"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Lily duduk diam di kursinya, menatap piring yang terisi penuh di depannya. Udara di ruangan itu terasa berat, nyaris membuatnya sulit bernapas. Ia tahu, jika ia tidak berbicara sekarang, semuanya hanya akan menjadi lebih buruk.
Zhen masih duduk di seberangnya, santai namun mengintimidasi. Tatapannya tajam seperti bisa membaca setiap pikiran yang Lily coba sembunyikan.
Namun, wajah pria itu tetap datar, tanpa emosi yang terlihat jelas. Hal itu justru membuat Lily semakin gugup.
Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengumpulkan keberanian. "Tuan, saya rasa sudah waktunya saya menjelaskan semuanya." suaranya keluar pelan, hampir berbisik.
Zhen tidak berkata apa-apa. Ia hanya menaikkan alis sedikit, memberi isyarat agar Lily melanjutkan.
Lily menarik napas dalam-dalam, lalu mulai berbicara, suaranya bergetar. "Malam itu, malam ketika saya mabuk dan bertemu dengan Anda," ia berhenti sejenak, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Itu adalah pertama kalinya saya melakukan sesuatu yang seperti itu. Sesuatu yang—"
Ia menghela napas berat, menggenggam tangannya erat di bawah meja. "Yang tidak seharusnya saya lakukan."
Zhen tetap diam, matanya menatap tajam ke arah Lily. Tekanan itu membuat Lily merasa seperti sedang ditelanjangi, tidak ada lagi tempat untuk sembunyi.
"Dan pria tadi," lanjut Lily, suaranya lebih lemah sekarang. "Dia adalah tunangan saya. Namanya Hugo."
Zhen mengangkat alis sedikit, tanda bahwa ia tidak terkejut, tetapi juga tidak memberikan komentar apa pun.
Lily melanjutkan, "Dia berselingkuh. Dengan teman kantor saya sendiri. Saya tau ini bukan alasan, tapi saya pikir," air matanya akhirnya jatuh, satu tetes mengalir pelan di pipinya. "Saya pikir itu adalah salah saya. Mungkin karena saya terlalu sibuk, terlalu dingin, atau terlalu banyak bekerja."
Zhen menyandarkan punggungnya ke kursi, masih tidak berkata apa-apa. Tapi Lily bisa merasakan matanya yang tajam, seperti pisau yang terus menusuk setiap pengakuannya.
"Hugo bilang dia ingin memperbaiki semuanya. Dia bilang dia masih ingin melanjutkan pertunangan kami." Lily tertawa kecil, tetapi tawanya dipenuhi kepahitan. "Lucu bukan? Dia yang menghancurkan semuanya, tapi dia juga yang ingin semuanya kembali seperti semula."
Lily mengusap air matanya dengan cepat, mencoba terlihat kuat. "Tapi saya tidak mau. Saya sudah cukup lelah. Saya ingin bebas dari semua ini."
Ia mengangkat kepalanya, menatap Zhen langsung untuk pertama kalinya sejak ia mulai berbicara. "Dan sekarang, saya malah menyeret Anda ke dalam kekacauan ini. Untuk itu, saya benar-benar minta maaf."
Zhen akhirnya bergerak, meletakkan garpunya perlahan ke atas piring. Ia menatap Lily dengan ekspresi yang sulit dibaca, tetapi keheningannya terasa seperti beban yang semakin menghimpit Lily.
"Saya tidak tau apa yang Anda pikirkan tentang saya sekarang," lanjut Lily, suaranya penuh keputusasaan. "Tapi jika saya benar-benar hamil," ia menggigit bibirnya lagi, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kata-kata berikutnya. "Jika saya benar-benar hamil, saya akan menanggung semuanya sendirian. Saya tidak ingin menjadi beban untuk Anda."
Zhen menyipitkan matanya sedikit, tetapi tetap tidak menyela.
"Saya tau mungkin keluarga Anda tidak akan menyetujui ini," ucap Lily, suaranya mulai gemetar lagi. "Saya tau cerita-cerita tentang orang seperti Anda. Konglomerat, pewaris, pria dengan masa depan yang sudah diatur oleh keluarganya. Mungkin Anda sudah memiliki perjodohan, seseorang yang lebih cocok untuk Anda."
Air mata kembali mengalir di wajahnya, meskipun ia mencoba menahannya. "Saya hanya ingin kebebasan, Tuan. Saya sudah cukup dengan semua ini. Jadi jika Anda mau berikan saya kesempatan untuk pergi. Biarkan saya menyelesaikan ini sendiri."
Ruangan itu sunyi. Hanya suara napas Lily yang terdengar, cepat dan putus-putus. Ia menatap Zhen, berharap ada respons, apa saja, dari pria itu.
Zhen akhirnya bersandar ke depan, menautkan jari-jarinya di atas meja. "Kau benar. Aku memang punya masa depan yang diatur. Aku juga punya tanggung jawab yang tidak bisa dihindari," ucapya dengan nada rendah, tetapi tegas.
Hati Lily mencelos mendengar kata-kata itu. Ia tahu, ini mungkin adalah akhirnya.
"Tapi Kau salah jika berpikir aku akan meninggalkanmu begitu saja. Aku tidak pernah menyerahkan tanggung jawabku kepada orang lain," lanjut Zhen, matanya menatap langsung ke mata Lily.
Lily terkejut, matanya membesar. "Tapi—"
"Cukup," potong Zhen, suaranya dingin dan tegas. "Kau ingin kebebasan? Aku akan memberikannya. Tapi kebebasan itu tidak berarti aku akan meninggalkanmu. Jika anak itu adalah milikku, maka aku akan ada di sana, apa pun yang terjadi."
"Tuan..." Lily tidak tahu harus berkata apa.
Zhen menatap Lily dengan aura yang begitu mengintimidasi. "Makanlah. Kita akan bicara lebih banyak nanti."
Lily tidak bisa menahan dirinya lebih lama. Tangannya gemetar tak terkendali, dan matanya menatap penuh keputusasaan. "Tuan, saya mohon," suaranya pecah, begitu lirih hingga nyaris tersapu udara. "Saya tidak mau ada hubungan apa pun dengan Anda. Malam itu, itu kesalahan besar. Saya bahkan tidak tau bagaimana semua ini bisa terjadi."
Zhen sikap santai, hanya menaikkan sebelah alisnya. Tidak ada sedikit pun tanda simpati di wajahnya. Sebaliknya, ia menunjukkan senyum kecil, senyum yang lebih mirip ejekan halus dari pada ungkapan ramah.
"Menarik," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Di luar sana, banyak wanita yang rela melakukan apa saja hanya untuk mendapatkan perhatianku. Namun kau," ia tertawa kecil, suara rendahnya penuh ironi. "Kau justru memohon untuk menjauh dariku. Sungguh berbeda."
Lily menggigit bibir bawahnya, matanya menatap lantai, mencoba menyusun keberanian untuk berbicara lagi. "Saya tidak seperti mereka," ucapnya dengan suara gemetar, tapi ada nada keras kepala di baliknya. "Saya hanya ingin hidup saya kembali. Tanpa Anda."
Senyuman di wajah Zhen memudar perlahan. Ia menatap Lily lebih intens, matanya tajam seperti pisau. "Apa pun itu," bisiknya dengan suara yang nyaris tidak terdengar tetapi penuh tekanan, "Tidak akan membuatku menyerah. Aku bukan pria yang melarikan diri dari tanggung jawab. Jika kau menganggapku seperti itu, kau salah besar."
Lily terdiam, tubuhnya menegang. Ada sesuatu dalam suara Zhen yang membuat kata-katanya terdengar seperti hukum yang tidak bisa diganggu gugat.
"Aku punya komitmen dalam hidupku," lanjut Zhen, suaranya kini lebih datar tetapi tetap membawa aura otoritas. "Tugasmu sederhana. Jaga dirimu, fokus pada kesehatanmu. Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan tentangku. Aku hanya tidak ingin anak ini, jika memang ada, lahir di tengah kekacauan."
Lily menelan ludah dengan susah payah, hatinya dipenuhi ketakutan yang sulit ia jelaskan. "Tapi bagaimana jika keluarga Anda tau?" tanyanya dengan nada putus asa, mencoba mencari celah untuk melawan keputusan pria itu.
Zhen meluruskan tubuhnya dan menatap Lily dengan dingin. "Kedua orang tuaku sudah meninggal," jawabnya datar, tanpa sedikit pun nada emosional. "Yang kau maksud hanya kakek dan nenekku. Mereka cerewet, ya, tetapi bukan masalah yang perlu kau pikirkan."
Kata-kata itu hanya membuat Lily semakin bingung. Ia tidak bisa menebak apa yang sebenarnya dirasakan atau dipikirkan pria itu, tetapi satu hal jelas, Zhen tidak akan mundur.
"Kau harus segera memutuskan hubungan dengan Hugo," lanjut Zhen, suaranya kembali tegas. "Kalau kau tidak melakukannya, aku sendiri yang akan turun tangan."
Lily hanya bisa terdiam. Wajahnya memucat mendengar ancaman tersirat itu. Ia tahu bahwa Zhen bukan pria yang hanya berbicara tanpa tindakan. Semua kata-katanya adalah janji yang akan ia tepati, apa pun risikonya. Ia tahu bahwa ia tidak memiliki pilihan lain selain menerima kenyataan ini.
"Ingat," ucapnya dengan nada suaranya tetap dingin dan tegas. "Aku tidak meminta persetujuanmu. Aku hanya memberitahumu apa yang akan terjadi."
Lily menunduk, air mata mulai menggenang di sudut matanya. Ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰