kisah ini sekuel dari novel Karma pemilik Ajian Jaran Goyang.
Adjie merasakan tubuhnya menderita sakit yang tidak dapat diprediksi oleh dokter.
Wati sang istri sudah membawanya berobat kesana kemari, tetapi tidak ada perubahannya.
Lalu penyakit apa yang dialami oleh Adjie, dan dosa apa yang diperbuatnya sehingga membuatnya menderita seperti itu?
Ikuti kisah selanjutnya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gunjingan
Mata Adjie membeliak saat melihat salah satu dari penampakan cacing tanah tersebut mengeluarkan gigi taring dan siap untuk menggigitnya.
"Hah!" Adjie tersentak, lalu menepis dengan kasar sendok yang hampir saja masuk ke mulutnya.
Wati tercengang melihat apa yang dilakukan oleh suaminya. Mie instan tersebut berserakan dilantai. Bahkan kini Adjie melihat semua mie instan yang ada didalam piring berubah menjadi cacing tanah dan memiliki gigi taring yang siap menyerangnya.
Bahkan telur ceplok itu berubah menjadi bola mata yang penuh lumuran darah yang menatapnya dengan tajam dan penuh dendam.
"Tidak, tidak, tidak!" pria itu tampak frustasi dengan apa yang dlihat dan dialaminya.
Wati hanya dapat menatap bingung pada apa yang terjadi pada sang suami.
"Tolonglah, Kang. Kamu belum makan seharian. Bagaimana nanti kalau lambung kamu kambuh? Akan ada banyak penyakit lain yang datang," wanita itu tampak merayu, berharap Adjie akan memakan masakannya.
Adjie tak menggubris. Lehernya seolah merasa pahit, bahkan duri terasa seolah menusuk tenggorokannya, sehingga tak ingin memakan apapun, ditambah lagi dengan masakan yang berubah menjadi cacing.
Wati semakin tak mengerti dengan apa yang dirasakan oleh sang suami.
Pria itu merangkak, lalu berpegangan pada dinding dan kembali kekamarnya dengan sempoyongan.
Wanita yang kini sedang mengandung, terpaksa membiarkan prilaku sang suami yang tak lagi dapat ia rayu.
Perutnya yang keroncongan membuat ia memakan mie instan untuk porsinya sendiri dan menghabiskannya, karena ia sangat lapar dan janin didalam kandungannya butuh asupan energi.
****
Mentari bersinar dengan begitu cerah. Namun tidak untuk seorang pria berusia tiga puluh tahunan yang kini hidup menyendiri diperbukitan.
Ia mengunci pintu kamar dan memastikan jika sang istri dalam kondisi aman dan tidak kabur saat ia akan turun ke kaki bukit untuk membeli kebutuhan hidup mereka yang sudah menipis.
Pria itu berjalan dengan langkah yang cepat. Ia harus segera tiba dirumah tepat waktu, agar sang istri tak mencarinya.
Ia membawa keranjang dan akan memikul barang belanjaannya untuk tiba diatas bukit.
Sakit hatinya yang terlalu dalam membuat ia tak lagi merasakan betapa beratnya perjalanan yang akan ia lalui.
Hampir setengah jam lamanya ia menuruni perbukitan. Ia tiba disebuah pasar yang mana menjadi tempat tujuannya.
Ia membeli beras dan bahan pokok lainnya. Saat bersamaan, seorang wanita berusia 50-an tahun sedang memperhatikannya dari kejauhan.
Pria itu membeli minyak goreng dan tiba-tiba seorang wanita berdiri disampingnya. "Eh, Anton. Kamu belanja, ya?" tanya wanita yang sebaya dengannya.
"Eh, Laila, iya, kamu sedang apa?" sapa pria itu balik.
"Ya, belanjalah, masa iya aku lagi senam," celetuknya dengan bibir manyun.
Pria itu hanya tersenyum tipis. Sepertinya ia tak memiliki waktu untuk mengobrol. karena saat ini, dirinya harus segera tiba dirumah.
"Gimana kabar istrimu? Sudah membaik apa masih parah kondisinya?" tanya wanita itu dengan nada mencibir.
Anton menoleh ke arah lawan bicaranya. "Dia baik-baik saja dan akan tetap baik-baik saja," jawabnya dengan nada tak suka. Sungguh ia terluka dengan pertanyaan Laila barusan, sebab wanita itu bukan simpati, tetapi mengejeknya.
"Hellleh, perempuan gila seperti itu saja kok dipertahankan! Mana tega bunuh darah daging sendiri dengan berlindung dibalik kata baby blues!" cibirnya dengan bibir yang miring ke kiri dan sedikit tertarik keatas.
Anton mengepalkan jemari tangannya. Andai saja yang berbicara itu adalah seorang pria, maka ia akan mencabik ataupun meninju orang yang sudah menghina istrinya.
"Jangan sibuk dengan urusan orang lain, tapi urus saja kehidupanmu!" pria itu mengambil keranjangnya dan ia ingin berlalu, tetapi sesaat ia berhenti.sejenak untuk memandang sang wanita. "Rumahmu terlalu jauh untuk tiba disini, dan sungguh sangat mengherankan jika kau terlihat seolah mengawasiku," Anton menekankan nada bicaranya, lalu beranjak dari tempatnya.
Laila tercengang mendengar ucapan pria tersebut. Sungguh sangat terlalu lancang jika menyebutnya sebagai penguntit. Ia merapatkan giginya menahan amarah yang membuncah didalam dadanya.
Anton berjalan dengan rasa sesak. Hatinya sangat sakit saat mendengar orang-orang mencibir tentang kondisi istrinya.
Mawar, ya itu adalah namanya. Dulu wanita itu begitu sangat energik. Cantik, setia dan juga begitu menyayangi puteri mereka. Namun semua kebahagiaan dan keceriaannya terenggut oleh seseorang yang tidak memiliki hati nurani dan mementingkan hasrat binatangnya dibanding dengan akal dan hati nuraninya.
Pria itu berjalan untuk menuju penjual usus tambusu sapi yang mana isiannya adalah tahu dan telur. Gulai lemak tersebut merupakan masakan favorite sang istri selama ini. Sungguh ia merindukan semua hal tentang sang istri, dan ini sangat begitu berat baginya.
Ia memesan satu kilo usus tambusu dan juga lengkap dengan santannya. Saat bersamaan, seorang wanita berusia lima puluhan tahun berdiri disampingnya, lalu dengan cepat membayar barang belanjaannya.
Terlihat tangan wanita berkulit putih dengan berbagai perhiasan ditangannya menyerahkan uang seratus ribu rupiah kepada penjual usus tambusu, dan mengambil kembaliannya.
Anton melirik sang wanita. sepertinya ia tak begitu terkejut dengan kehadirannya.
"Mengapa mengirimkan seseorang untuk mengolokku?" tanya sang pria dengan tatapan dingin.
Wanita itu tak membalas tatapan sang pria. Ia menerawang jauh. "Tinggalkan Mawar. Ibu menyiapkan seorang wanita uang lebih tepat. Ia akan maminang dengan hantaran yang cukup besar. Sebagai uang japuik" wanita itu memasukkan uang kembaliannya kedalam dompetnya yang terbilang cukup mahal.
Anton tersenyum miris. Kali ini oa semakin terpuruk dan terpojok atas sikap wanita yang menggunakan songkok dikepalanya itu. "Aku mencintai Mawar, dan jangan usik kehidupanku, Mande" Ia merasa jika cukup sudah orang terus menggunjing tentang istrinya, apalagi kini ibu kandungnya sendiri memintanya untuk meninggalkan sang wanita.
"Aku sudah cukup muak dengan segala kata cinta yang kau agungkan. Bahkan wanita itu tak memberiku uang japuik saat maminangmu, dan sekarang ia dalam kondisi seperti iti, apa yang dapat kau harapkan darinya?!" wanita itu tampak mulai berang dan sungguh ia tak mengerti dengan jalan fikiran puteranya.
Anton menatap sang ibu dengan perasaan yang sulit ia ungkapkan. "Tidak ingatkah Mande saat ia masih sehat? Dia sungguh menantu yang sangat baik, bahkan saat kami membuka usaha warung makan, ia memperlakukan Mande seperti ibunya sendiri," Anton terus mencari pembelaan pada istrinya.
Ia merasa kecewa karena sang ibu terus saja mengungkit uang japuiknya yang benar-benar sangat minim, bahkan tanpa cincin emas, karena wanita itu berasal dari keluarga yang kurang mampu, bahkan ia yatim piatu.
"Kau sangat keras kepala!" wanita itu tak dapat lagi menahan rasa kecewanya.
Anton tak perduli. Ia memilih bergegas pergi, sebab akan menambah sakit hatinya jika terus meladeni sang ibu.
ternyata kamu kembang desa tapi kekurangan. sehingga orang semena-mena sama kamu...😥
yang pasti bukan Mande kan... jauh dari kriteria...
tapi masalahnya, kenapa mereka teriak-teriak dirumah Mande . minta pertanggungjawaban...
ada apakah gerangan...???