Wanita introvert itu akhirnya berani jatuh cinta, namun takut terlalu jauh dan memilih untuk berdiam, berdamai bahwa pada akhirnya semuanya bukan berakhir harus memiliki. cukup sekedar menganggumi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NRmala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memori
“Aduh...” Jerit Laura.
Sebuah bola basket mengenai pundak Laura, membuat Dinda panik dan bertanya, “Kamu gak apa-apa, Ra?”
“Sorry... sorry...” Teriak seorang pria pemilik bola yang berlari mendekat ke arah Laura.
Laura dan Dinda berbalik mencari asal suara. Melihat dengan baik ke arah pria yang berlari itu dan kembali saling menatap. Seakan mata mereka saling berbicara, “Kamu juga kenal dia kan?”
“Sorry, ya!” Ucap pria itu yang kini berada di belakang mereka.
Laura dan Dinda berdiri, kemudian kembali berbalik. Melihat ke arah pria itu lalu tersenyum. Membuat pria itu tiba-tiba terdiam membeku menatap Laura.
“Emil, kan?” Tanya Dinda memastikan membuat pria tersebut tersadar mendengarnya.
“Eh, iya. Dinda dan Laura, kan? Sorry ya. Tadi gak sengaja!” Jawab pria itu yang ternyata adalah Emil.
“Gak apa-apa kok, Mil!” Jawab Laura tersenyum.
Emil membalas senyum Laura malu sambil membatin, “Akhirnya, aku lihat senyum kamu juga Ra! Rinduku terbayarkan setelah setahun gak lihat kamu!”
“Apa kabar Mil? Berubah yah kamu! Tambah ganteng aja!” Ucap Dinda menggoda.
Memang Emil terlihat jauh lebih berbeda. Tubuhnya yang semakin tinggi dan berisi, serta wajahnya yang kini tumbuh kumis membuatnya lebih dewasa.
“Gini aja perasaan deh, Dinda! Gak ada yang berubah! Kamu tuh yang berubah! semakin tomboy aja dilihat-lihat.”
Ya, kini penampilan Dinda memang juga telah berubah. Ia tidak lagi memakai rok seperti sewaktu SMA. Ia lebih senang memakai celana jeans. Namun, jilbab masih melekat di kepalanya. Tuntutan pekerjaanlah yang mebuatnya harus memakai celana. Dinda bekerja di salah satu Cafe di daerah dekat rumahnya. Sedangkan Laura, ia masih sama. Tubuh dan wajah yang masih mungil. Hijab dan baju gamis yang melekat di tubuhnya. Semuanya masih sama persis dengan setahun yang lalu.
“Mil, Eemiil...!” Teriak teman Emil memanggil dirinya dari kejauhan. Emil berbalik melihat ke arah temannya itu.
“Lama banget. Ayo maiiinn...!” Teriak temannya lagi.
“Iyaaa.. sabarr broo!” Emil menjawab teriakan temannya itu.
“Eh, nomor kalian masih sama kan? Kapan-kapan ayo nongkrong bareng! Boleh kan? Berhubung ada Arya balik ke Indonesia!” Tanya Emil kepada Laura dan Dinda.
Deg.
Mendengar nama itu membuat Laura dan Dinda mematung seketika. Nama yang tidak lagi mereka dengar bahkan ketemu setahun terakhir. Nama yang masih terukir jelas di hati mereka.
“Hey! Boleh kan?” Tanya Emil ulang, menyadarkan mereka berdua.
“Eh, i..iya! Boleh kok. Nanti hubungi aku atau laura aja.” Jawab Dinda gagap. Diikuti dengan anggukan dari Laura.
“Okey. Sampai ketemu nanti. Assalamu’alaikum.” Emil pun meninggalkan mereka berdua.
Laura dan Dinda kembali duduk dalam diam. Berputar dalam isi kepala masing-masing. Mengenang segala memori yang terjadi dengan pemilik nama yang diucap Emil. Pemilik nama yang berhasil mengukir rasa yang tertinggal pada kedua gadis ini. Pemilik nama yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
“Dia kembali, Ra!” Lirih Dinda.
Laura menatap Dinda yang sedang menatap ke depan. Laura melihat jelas, perasaan Dinda yang masih sama kepada Arya. Perasaan yang juga dimiliki oleh dirinya sendiri. Namun, hingga hari ini Dinda tidak tahu dengan perasaan Laura. Laura masih menyimpannya dalam diam. Laura tidak ingin membuat Dinda terluka dan merasa ada saingan jika ia menceritakan bagaimana perasaannya terhadap Arya.
Laura menepuk pundak Dinda pelan. Lalu berkata, “kan itu yang kamu tunggu.” Perkataan yang bahkan tertuju pada dirinya sendiri.
“Iya ya. Rinduku akan lunas setelah melihatnya.”
Laura tersenym mendengar itu dan kembali membaca bukunya. Padahal, isi kepalanya masih terus berputar mengulang kembali segala kisahnya dengan Arya.
“Ngomong-ngomong, mau maghrib nih! Kita ke Mall yuk! Pengen beli sesuatu sekalian main bareng kamu. Dah lama kan kita gak main ke Mall bareng. Sholat di sana saja. Aku bawa mukenah kok.” Ajak Dinda dengan suara yang kembali normal.
Laura munutup bukunya lagi. Dan mengangguk sembari tersenyum menatap Dinda. Mereka pun berdiri dan mulai berjalan meninggalkan taman.
Dari kejauhan, Emil menatap Laura tersenyum.
**********
Mall
Baru saja Laura dan Dinda masuk ke dalam Mall, adzan berkumandang. Segera mereka menuju lantai letak Mushola berada.
“Aku tunggu di sina saja ya, Dinda! Aku lagi halangan.” Ucap Laura menunjuk sebuah kursi panjang yang tidak jauh dari Mushola tempat ia berdiri
“Yaudah deh. Aku titip tas ya.” Ucap Dinda memberikan tas miliknya lalu masuk ke dalam Mushola.
Laura pun berjalan ke arah kursi panjang yang tadi ia tunjuk. Duduk sendiri membuat ia lagi-lagi terpikirkan oleh pemilik nama yang tadi di dengarnya dari Emil.
“Nama kamu hebat ya. Bahkan setelah setahun tidak bertemu kamu. Bahkan setelah sejam yang lalu aku mendengar namamu kembali. Semua tentang kamu yang singkat masih anindita di pikiranku. Atmaku menolak melupakanmu. Pemilik iswara yang teduh dan berhasil membuat aku jatuh cinta. Aku masih bertanya-tanya sekarang keadaan kamu seperti apa. Kira-kira, jika kita ketemu nanti, kamu masih ingat aku dan Dinda kah? Kira-kira, sekarang kamu seperti apa? Masihkah kamu Arya yang aku kenal? Ataukah mungkin kamu tidak lagi mengenal kami? Tapi, tidak apa. Setidaknya, aku bisa melihat kamu lagi nantinya. Setidaknya, aku masih di beri kesempatan untuk mengetahui kondisi kamu sekarang.” Senandika Laura bergumam.
“Ra... Laura... Hei! Laura!” Suara Dinda menyadarkan Laura.
“Eh, Dinda! Kamu udah selesai? Sejak kapan kamu udah di depan aku?” Tanya Laura kaget.
“Ngelamunin apa sih, kamu? Asyik bener sampai gak nyadar suara aku manggil-manggil!” kata Dinda menopang tangannya seperti ingin mengintrogasi.
“Gak ada. Udah ayo jalan lagi.” Laura berdiri dan memeluk lengan Dinda sembari berjalan.
“Temenin aku beliin kado untuk Ibu dulu ya.” Pinta Dinda menatap Laura.
Laura terdiam dan menatap Dinda.
“Kok malah diam sih! Mau nemenin gak? Aku mau beli kado buat Ibu.” Kata Dinda memasang wajah cemberut.
“Iya iya. Ayo aku temenin sahabat aku yang caaantiiik ini.” Laura kembali berjalan memeluk lengan Dinda.
“Berarti, hari ini ada makan-makan lagi di rumah kamu ya Dinda?” Tanya Laura lagi melihat ke arah Dinda yang mencari Toko yang berisi barang yang diinginkannya.
“Gak ada. Ibu aku ada pergi bantuin teman dia, pulangnya malem jadi gak bisa masak.”
Laura hanya mengangguk mengerti. Dinda menarik Laura memasuki sebuah toko sepatu.
“Ini bagus gak, Ra? Pasti ibu suka banget deh.” Tanya Dinda
“Iya. Bagus banget.”
“Mbaa...” Panggil Dinda kepada seorang pramuniaga di toko itu.
“Iya kak? Ada yang bisa saya bantu?” Tanya pramuniaga tersebut.
“Ini harganya berapa ya? Maaf, soalnya gak ada label harga di sepatunya.”
“Lima juta tujuh ratus lima puluh ribu kak.”
Bersambung...
Baguus yaa diksinya banyaak bangeet 😍