Namaku Melody Bimantara, umurku baru dua puluh dua tahun, tapi sudah menjadi Manager sebuah hotel bintang lima milik keluarga.
Yang membuat aku sedih dan hampa adalah tuntutan orang tua yang memaksa aku mencari lelaki yang bisa dinikahi.
Kemana aku harus mencari laki-laki yang baik, setia dan mencintaiku? sedangkan para lelaki akan mundur jika aku bilang mereka harus "nyentana"..
Tolonglah aku apa yang harus aku perbuat??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KE RUMAH SAKIT
Aku mengajak dokter Tumy ke rumah. Dia begitu tulus ikhlas meluangkan waktunya. Tidak ada sikap merendahkan saat dia tau masalah yang aku hadapi. Tidak seperti Julianti yang langsung mencibir saat aku menceritakan pernikahanku.
Tumy memeriksa mama dengan seksama. Aku berdiri sambil memijit telapak kaki mama yang dingin sekali. Wajah mama pucat, matanya sekarang terus tertutup, aku jadi takut dan berpikir tidak-tidak.
"Bagaimana mama?" tanyaku ingin tahu.
"Aku periksa dulu, aku menggigil masuk ke kamar ini."
"Sri kenapa AC nya dingin sekali, sudah tahu orang tua sakit. Kalian tidak perlu di kasi tahu terus, harus mengerti." ucapku kepada Sri pelayanku. Tadi waktu aku tinggalkan AC nya tidak sedingin ini.
"Ini kerjaan nona Julianti, setiap datang AC jadi dingin sekali. Saya pernah kasi normal, dia malah marah. Jadi sehari-hari nyonya membeku."
"Tadi dia ada kesini, ngapain saja?"
"Memberi nyonya obat, setelah itu pergi. Tapi obatnya bisa satu saja ditelan oleh nyonya yang lagi satu masih di meja. Sulit sekarang nyonya menelan, tadi saya buka kapsulnya dan isi air baru bisa masuk. Kalau nyonya sudah bangun baru dikasi lagi." jelas Sri.
"Mel, mama seperti mengkomsumsi obat saraf. Apa dia suka ngamuk-ngamuk?"
"Aku tidak mengerti, sepanjang hari mama tidur melulu dan badannya dingin."
"Saranku mama di opname saja. Sekarang sudah ada rumah sakit internasional tidak perlu ke Singapore. Dokternya hebat."
"Aku juga berpikir begitu, aku rasa selama ini mama kurang perawatan." ucapku sendu.
"Maaf nona, saya yang ditugaskan untuk merawat nyonya, sekiranya nona kurang berkenan, jangan marah kepada saya. Apa yang saya kerjakan sudah sesuai perintah nona Julianti dan papa nona."
"Julianti siapa, teman kamu itu?" Tumy bertanya padaku dengan nada heran.
"Ya, dialah, aku tidak mengerti kenapa dia ikut merawat mamaku, dia karyawan di hotelku."
"Mulai kapan dia merawat nyonya." tanyaku kepada Sri.
"Ada sekitar dua bulanan, dia bukan merawat, tugasnya hanya memberi obat setelah itu pergi." jelas Tumy takut-takut.
"Selama kamu disini pernah ada dokter atau perawat memeriksa mama?"
"Sepanjang saya disini belum pernah ada dokter kesini. Mungkin sebelumnya ada, saya tidak tahu."
"Sri, apa kamu pernah melihat atau mendengar sesuatu atau gerak gerik papa atau Julianti?"
"Maaf nona, saya tidak berani terus terang karena kami sudah diancam. Saya juga takut dipecat."
"Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau bicara padaku. Bangkai tidak bisa ditutupi baunya pasti akan tercium. Sekarang kita bersiap ke rumah sakit. Kamu harus ikut untuk menunggui nyonya, menjaga mama disana. Kamu juga harus waspada."
"Baik nona, ini tanggung jawab saya." sahut Sri.
"Sri, obat yang belum diminum sini bawa."
"Baik dokter."
Tumy menyimpan obatnya ke tas. Aku lalu memanggil Ambulance bersiap untuk ke rumah sakit. Sengaja aku tidak memberitahu papa, dari kemarin papa tidak pulang. Ntahlah, apa dia kecewa denganku sepertinya papa menghindar, tidak ingin bertemu denganku."
Ambulance membelah jalanan bypass ngurah rai, aku dan Tumy mengikuti dari belakang sedangkan Sri menemani mama di ambulance.
"Aku tidak mengerti kenapa papa tidak pulang, di telpon selalu bilang sibuk. Aku curiga sekali dengan sikap papa." keluhku merasa sedih.
"Sabar Mel, kamu jangan berpikiran buruk dulu, mungkin papamu sibuk dengan kerjaannya atau ada hal-hal tertentu yang membuat dia bertindak begitu. Jika ada waktu kamu temuin dia di hotel." ucap dokter Tumy bijak.
"Sekarang ini mamamu pasti di opname, Sri suruh menemani sebentar. Sebaiknya kamu temui papa dan katakan mama di rumah sakit. Wajar kamu memberitahu papa jika dia tidak setuju idemu jelaskan keadaan mamamu."
"Tumy, kamu free hari ini? mau gak ikut sama aku ke hotel, tapi izin dulu sama suamimu."
"Aku mau saja, sekalian nanti aku jelasin penyakit mamamu."
"Siipp..terimaksih bantuanmu, kamu the best dah.." ucapku mengangkat jempol.
Sampai dirumah sakit mama langsung di tangani oleh dokter Suprapto dan dokter Sean. Pelayanan disini mirip dengan yang di Singapore. Rupanya ada harga ada kwalitas.
Air mataku terus keluar saat tubuh mama dipasangi beberapa alat. Kabel Utama EKG. Ini adalah sekumpulan kabel yang dihubungkan ke dada mama. Membantu mengukur laju dan ritme jantung mama.
Tabung Nasogastrik selang dimasukkan melalui hidung dan masuk ke lambung. Digunakan untuk memasukkan makanan cair langsung ke dalam lambung mama dan ada Layar monitor.
Aku berharap banyak untuk kesembuhan mama, tapi kalau melihat fisiknya dadaku terasa teriris. Mama sudah seperti mayat. Aku terus berdoa dalam hati supaya mama sembuh kembali seperti sedia kala.
"Sri lihatlah nyonya, tega sekali kau tidak mengurusnya. Apa kau tidak merasa berdosa?" tanyaku sambil menangis sedih perasaanku hancur.
"Maaf nona, saya hanya mengikuti saran dan perintah nona Julianti. Tidak ada maksud untuk membuat nyonya sakit. Saya berjanji mengabdi pada nona, tolong jangan pecat saya." ucap Sri menangis.
"Sabar Mel, berdoalah, minta pada Tuhan untuk kesembuhan mamamu." Tumy memelukku.
Aku bersyukur ketemu dokter Tumy, saat begini bantuannya sangat berharga beda sekali dengan Julianti.
"Sabar nona, pasien telat dibawa kesini. Kami para dokter akan berusaha melayani sebaik mungkin." ucap dokter Suprapto.
"Terimakasih dok, saya minta pelayanan klas satu, berapapun biayanya." kataku menghapus air mata.
Tumy juga menunjukan obat yang selama dua bulan terakhir diminum oleh mamaku kesimpulan terakhir tubuh mama lemah, tidak bisa berdiri karena dikasi obat yang melemahkan saraf otot terus menerus.
"Ini disengaja, Julianti ingin membunuh mamaku." kataku panik.
Dadaku terasa mau meledak mengetahui semua ini. Untung aku cepat bawa mama ke rumah sakit.
"Tenang dulu Mel, kita belum tahu yang sebenarnya, bisa saja Julianti disuruh oleh dokter atau papamu."
"Tenang gimana, ini nyawa dipermainkan. Apa haknya memberi mamaku obat."
"Kriinggg...Kriinggg...."
Ponselku berdering keras. Untung kedua dokter itu sudah keluar ruangan.
[Hallo..ini siapa?]
[Aku, Julianti..save nomer hapeku]
[Ada apa?] tanyaku mulai tidak respek.
[Papamu minta kau datang ke hotel]
[Oke, nanti aku datang] sahutku seraya memutuskan hubungan telepon sepihak.
"Aku tambah curiga padanya, kenapa dia yang menghubungiku terus papa kemana?"
"Aku akan menemani kamu datang ke hotel supaya kecurigaanmu terjawab. Kita rahasiakan tempat ini, menjaga hal yang tidak diingini." ucap Tumy menatapku.
"Sri jaga nyonya, kunci pintu, hanya dokter yang boleh masuk. Makan dan minum untukmu akan di antar kesini, kamu tidak usah keluar belanja."
"Baik nona.." jawab Sri sopan.
Setelah mencium pipi mama dan membisikan doa-doa suci, aku akhirnya keluar ruangan. Dokter Tumy mengikutiku dengan diam. Mungkin dia tahu sesuatu, tapi tidak ingin membuatku sedih.
*****
sukses selalu ceritamu
tunggu karma mu kalian berdua !!😤