Karena latar belakang Shazia, hubungan nya bersama Emran tak direstui oleh orang tua Emran. Tapi adiknya Emran, Shaka, diam-diam jatuh hati pada Shazia.
Suatu hari sebuah fakta terungkap siapa sebenarnya Shazia.
Dengan penyesalan yang amat sangat, orang tua Emran berusaha keras mendekatkan Emran dan Shazia kembali tapi dalam kondisi yang sudah berbeda. Emran sudah menikah dengan wanita pilihan orang tuanya sekaligus teman kerja Shazia. Dan Shaka yang tak pernah pantang menyerah terus berusaha mengambil hati Shazia.
Apakah Shazia akan kembali pada pria yang dicintainya, Emran atau memilih menerima Shaka meski tak cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annami Shavian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah turun
"Maaf, pak. Mba Shazia sudah tak ada di area kantor. Sepertinya dia sudah pergi."
Dirga sejenak tertegun mendengar jawaban Seno di ujung telpon. Ia kemudian kembali meletakkan gagang telpon dengan perasaan campur aduk. Ada sedikit merasa bersalah, sedikit menyesal, dan tentu ada rasa penasaran terhadap gadis tersebut.
Dirga penasaran pada wajahnya yang begitu mirip dengan wanita yang pernah singgah sebentar di masa lalunya. Dan aroma wangi pada jas dan kemeja nya. Apakah ini hanya kebetulan saja?
"Hei, kenapa aku ini harus memikirkan gadis ceroboh itu. Memangnya siapa dia?"
Dirga menggerutu pada dirinya sendiri karena terus memikirkan gadis itu. Gara-gara gadis itu, ia tak bisa fokus pada masalah yang terjadi pada proyek nya.
Dirga kemudian mengusap-usap wajahnya mencoba menghilangkan gadis itu dari pikiran nya.
Namun saat sorot mata nya terarah pada jas yang nongol dari paper bag, ia kembali teringat pada wajah sedih gadis itu.
Dirga memegang dadanya. Kenapa dadanya kembali terasa sesak jika mengingat wajah sedih dan air mata gadis itu.
Dirga kemudian menarik nafas nya dalam-dalam, berusaha menghilangkan rasa sesak di dada. Ia lantas berpikir, supaya tak berlarut-larut memikirkan gadis itu dan membuat dadanya sesak, Ia sepertinya harus segera mencari gadis itu.
"Irwan, tolong kirimkan biodata karyawan atas nama Shazia sekarang juga."
"Maaf, pak. Kalau_"
Irwan menghela nafas saat Dirga langsung menutup telpon nya. Benak nya bertanya-tanya buat apa. Tumben sekali seorang big bos ingin tahu biodata karyawan biasa di perusahaan.
"Mulai hari ini kamu saya pecat. Saya enggak mau memakai tenaga kamu lagi di perusahaan saya."
Mengingat itu, mata Shazia kembali berkaca-kaca. Gadis itu lantas melihat ke atas menahan air mata nya agar tak turun. Jangan sampai ia menangis di depan orang-orang yang kini menaiki angkutan umum yang sama dengan nya.
Bohong jika ia sudah bisa mengikhlaskan apa yang terjadi padanya dalam waktu yang cepat. Ia tentu belum sepenuhnya ikhlas, apalagi ia keluar dari perusahaan itu dengan cara diberhentikan tak hormat.
"Berhenti, pak !"
Shazia memberhentikan angkutan yang ia tumpangi. Padahal belum sampai di jalan biasa ia turun, yang tak jauh dari rumahnya. Sengaja. Gadis itu tentu tak ingin langsung pulang, khawatir sang ibu akan tanya-tanya kenapa pulangnya di jam masih pagi.
Shazia tak ingin menceritakan masalah pemecatan nya dalam waktu dekat, khawatir ibunya akan shock mendengar nya. Apalagi saat ini usaha warung makan ibunya sedang tak berjalan lancar.
Shazia melangkah tak tau arah dan tak tau kemana ia harus melangkah. Ia sama sekali tak memiliki tujuan.
Dalam kondisi hati yang sedang tak baik-baik saja, ia butuh sosok yang dapat mendengarkan keluh kesah nya. Biasanya ia akan datang pada Nisa, tapi saat ini tak mungkin karena teman nya itu sedang bekerja.
"Mas Emran !!"
Shazia seketika teringat pada sang kekasih yang sudah dua hari ini tak bertemu maupun komunikasi.
Bukan atas kemauan Emran kenapa mereka tak bertemu atau komunikasi, tetapi atas kemauan Shazia sendiri yang tak ingin dulu bertemu maupun berkomunikasi dengan alasan ingin menenangkan hati dan pikiran. Tapi kini, ia benar-benar butuh sosok pria itu.
Shazia segera merogoh ponsel nya di dalam tas dan menyalakan. Setelah menyala, deretan pesan dari Emran bermunculan. Ada perasaan merasa bersalah pada kekasih nya itu. Gara-gara ego nya, ia mematikan ponselnya selama dua hari.
Kemudian, Shazia menekan nomer Emran. Namun sayang, nomer itu sedang dalam keadaan tak aktif.
"Enggak aktif !!" lirih Shazia seraya menatap sedih pada ponselnya.
Tin
Shazia sontak terperanjat, lalu menoleh ke samping. Sebuah mobil putih gading berharga milyaran berhenti tepat di sisinya.
Kening Shazia mengernyit heran. Siapa pengemudi mobil mewah ini? Kenapa berhenti di sampingnya? Apa ia salah posisi dan si pengemudi mobil ini menegur? Shazia melihat kiri kanan nya. Rasanya tak ada yang salah. Ia berada di posisi yang benar. Shazia mikir positifnya, mungkin orang ini ingin bertanya sesuatu padanya.
Ditengah keheranan Shazia, kaca mobil yang tak tembus pandang itu turun perlahan. Kini tampak lah seorang pria berkumis dan berjambang tipis, berambut gondrong tersenyum lebar.
Pupil mata Shazia melebar. Shaka !!! Tapi benarkah ini si Shaka?
"I love you, mba!" ucap si pengemudi mobil tersebut.
Shazia lantas mendelik dan mendengkus sebal mendengar kalimat itu. Kalimat pamungkas nya si Shaka. Kalimat yang selalu anak itu ucapkan setiap kali bertemu dengannya. Kalimat yang sama sekali tak membuatnya baper, yang ada malah bikin ia jengkel dan ingin menggetok kepalanya.
Lagi-lagi anak ini. Di saat ia butuh Emran, kenapa harus anak tengil ini yang muncul. Shazia menghembus nafas besar.
"Mba Shazia mau kemana ?" Tanya Shaka.
Shazia yang bingung harus menjawab apa lantas mengalihkan tatapan nya ke arah lain.
Karena Shazia tak jawab, Shaka pun turun.
"Mba Shazia mau kemana sih? euy, di tanya malah menghadap ke sana. Yang tanya di sebelah sini lho, mba. Bukan di sana," tutur Shaka yang gemas.
Shazia mendelik selintas, kemudian menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan Shaka yang cerewet.
"Mau jalan."
"Jalan kemana, mba?"
"Jalan ke depan."
"Ke depan mana?"
"Ya ke depan."
Shaka garuk-garuk bingung dan melihat ke depan yang tak ada apa-apa. Hanya ada pohon-pohon, ilalang dan semak belukar di pinggir jalan. Tak ada warung apalagi toko.
"Mba serius mau ke depan?" Tanya Shaka.
Shazia mengangguk tanpa melihat pada Shaka.
"Mau ngapain ke depan?"
Shazia yang bingung pun hanya diam. Sebenarnya ia salah turun. Karena tadi sedang sedih, ia tak memperhatikan kondisi tempat. Mestinya ia berhenti di tempat yang ramai, ini malah di jalanan yang kiri kanan nya hanya berupa kebun yang tak terawat.
"Dua hari yang lalu aku hampir saja nabrak segerombolan babi di sini, mba," celetuk Shaka, membuat Shazia langsung menoleh pada pria itu dan menatapnya seakan bertanya 'serius kamu, shaka?'
"Emangnya mba enggak takut ketemu sama babi hutan?"
Shazia mengalihkan tatapan nya ke arah lain dan menghela nafas.
"Aku tadi sebenarnya salah turun," ucap Shazia lirih.
Shaka manggut-manggut. Sekarang ia mengerti kenapa Shazia ada di tempat yang sepi. Tadi ia sempat terkejut juga. Mau menyangkal jika yang dilihat nya bukan Shazia, tapi kenyataan nya memang Shazia. Kenapa bidadari nya ini bisa ada di jalanan yang sepi? Untung ia datang tepat waktu seolah sudah panggilan alam.
"Ya sudah, mba. Yuk, aku antar mba."
Shaka kemudian membukakan pintu mobil untuk Shazia.
"Terima kasih," ucap Shazia yang terpaksa menuruti ajakan Shaka. Dari pada ia berada di sini dan bertemu dengan babi hutan. Takut.
Diam-diam, Shazia mengagumi interior mobil mewah yang ia tumpangi itu. Sementara Shaka, pria itu fokus mengemudi tapi sesekali melirik pada Shazia.
"Gimana, mba. Nyaman enggak naik mobil ini?"
Pertanyaan Shaka membuat Shazia merasa malu. Malu karena kepergok Shaka sedang mengagumi mobil yang ditumpanginya.
"Ehem. Emang ini mobilnya siapa, ka?" Shazia tanya balik dan bersikap biasa. Tak lagi se-norak tadi.
Shaka menyengir.
"Mobil rental, mba."
"Rental !"
Shaka mengangguk senyum.
"Hebat ya kamu Shaka, bisa menyewa mobil mewah ini. Tapi jangan bilang kamu menyewa mobil ini menggunakan uang kuliah mu ya. Kasihan lho Abi dan umi mu. Sudah payah-payah nyari uang buat biayain kuliah kamu. Uang nya malah dipake buat gaya-gayaan. Kamu itu..........."
Ngomong apa sih, mba? Shaka garuk-garuk kepala mendengar nasehat plus omelan Shazia yang panjang kali lebar.