya gitu?”
“Cerewet!”
“Dhien, sudah!” bisik Mala, dia menyembunyikan wajahnya di punggung Dhien. Posisi duduknya mundur kebelakang.
“Abang! Kami ke sana dulu ya! Mau memetik buah jambu air!” Seru ketiga anak tadi, yang berkisaran umur 9 dan 10 tahun.
“Iya. Hati-hati!” timpal Zikri, tak kalah keras suaranya.
Para anak laki-laki itu pun langsung memasuki area kebun karet, dibawah jurang yang tidak curam sana ada pohon jambu sedang berbuah lebat.
“Ada paku di ban motornya,” kata Agam, sambil memperlihatkan benda tajam bermata runcing itu.
“Bagaimana kau tidak tahu, Dek …?”
.
.
Bersambung.
Harap bersabar membaca setiap Bab- nya ya, agar bisa menyelami alur ceritanya 🙏😊
Terima kasih banyak semuanya 🌹
bu bidan mati kutu