Kirana, wanita berusia 30 an pernah merasa hidupnya sempurna. Menikah dengan pria yang dicintainya bernama Arga, dan dikaruniai seorang putri cantik bernama Naya.
Ia percaya kebahagiaan itu abadi. Namun, segalanya berubah dalam sekejap ketika Arga meninggal dalam kecelakaan tragis.
Ditinggalkan tanpa pasangan hidup, Kirana harus menghadapi kenyataan pahit, keluarga suaminya yang selama ini dingin dan tidak menyukainya, kini secara terang-terangan mengusirnya dari rumah yang dulu ia sebut "rumah tangga".
Dengan hati hancur dan tanpa dukungan, Kirana memutuskan untuk bangkit demi Naya. Sekuat apa perjuangan Kirana?
Yuk kita simak ceritanya di novel yang berjudul 'Single mom'
Jangan lupa like, subcribe dan vote nya ya... 💟
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 6 - Di usir
Ep. 6 - Di usir
🌺SINGLE MOM🌺
Tiga hari telah berlalu sejak kepergian Arga, dan rumah besar itu kini berubah menjadi medan pertempuran.
Pagi itu, suara perintah Hilda terdengar lantang di seluruh penjuru rumah.
"Cepat! Kemasi semua barang milik perempuan itu sampai tidak tersisa!," seru Hilda dengan wajah tegang sambil menunjuk ke arah kamar yang pernah menjadi tempat tinggal Kirana dan Arga.
Beberapa ART (asisten rumah tangga) pun terlihat bingung, namun mereka tetap melaksanakan perintah itu dengan hati-hati.
Lemari dibuka, rak-rak diperiksa, dan barang-barang Kirana mulai dikemas ke dalam kardus.
Adapun Mira dan Lila, mereka ikut turun tangan dan memeriksa setiap sudut kamar.
Lalu, Mira menarik sebuah gaun yang tergantung di lemari dengan ekspresi masam lalu berkata, "Bu, semua barang ini kan Kak Arga yang berikan. Kenapa tidak kita simpan saja dan tidak usah dibawa?."
Hilda berhenti sejenak, lalu memandang gaun itu dengan mata menyipit. "Benar juga," gumamnya. "Saat dia ke rumah ini juga tidak membawa apa-apa. Sekarang, dia juga tidak berhak membawa semua ini. Tinggalkan saja barang-barang yang pernah dibeli Arga. Itu bukan miliknya," lanjut Hilda.
Mira pun mengangguk setuju, sementara Lila melempar pandangan penuh rasa jijik ke arah kardus-kardus yang sudah setengah penuh itu.
"Barang-barangnya biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Dia benar-benar tidak pantas tinggal di rumah ini," sindir Lila sambil tersenyum sinis.
"Kirana harus pergi dari rumah ini secepatnya. Aku tidak mau dia terus menempel di sini. Cukup sudah kesialan yang dia bawa," ucap Hilda dengan penuh kebencian.
**
Sementara itu, jauh dari rumah, di pemakaman yang sunyi, Kirana duduk bersimpuh di depan makam Arga.
Tanah merah yang masih basah dan nisan sederhana itu menjadi saksi dari air mata yang terus mengalir di wajahnya.
"Mas... Hiks hiks hiks... Kenapa kamu pergi secepat ini? 😭😭😭 Aku tidak tahu harus bagaimana tanpa kamu. Aku takut, Mas... Aku takut tidak bisa menghadapi dunia ini sendirian... 😭😭 Aku takut membesarkan Naya tanpamu... 😭😭."
Suara Kirana bergetar, tangisnya pecah dan tidak bisa tertahan. Sementara, Naya yang duduk tak jauh darinya, bermain dengan boneka kesayangannya.
Bocah kecil itu sesekali menoleh ke arah ibunya, seolah ingin menghiburnya meski belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.
"Ibu jangan nangis terus," kata Naya dengan polos sambil menghampiri Kirana dan menyodorkan bonekanya. "Ini buat Ibu. Kalau Ibu sedih, peluk ini, ya."
Kirana pun tersenyum tipis meski matanya masih basah. Lalu ia memeluk Naya erat-erat seakan menemukan sedikit kekuatan dari anak kecil itu.
"Terima kasih, Sayang. Kamu anak yang kuat, ya. Ibu janji, kita akan baik-baik saja," bilik Kirana sambil mengecup kening Naya.
Waktu terus berlalu, setelah kesediaan kesedihannya sedikit mereda, Kirana akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah.
Namun, sesampainya di sana, ia disambut oleh pemandangan yang mengejutkan. Barang-barangnya telah dikeluarkan dari kamar dan diletakkan di ruang tamu, diapit oleh kardus-kardus yang sudah tertutup rapat.
Hilda berdiri di sana dengan tangan bersilang, sambil menatap Kirana dengan tatapan dingin. Sementara Mira dan Lila berdiri di belakangnya sambil tersenyum sinis.
"Apa-apaan ini, Bu?," tanya Kirana dengan suara serak, yang masih memeluk Naya di pelukannya.
"Apa yang kamu lihat, itu yang terjadi," jawab Hilda dingin. "Mulai hari ini, kamu dan anakmu tidak lagi tinggal di rumah ini. Kemas barang-barangmu dan pergi."
"Tapi, Bu... Ini rumah tempat Mas Arga tinggal. Tempat kami tinggal..." Kirana mencoba membela diri, namun Hilda langsung memotongnya.
"Arga sudah tidak ada. Kamu tidak punya hak atas rumah ini. Jadi sebaiknya kamu terima nasibmu dan pergilah."
"Kami sudah cukup sabar membiarkanmu tinggal di sini. Sekarang, keluarlah. Kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi," timpal Mira.
Kirana merasa dunia ini runtuh di hadapannya. Tapi ia tahu, melawan hanya akan membuat keadaan semakin buruk.
Namun saat melihat Naya, ia sangat khawatir, apakah dia bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Naya di luar sana?
Mengingat ia yang hanya anak yatim piatu dan tidak ada kerabat, maka kini mereka hanya berdua saja di dunia ini.
Adapun satu-satunya pelindung mereka yaitu Herman, kini ia terbaring di rumah sakit dan tidak tau soal pengusiran ini.
**
Langit sore mulai memudar, menggantikan sinar matahari dengan kegelapan malam. Angin dingin berhembus, menyapu wajah Kirana yang berdiri di depan rumah besar itu.
Di tangannya, ia menggenggam koper besar yang diisi seadanya. Sementara Naya berdiri di sampingnya sambil memegang boneka kesayangannya dengan tatapan polos.
Lalu Hilda, ia duduk di sofa dengan angkuh, sementara Mira dan Lila berdiri di belakangnya seperti dua penjaga setia.
Kirana melangkah masuk kembali dan mencoba bicara untuk yang terakhir kalinya meminta belas kasihan.
"Bu, aku mohon..." ucap Kirana yang mencoba menahan isak tangisnya. "Kalau bukan untukku, paling tidak untuk Naya. Dia masih terlalu kecil. Di luar sana, aku tidak tahu bagaimana harus memulai. Aku mohon, izinkan kami tinggal di sini sampai aku bisa berdiri sendiri."
Hilda menatap Kirana dengan dingin, lalu bangkit dari tempat duduknya dan berkata dengan lantang, "Aku sudah cukup sabar menahanmu selama ini. Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu hanya mengandalkan Arga untuk hidupmu. Sekarang dia sudah tiada, apa lagi yang bisa kamu berikan?."
"Tapi, Bu, ini demi Naya..." Kirana mencoba membela diri dengan suaranya yang semakin lirih.
Namun Hilda mengangkat tangannya dan menghentikan kata-kata Kirana. "Aku tidak peduli! Mulai sekarang, cari jalan hidupmu sendiri! Aku tidak butuh perempuan sepertimu di rumah ini. Kalian hanya beban!."
Mendengar ucapan Hilda, Mira pun ikut menyela seraya mengecek Kirana, "Lagipula, Kak Arga sudah tidak ada. Apa gunanya kamu di sini? Rumah ini bukan untukmu."
"Betul, Kak Kirana. Bukankah ini saatnya kamu membuktikan bahwa kamu bisa hidup mandiri? Jangan terus bergantung pada keluarga ini," tambah Lila.
Kirana pun terdiam, tubuhnya terasa kaku. Ia menggenggam erat tangan Naya yang mulai gelisah.
"Bu, aku tahu aku bukan siapa-siapa. Tapi... Tolong pikirkan Naya. Dia adalah cucu Ibu. Dia butuh tempat yang aman..." kata Kirana, memohon.
"Heh!." Namun Hilda hanya mendengus sinis. "Cucu? Dia hanya membawa kesialan, sama seperti ibunya. Cepat pergi sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran!."
Dengan napas tertahan, Kirana akhirnya berlutut di depan Hilda dan berharap bisa menyentuh sedikit hati nurani wanita itu.
"Bu, demi Tuhan, aku mohon... Jika tidak untukku, maka untuk cucu Ibu."
Hilda pun menatap Kirana yang bersujud di depannya, tapi tidak ada rasa iba di matanya. Lalu dengan suara dingin, ia berkata, "Cukup. Jangan buat aku mengulang kata-kataku. Pergilah."
Hilda lalu beranjak dari sana, meninggalkan Kirana yang masih bersimpuh di lantai. Sementara Mira dan Lila hanya memandang Kirana dengan senyum yang mengejek sebelum mereka mengikuti Hilda keluar dari ruangan.
Naya yang melihat ibunya menangis hanya bisa menarik tangan Kirana dengan lembut. "Ibu, kenapa kita harus pergi? Apa kita tidak boleh tinggal di sini lagi?," tanyanya polos.
Kirana lalu menatap wajah kecil itu dengan air mata yang mengalir. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Dengan suara bergetar, ia pun berkata, "Kita akan baik-baik saja, Sayang. Ibu janji. Kita akan cari tempat yang lebih baik."
Bersambung...
serahkan semua sama Allah minta petunjukNya. Allah tidak diam. tugasmu hanya berdoa meminta... selebihnya biar Allah yg bekerja 💪💪💪
aku sudah mampir ya kak, ceritanya baguss😍
jangan lupa mampir ya kak kecerita aku..lagi belajar menulis novel 😊🤭
ceritanya menarik 😍