"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baju Dinas
“Selamat pagi, Jihan.”
Aku mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan pemandangan yang masih belum sepenuhnya biasa: Om Lino duduk santai di meja makan. Sambil menggaruk kepala, aku mendekat pelan-pelan ke arahnya yang tengah sibuk menyusun piring dan makanan.
“Pagi juga, Om,” sapaku dengan suara serak khas bangun tidur.
“Maaf saya lagi-lagi kesiangan,” lanjutku, merasa sedikit bersalah.
Dia menggeleng ringan. “Tidak apa-apa. Ayo sarapan bersama,” jawabnya dengan nada datar yang entah kenapa, justru bikin aku merasa lebih nyaman.
Kalau yang bilang itu Bunda, aku pasti udah kena ceramah panjang soal kedisiplinan. Untung Om Lino beda. Dia sabar banget, gak pernah sekalipun memarahiku, meskipun aku tahu aku ini tipe anak yang lumayan ngeselin.
Tapi aneh juga sih, kenapa dia bisa sebaik ini? Maksudku, dia udah banyak banget berkorban buat aku. Bahkan, dia rela menikahiku cuma buat menghindari desakan dari nyokapnya sendiri. Kalau dipikir-pikir, apa iya aku pantas buat semua ini? Atau jangan-jangan ada sesuatu yang aku gak tahu?
Ah, udahlah. Pusing sendiri mikirnya.
“Besok hari pertama kamu PKKMB, kan?” suara Om Lino memecah lamunanku.
Aku mengangguk cepat. “Iya, Om. Saya deg-degan banget, tau!” jawabku, sambil mengambil kursi di seberangnya.
Dia hanya menatapku datar, seperti biasa. Aku melanjutkan, “Takut juga. Kalau katingnya galak-galak gimana? Kalau saya dihukum tanpa alasan gimana?”
“Itu PKKMB,” balasnya santai, “bukan ospek zaman dulu yang banyak bullying-nya, Jihan.”
Aku mendengus kecil. “Tapi kalau ada gimana?”
Dia melirikku kembali dengan wajah serius. “Laporkan saja kating yang melakukan itu. Nanti dia yang akan ditegur karena menyalahi aturan.”
Aku tertawa pelan, merasa ucapan itu terlalu formal. “Ih, mana berani saya laporin kating. Lagian, lapornya ke mana coba?”
“Laporkan ke saya,” jawabnya singkat sambil menatapku lurus.
Aku refleks mengernyitkan dahi. “Kok ke Om?” tanyaku bingung.
Dia gak menjawab. Hanya melanjutkan makannya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Apa deh, Om?” tanyaku lagi, merasa ada sesuatu yang disembunyikannya.
“Apa yang akan kamu lakukan hari ini, Jihan?” tanyanya tiba-tiba, mengabaikan pertanyaanku sebelumnya.
Heran, deh. Bahasa Om Lino tuh formal banget, kayak lagi wawancara kerja. Tapi aku udah terbiasa.
“Saya mau ke rumah Bunda,” jawabku santai.
Dia mengangkat alis. “Lagi?”
“Kenapa? Kan rumah Bunda saya sebelahan sama rumah Om.”
“Bukan begitu,” katanya pelan. “Tapi kamu setiap hari ke sana. Bukankah itu bisa membuat Bunda kamu curiga?”
Aku terdiam, mencoba mencerna ucapannya. Iya juga sih.
“Habis saya gabut, Om,” balasku akhirnya. “Gak tahu mau ngapain di rumah Om Lino.”
“Sudah mempersiapkan semua keperluan PKKMB besok?” tanyanya lagi, fokus kembali pada topik sebelumnya.
“Sudah,” jawabku pendek.
“Baiklah.”
Aku melirik dia yang kembali diam. Dalam hati, aku berharap dia mengajak jalan-jalan atau melakukan sesuatu yang lebih seru. Tapi ya sudahlah.
Oh iya, kalau orang-orang tahu aku udah serumah sama Om Lino, pasti banyak yang bingung. Kayak, kok bisa sih tiba-tiba nikah sama dia? Jawabannya: iya, kami udah nikah.
Kapan? Seminggu yang lalu.
Dan jangan tanya gimana prosesnya! Aku gak mau ceritain. Malu banget, sumpah. Langsung aku lupain aja. Anggap gak pernah terjadi.
Udah, cukup sampai di situ. Jangan diungkit lagi, ya!
Tapi ... ya udah deh, singkatnya begini. Karena Om Lino itu anak tunggal dari keluarga kaya raya, pernikahan kami tentu gak mungkin sederhana.
Bisa dibilang, acaranya tuh mewah banget. Untungnya bukan di kota ini, jadi aman. Teman-temanku gak ada yang tahu, dan aku gak perlu menjelaskan apa-apa.
Keluarga Om Lino waktu itu nyewa resort eksklusif di Kalimantan, dan pesta resepsi kami bahkan digelar di atas kapal pesiar. Ya, kapal pesiar, bayangin! Sampai sekarang aku masih gak ngerti gimana tajirnya keluarga Om Lino yang punya bisnis tambang besar di sana.
Kadang aku merasa ini semua kayak mimpi. Bisa-bisanya aku—anak orang biasa—nikah sama cowok setajir Om Lino. Ini tuh takdir konyol yang bikin aku mau ketawa sekaligus gak percaya.
Pantas aja dia bilang dengan santai bakal biayain semua pendidikanku. Duit dia aja gak berseri, sumpah.
Sekarang udah tiga hari aku tinggal serumah sama Om Lino. Anehnya, semuanya berjalan lancar. Bahkan sesuai banget sama perjanjian kami. Dia bener-bener baik, gak pernah bikin aku gak nyaman. Rasanya dia lebih kayak kakak daripada suami.
Jujur aja, pas awal-awal rasanya aneh banget. Kalau ingat momen itu, aku cuma bisa ketawa malu.
Malam itu, pesta di kapal pesiar masih belum selesai juga. Aku udah capek banget, sementara angin laut yang dingin makin bikin aku menderita.
Dress tanpa lengan yang kupakai jelas gak membantu sama sekali. Aku cuma bisa duduk di kursi, melipat tangan sambil menggosok-gosok lengan sendiri buat ngurangin rasa dingin.
Tadi aku sempat ikut Om Lino menyapa para tamu, berdiri di sampingnya kayak patung dekorasi. Tapi dia akhirnya menyuruhku istirahat karena mungkin dia lihat aku udah capek banget.
Sekarang udah gak capek berdiri sih, tapi aku kedinginan plus ngantuk. Rasanya gak tahan lagi.
Pelan-pelan, aku bangkit dari sofa dan mendekati Om Lino yang masih asyik ngobrol sama beberapa orang. Kalau nyamperin Bunda, pasti aku langsung dimarahin karena dianggap gak sopan ninggalin tamu. Jadi aku memutuskan untuk langsung ke Om Lino.
“Om,” panggilku pelan sambil menarik ujung jasnya.
Dia menoleh, dan otomatis semua cowok yang lagi ngobrol sama dia juga ikutan ngelihatin aku.
Bodo amat, pikirku. Aku gak kenal mereka.
“Om, saya boleh istirahat di dalam? Di sini dingin banget,” kataku setengah berbisik.
Sebelum Om Lino sempat jawab, salah satu temannya menyahut sambil nyengir lebar. “Tuh, Lino. Istri lo udah kedinginan. Sana bawa masuk ke dalam, kasih kehangatan.”
Semua langsung tertawa. Aku cuma bisa menunduk malu.
Tapi, Om Lino tetap tenang. Dia gak membalas lelucon itu sama sekali. Cuma mengangguk ke arahku, lalu tanpa banyak omong, dia membimbingku masuk ke dalam ruangan.
Om Lino menghela napas sambil membuka pintu kamar. "Harusnya kamu bilang dari tadi kalau ingin masuk ke dalam."
Aku mendongak, sedikit tersipu. "Ya gimana, Om? Om kan sibuk ngobrol, jadi saya butuh keberanian buat manggil."
Om Lino cuma menatapku sebentar, lalu melangkah ke dalam kamar. "Beristirahatlah."
Aku mengangguk. "Iya." tapi, setelah beberapa detik, aku sadar dia masih berdiri di sana. “Tapi kok Om masih di sini?”
Dia menyandarkan punggung ke pintu yang tertutup dan menatapku dengan tenang. “Apa kata orang-orang kalau saya keluar meninggalkan kamu sendiri?”
“Lah, terus Om bakal tetap di sini gitu?” tanyaku, hampir tak percaya.
“Tenang saja, saya tidak akan mengganggu. Kamu tidurlah,” ucapnya sambil berjalan ke arah single sofa di pojok kamar dan duduk.
Aku menatapnya, bingung. “Tapi, Om ....”
Dia melambaikan tangan, memotong protesku. “Anggap saja saya tidak ada.”
“Mana bisa gitu!” Aku menatapnya frustrasi, merasa situasinya canggung banget. “Om keluar dulu sebentar kek. Saya mau ganti baju. Masa di depan Om, sih?”
Dia mengerjap, lalu dengan cepat berdiri. “Baiklah.” tanpa banyak bicara, dia melangkah keluar dari kamar.
Tapi aku langsung sadar sesuatu. “Eh, tapi bajunya? Baju gantinya mana? Gak ada di kamar ini!”
Aku buru-buru membuka pintu lagi. Di luar, Om Lino berdiri dengan ekspresi datar khasnya.
“Om, baju gantinya mana?”
Dia menatapku sebentar sebelum menjawab, “Kamu tidak membawa baju ganti?”
“Ya enggak lah, Om! Saya mana tahu bakal nginep di kapal gini,” jawabku dengan nada kesal.
Dia mengangguk pelan, lalu berkata, “Ya sudah, biar saya carikan dulu.”
Aku hanya mengangguk dan menunggunya di pintu. Lima menit kemudian, dia kembali dengan membawa kemeja putih di tangan kanan dan sebuah paper bag di tangan kiri. Tapi yang mengejutkan, dia malah menyerahkan kemeja itu padaku.
“Kamu pakai kemeja saya saja. Bersih, dan masih baru,” katanya santai.
Aku memandang kemeja itu dengan alis terangkat. “Kok kemeja Om? Gak ada baju cewek, ya?”
Om Lino mendesah pelan. “Ada, tapi baju yang diberikan ibu saya aneh. Jadi, lebih baik kamu pakai ini saja.”
“Aneh gimana?” tanyaku curiga, mataku melirik paper bag di tangannya. “Bajunya di dalam paper bag itu, ya? Coba sini, saya lihat—“
“Jangan!” potongnya tiba-tiba, suaranya sedikit lebih tegas dari biasanya.
Aku terdiam, kaget dengan reaksinya. “Emang bajunya gimana, sih, Om? Bikin penasaran aja.”
Dia mendesah lagi, tapi kali ini lebih dalam. “Sudah, kamu pakai kemeja saya saja.”
“Ya deh, iya,” gumamku sambil mengambil kemeja dari tangannya. Aku masuk ke kamar untuk mengganti baju, dan begitu mengenakannya, aku langsung sadar kemeja ini terlalu besar. Panjangnya sampai hampir menutupi pahaku.
Setelah selesai, aku membuka pintu lagi. “Udah, Om. Masuk aja.”
Om Lino masuk dengan langkah tenang, meletakkan paper bag itu di meja kecil, lalu duduk di single sofa sambil memainkan ponselnya.
Tapi rasa penasaranku belum selesai. Dengan langkah cepat, aku mendekati meja dan meraih paper bag itu.
“Jihan, jangan!” katanya dengan nada setengah panik.
Namun, aku sudah menarik isinya keluar. Dan di tanganku sekarang, tergenggam sepotong lingerie yang ... astaga, kenapa bisa ada barang begini?!
Aku ternganga. “Om!”
“Saya sudah bilang jangan membukanya, Jihan.” nada suaranya terdengar kesal.
Aku buru-buru memasukkan lingerie itu kembali ke dalam paper bag, menyengir gak jelas sambil menatap Om Lino yang membuang wajah, jelas-jelas mencoba menenangkan diri. Tapi tiba-tiba, pikiran jahil melintas di kepalaku.
Aku mendekat, berdiri di depannya dengan ekspresi sok polos. “Kenapa, Om? Saya gak boleh pakai baju itu?”
Dia menoleh, menatapku tajam. “Kamu memangnya mau memakai baju seperti itu?”
Aku mengedikkan bahu. “Kenapa enggak? Ada yang salah?”
Om Lino menghela napas, tapi tidak menjawab. Aku malah semakin menggoda. “Kalau saya pakai ini aja gimana, Om?”
“Jihan,” ucapnya pelan tapi tegas, “jangan bermain-main dengan saya. Letakkan kembali paper bag itu.”
“Main-main gimana deh, Om?” tanyaku, masih memasang wajah polos.
Tiba-tiba, dia berdiri dari sofa, menatapku dengan mata yang ... entahlah, terlalu intens. Aku langsung panik. “Om, ngapain?!”
Aku mundur beberapa langkah, melingkarkan kedua tanganku di depan dada. “Om, ampun! Saya cuma bercanda, Om! Jangan serius gitu dong!”
Om Lino mendekat, menarik pinggangku dengan satu gerakan cepat. Aku nyaris teriak, tapi terhenti saat dia hanya mengikatkan jasnya di pinggangku.
“Kamu terlalu banyak bercanda, Jihan. Tidurlah,” katanya singkat, lalu melangkah keluar kamar tanpa jasnya, meninggalkanku yang masih membeku di tempat.
Aku menatap pintu yang tertutup, lalu menatap jas di pinggangku. “Ketahuan deh, aku otaknya udah gak polos. Huhu, Bunda ...!” aku hanya bisa menggerutu sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Malu banget!